Aku duduk di kursi teras kamarku dengan pikiran kusut dan pertanyaan yang terus menumpuk. Semua tertuju pada keputusanku dan aku tidak sanggup menemukan jawabannya. Malam belum larut, mataku masih terjaga memikirkan masa depan yang aku tidak bisa perkirakan arah tujuannya.
Bulan Februari, tolonglah, bersahabat sedikit padaku. Tahun ini usiaku 22 tahun, dan rencana kedepan belum terancang sedikit pun.
Ponselku bergetar dan dua pesan sekaligus masuk.
-Rie, bisa ketemuan di rumah Fiona? Bian akan jemput kamu, sudah otw- Pesan dari Puri.
-Rie, aku bentar lagi sampe- Pesan kedua dari Bian.
Ada apa? Seperti sesuatu sedang terjadi. Aku tidak berpikir panjang, segera berganti baju dan siap dijemput. Dua puluh menit kemudian, Bian tiba dan tanpa bertanya lebih jauh, kami berangkat menuju rumah Fiona.
Di depan rumah Fiona ada beberapa mobil. Mobil warna merah juga terparkir di sana. Aku mencengkeram jaket Bian kuat-kuat. Antara ragu memutuskan untuk urung masuk dan mulai gelisah karena ada yang tidak beres telah terjadi.
"Tolong Rie, singkirin egomu dulu, ini demi Fiona," pinta Bian.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Bi? Kenapa semua berkumpul?" tanyaku mulai gugup. Bian melepas helm dan memandangku.
"Kita masuk dulu," ajaknya kembali. Dengan berat aku melangkah ke dalam. Pintu terbuka dan semua sudah hadir.
Om Baskara dan dua staf khususnya yang sedang memeriksa lokasi. Pikiranku mulai menebak hal buruk, namun tetap kuteruskan langkahku. Di ruang tengah aku kemudian melihat Puri, Panji dan Fiona yang terisak. Tidak ada Luke.
"Ada apa Fie?" tanyaku heran. Fiona menatapku dengan tatapan putus asa.
"Valerie diculik," sahut Puri dengan suara seperti tercekik. Darahku seperti turun drastis. Mariane sudah mati, siapa lagi yang menginginkan Valerie?
"Kenapa bisa, apa ada petunjuk atau?" ucapanku meracau tidak jelas. Om Bas menunjukkan sebuah surat dengan tulisan menggunakan lipstick.
-SERAHKAN RIONA DAN VALERIE AKAN SELAMAT-
Kakiku mendadak lemas. Akulah target utamanya, bukan Valerie. Kusandarkan kepalaku dan mencoba berfikir jernih.
"Belum ada yang menjawab pertanyaanku. Jika papanya menjaga dan Fiona waspada, bagaimana mungkin Valerie bisa diculik?" tanyaku sengaja tidak menyebutkan nama Luke.
"Aku sudah menidurkan dia, kupikir aman. Jadi aku mencuci baju. Setelah kembali, pintu depan terbuka dan Valerie hilang," ucap Fiona terbata-bata menjelaskan kejadiannya.
"Dan kau Luke?" tanya Bian saat Luke muncul dari kamar Valerie. Wajahnya terdiam. Tampak lunglai dan tidak bersemangat, cih! Aku mendadak kesal sendiri.
Baru saja kemarin kulihat dia tertawa bahagia. Terlalu banyak pesta! Sekarang anakmu hilang baru menyesal, rutukku dalam hati.
"Saat kejadian aku sedang bertengger di atas atap kamarmu, Rie. Dan kemarin saat pesta dua gadis itu adalah pasangan lesbian yang membujukku untuk datang dalam pesta pernikahan mereka," sahut Luke, suaranya dalam dan tajam. Aku lupa, dia bisa membaca pikiranku!
"Berhenti membaca pikiranku!" seruku dingin. Walaupun pernyataan dia sedang bertengger di atap kamarku cukup membuatku tertegun. Luke masih perduli? Kupikir selama ini …?
"Membaca pikiran? Rie, hanya vampir yang bisa membaca pikiran manusia, itupun dengan tingkat kemampuan tinggi, mahkluk lain bisa asalkan ...," mulut Fiona menutup kembali. Tersenyum penuh arti.
"Aku heran sama kalian berdua, masih saling peduli dan cinta tapi gengsi dibesarin," gerutu Puri dengan kesal dan meninggalkan ruang tamu menuju kamar Valerie yang berada tepat di depannya. Aku terhenyak. Kulirik Luke yang memalingkan mukanya asyik memandangi boneka Valerie ditangannya. Om Bas tertawa kecil.
"Saya sebenarnya tidak khawatir terhadap kasus ini. Valerie bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi Rie, kamulah yang butuh kami lindungi, karena kamu sasaran mereka," jelas Om Bas sambil bangkit berdiri bersiap pergi.
"Kenapa nggak langsung aja sih nyasar ke saya," keluhku.
"Gimana mau deketin, herdernya nangkring mulu," celetuk Bian sambil meluruskan kaki. Aku sekarang yang salah tingkah.
"Pak, kita sudah dapet finger print di jendela," seru anggota khusus Om Bas.
"Siapa?" tanya ayah Puri mendekat. Anggotanya menyerahkan tab dan wajah Om Bas tersenyum.
"Ada yang kenal dia?" tangannya menunjukkan sebuah foto yang tertulis di bawahnya baru terdaftar sebagai vampir tahun 2016.
Deg. Dadaku berdebar.
"Kayak kenal, siapa ya?" Bian mendekatkan wajahnya.
"Max," seruku. Semua memandangku dengan bertanya-tanya.
"Dia sudah lama ngajak deketan, tapi aku selalu menghindar," jawabku jengah.
"Kakak angkatan kita kan?" Puri baru menyadari. Aku mengangguk. Teringat Maya. Dia yang sempat marah waktu aku menolak mentah-mentah ajakannya.
Luke bangun dan meletakkan boneka di sofa.
"Saya tunggu kamu pulang ke rumah sekarang, nggak aman buat tinggal di kosmu yang busuk itu," Luke berlalu dan pergi tanpa menungguku mengiyakan. Aku melotot kesal dan mulutku siap melontarkan kata-kata protes.
"Ok, selesai sudah, Rie sudah aman, tinggal kita ringkus Max," pungkas Om Bas dan membungkamku seketika.
"Yan, kamu bantu Rie pindahan seadanya dulu, besok baru sisanya," seru Panji melemparkan kunci mobilnya ke Bian
"Ok boss!" sahut Bian.
Aku menjejakkan kaki ke lantai kesal tapi tidak ada pilihan. Kata 'pulang' yang diucapkan Luke, diam-diam menimbulkan kerinduan akan rumah itu.
***
Home Sweet Home.
Rumah dan seisinya masih sama seperti terakhir kali kutinggalkan. Saat aku memasuki kamarku, tulisan kayu RN masih tergantung dilemari. Hebat sekali Sarah tidak menyingkirkan barang-barangku. Entah, walaupun ini bukan rumah di mana aku tinggal dari kecil, tapi rasa nyaman dan rindu menyelinap dihatiku. Aku segera merebahkan tubuhku dan terlelap.
***
Begitu bangun badanku terasa segar. Sudah lama tidak merasakan tidur lelap. Badanku pun mulai terlihat kurus. Setelah rapi, aku keluar kamar. Rasa sungkan dan ingin menghindar muncul saat melihat Luke sedang di dapur membuat sarapan. Aku terus berlalu tanpa menyapanya, biarlah lebih baik sarapan di kafe saja, pikirku.
"Sarapan dah siap nih," serunya. Aku ragu namun berhenti. Luke membawa dua piring ke meja makan. Tanpa menungguku dia menyantap sarapannya. Aku masih diam berdiri.
"Buruan di makan ntar dingin," ujarnya lagi. Caranya mengucapkan kalimat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku melangkah ke meja makan dan menyantapnya tanpa sepatah katapun.
Hanya bunyi denting garpu menyentuh piring yang mengisi ruangan itu. Luke selesai terlebih dahulu dan bangkit membawa piringnya. Ketidak acuhannya cukup menentramkan, karena aku tidak perlu berbasa basi.
"Kalo dah siap, aku antar kamu ke kafe," cetusnya sambil mengeringkan tangannya. Aku masih terdiam. Kulihat punggungnya saat dia melangkah keluar menuju garasi. Di depan tentaranya dia terlihat gagah dan ditakuti. Tapi di sini, dia tidak lebih seperti pengasuhku. Kenapa dia mau melakukan semua ini? Tidak ada sedikit pun keangkuhan Luke untuk merawatku, layaknya menjaga seorang anak kecil, dia memasak, mengantar kemana-mana dan memenuhi kebutuhanku. Kesalah pahaman yang tidak pernah aku tanyakan kepadanya, berakibat hubungan kami renggang dan terpisah.
Ah sudahlah. Terlambat untuk mengembalikan semua seperti semula. Mungkin hatinya sudah milik gadis yang lain. Aku bergegas mencuci piring dan berangkat kerja diantar oleh Luke.
Sepanjang perjalanan menuju kafe, Luke terdiam. Keningnya berkerut dan wajahnya serius. Mungkin memikirkan Valerie. Aku tidak ingin mengusiknya. Biarlah, hubungan ini berjalan begini, nanti jika Max sudah tertangkap, aku akan kembali kepada hidupku dan Luke sibuk kembali dengan tugasnya.
Panji memperketat penjagaan kafenya. Setiap pengunjung yang bukan manusia harus melewati pengecekan intensif. Dua anggota khusus yang berpakaian lengkap berjaga di pintu masuk kafe.
"Segitunya kita berjaga-jaga," kataku kepada Puri yang asyik melipat tisu.
"Bapak bilang korban penculikan bertambah, kami inget Elna? Temennya Sarah? Putri raja elf? Dia juga diculik," sahut Puri. Aku menghela napas. Apa maunya Max?
"Motivasinya mirip kayak lagi mau dendam sama Luke. Ngumpulin beberapa gadis yang dalam perlindungannya," timpal Panji.
"Ya, dan aku target termudah karena manusia," keluhku. Puri terdiam. Dia memandangku seperti baru menemukan sesuatu.
"Rie, Satu-satunya manusia yang dilindungi Luke adalah kamu. Sisanya, mereka adalah keturunan iblis atau malaikat, atau peri. Menjadikan kamu sebagai vampir akan mempermudah mereka menghancurkan Luke, tidak akan ada dukungan dari surga kalo kamu jadi mahkluk hibrid. Luke akan ...,"
"Kalah!" tukas Panji memotong kalimat Puri dan segera menelepon Om Bas. Aku tertegun. Sebegitu rumitkah strategi musuh Luke? Dan, aku menjadi kunci utamanya untuk menang. Kupikir, Luke mau melindungi kembali karena perduli. Ternyata ....
Rasa sakit kembali menghujam.