Tidak butuh waktu lama bagi Luke dan tentaranya menumbangkan komplotan Mariane di Singapura dan Malaysia. Om Bas juga cukup gemilang memotong pergerakan vampir di pulau-pulau besar Indonesia. Sayangnya, Mariane belum juga tertangkap.
Sudah seminggu ini Luke tidak kembali. Pertanyaanku yang terakhir tidak mampu dijawabnya.
Aku, Puri dan Bian sibuk membuat skripsi. Kami harus bolak balik semarang-Jogja untuk mengumpulkan data dan bahan skripsi.
Jumat ini, kami terpaksa harus menginap di Semarang karena data terakhir yang harus kami dapatkan tidak cukup memakan waktu satu hari. Bian memesan dua kamar dan kami segera menuju lift untuk naik ke atas di mana kamar kami berada. Sebelum masuk lift, Puri terlihat kaget. Ditariknya tanganku dan Bian. Telunjuknya mengarah ke lobi. Hatiku tercekat. Luce dengan seorang gadis cantik yang sedikit lebih muda dariku sedang berdiri di depan resepsionis. Kami tidak mengenal gadis itu sama sekali. Rambutnya panjang berombak indah sepunggung. Wajahnya oriental tapi matanya besar indah. Tubuhnya tinggi semampai bak foto model. Sangat terlihat serasi berdiri berdampingan dengan Luke. Hatiku bergemuruh. Entah emosi atau cemburu, atau bahkan keduanya.
Bian tidak menunggu waktu lagi, dia melangkah menghampiri Luke dan gadis itu.
"Luke, kebetulan banget ya," seru Bian sambil menyindir. Luke terkejut tapi tampak senang. Dia memeluk Bian dan memperkenalkannya pada gadis yang bersamanya. Aku dan Puri bisa mendengar jelas pembicaraan mereka. Tapi aku memilih tetap berdiri di depan lift.
"Sama siapa?" tanya Luke, Bian berbalik dan menunjukku juga Puri. Luke kali ini terlihat kikuk. Dia tahu apa yang kupikirkan. Tatapanku tajam dan tidak simpatik. Puri menarikku untuk mendekati mereka.
"Kenalkan ini Sarah," ucap Luke dengan datar. Sarah tersenyum manis. Disambutnya tangan kami dengan ramah. Kami mengobrol sebentar, tapi suasana terlanjur kaku karena aku diam. Perasaan ini tidak bisa kusembunyikan lagi. Aku meninggalkan mereka tanpa pamit ke atas. Panggilan Bian dan Puri tidak kuhiraukan. Hatiku terlalu sakit. Luke menatapku tanpa ekspresi.
***
Saying Goodbye.
Aku mengeraskan hatiku. Pertama Fiona kemudian ada gadis kedua yang Luke tertangkap bersamanya, Sarah. Berikutnya siapa lagi, entah. Cukup sudah aku membiarkan hatiku dipermainkan. Luke selalu ada alasan untuk tidak bersamaku. Persetan dengan semua alasannya, bagiku dia sudah tidak lagi memiliki hatiku.
Puri menutup pintu pelan. Aku pura-pura sibuk dengan laptop.
"Gadis itu anak Abaddon dengan manusia. Ibu Sarah baru meninggal, jadi Luke sementara bertugas menjaga dan melindungi dia," kata Puri mencoba memberiku pengertian.
"Bukan urusanku lagi, Ri," sahutku ketus.
"Tentu ini akan jadi urusanmu, Rie! Jangan egois! Luke hanya panglima yang harus mengikuti kehendak rajanya apapun itu!" bentak Puri. Aku berhenti mengetik. Kupalingkan mukaku menatap Puri.
"Sejak kapan kau berada dipihaknya? Darimana kamu tau dia HARUS mengikuti kemauan Abaddon, rajanya, dan bukan kemauan Luke sendiri?!" pekikku tidak mau kalah.
"Karena seperti itulah aku dan keluargaku!" balas Puri tajam. Aku terpaku.
"Bapakku dan semua keturunan keraton yang terpilih harus mengikuti perintah sultan," kata Puri lebih melunak. Dia menghempaskan tubuhnya dikasur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar.
"Selama kami hidup, kami terikat sumpah setia kepada Sri Sultan, Rie. Bukan beban. Tapi kewajiban, dan aku bangga keluargaku ikhlas melakukan itu." Puri memejamkan matanya.
"Ada ratusan gadis dalam lindungannya, dan Luke memilihmu di antara ratusan itu. Kamu bukan yang tercantik, terpintar atau teristimewa. Tapi hatinya diserahkan kepadamu," bela Puri lagi.
"Fiona mengatakan sesuatu," jawabku akhirnya. Puri bangkit dari tidurnya.
"Jika Luke sudah berkenan di hadapan Magna Patris, maka dia harus kembali ke surga. Dia tidak bisa dimiliki oleh siapapun," kataku mengulang persis ucapan Fiona sebelumnya.
"Itu mungkin akan terjadi ratusan tahun dari sekarang, dan usiamu mungkin paling lama hanya tujuh puluh tahun," balas Puri terlihat kesal atas sikap keras kepalaku.
"Nikmati cinta Luke dan cobalah untuk bahagia Rie. Kamu terus nolak kebaikan dalam hidupmu. Kebodohan orang tuamu tidak menjadikan seluruh hidupmu akan sial selamanya," bujuk Puri. Aku mencerna kata-kata bijaknya. Tapi entahlah, tetap hatiku memilih untuk meninggalkan kebahagiaanku.
***
Kertas terakhir selesai terprint-out. Sepulang kami dari Semarang aku terus menyibukkan diri dengan tugas skripsi yang sebetulnya masih ada waktu tiga bulan untuk menyelesaikan.
Kurapikan tumpukan kertas menjadi satu bundel, siap diajukan kepada dosen pembimbing. Setelah lulus dan wisuda, aku akan pindah dari rumah Luke. Aku ingin melanjutkan hidup, lepas darinya. Suara ketukan dipintu yang terbuka membuatku menoleh. Luke.
"Ya," sahutku tak acuh.
"Sibuk?" tanya Luke datar.
"Lumayan," jawabku kembali sambil merapikan meja belajarku.
"Punya waktu bicara?" Aku sudah menebak dia pasti akan datang dengan segala alasan manisku.
"Sarah akan tinggal disini," cetus Luke tidak lagi menunggu jawabanku.
Tas di tanganku jatuh. Aku memungutnya dengan hati hancur. Kupikir dia akan meminta maaf dan berusaha menjelaskan, tapi ternyata tidak. Mungkin ini sudah saatnya hubungan kami berada di ujung.
"Silahkan. Tidak perlu tunggu lama. Dia bisa pake kamar ini, aku pindah besok," pungkasku menutup pintu, tidak perduli Luce yang terpaku di depan pintu, terkejut atas keputusanku.
***
Puri, walaupun setengah hati, membantuku pindahan hari ini. Fiona terus meminta maaf dan membujukku supaya terus tinggal. Bahkan dia mengedor pintu Luke untuk mengakui kesalahannya memberitahu hal yang seharusnya tidak kuketahui. Luke tidak keluar dari kamar.
Menjelang sore, aku dan Puri baru selesai pindahan. Semua barang sudah tersusun rapi dan Puri mengusap peluhnya dengan lega.
"Kenapa nggak tinggal sama aku aja sih, Bapak juga sudah nawarin kok," gerutunya kesal. Aku tersenyum dan melempar handuk ke arahnya.
"Mandi gih, kucel banget tampangmu, bau lagi," ledekku sambil menutup hidung. Puri meleletkan lidahnya dan segera mandi.
Ponselku bergetar, pesan masuk dari Bian.
-kamu pindah kok gak ngabarin? Ada masalah apa?-
Rasa malas untuk menjawab dan membicarakan topik Luke menguasaiku.
-tanya Puri- balasku dan mengunci ponselku.
Malam setelah Bian datang, Puri pamit.
"Giliranmu," serunya dan berlalu. Bian duduk diteras kamar kos. Untunglah aku membeli kursi sepasang, jadi ada tempat untuk pengunjung.
"Kenapa kamu harus keras kepala sih, Rie?" tanya Bian tidak mengerti. Kunaikkan kakiku di kursi dan menarik selimut rapat.
"Bi, mulai detik ini, aku akan memilih sendiri kebahagiaanku. Aku tidak mau kehilangan lagi. Seandainya Luke lebih cerdas berstrategi, Maya masih ada di sini," tukasku tajam. Bian tercekat.
"Kamu menyalahkan Luke atas kematian Maya? Itu sudah takdir, Rie. Masyaallah ...," Bian mengelengkan kepalanya.
"Aku tidak mau terlibat lagi dengan dunia mereka Bi, i want to live in peace, a simple life, aku capek," sahutku lirih. Bian menghela napas panjang. Wajahnya yang tampan mengundang lirikan genit penghuni kos yang mayoritas wanita. Bian terlihat jengah dan tidak nyaman.
"Udah malem, aku balik dulu," ujar Bian dan bangkit berdiri.
"Besok aku jemput kalo ke kampus," pamitnya. Aku mengucapkan terima kasih dan melepasnya.
Sepeninggal Bian, aku masuk dan menumpahkan semua emosi yang mengganjal, menangis hingga lelah dan tertidur.