Chereads / Riona / Chapter 32 - Let Her Go

Chapter 32 - Let Her Go

Om Baskara, ayah Puri, mengatur semua evakuasi Maya yang menjadi korban serangan vampir. Semua dilakukan dengan rapi dan diam-diam supaya tidak menjadi berita sensasional. Winda langsung mendapat perawatan dan dihipnotis supaya tidak ingat akan kejadian yang menimpanya. Aku baru tahu bahwa keluarga Puri dan Panji seperti agen khusus yang menangani kematian yang disebabkan kejadian supranatural. Ini yang menjelaskan Kenapa Tante Laras sangat pengertian dan memahami kami tempo hari. Om Bas terlihat marah besar ketika mengetahui keseluruhan cerita kami. Tapi yang cukup membuatku kagum, Om Bas dan timnya tidak meringkus ataupun terlihat takut terhadap Fiona. Gadis itu mendapat perlakuan yang sama seperti kami. Tidak ada perbedaan sedikit pun.

"Kenapa kalian bisa begitu ceroboh! Tidak ada yang laporan dari kalian! Terutama kamu Puri, Panji! Udah merasa jagoan kalian?" bentak Om Bas. Puri dan Panji terunduk dalam diam. Keduanya terlihat bersalah. Fiona menangis tiada henti. Maya baru dikenalnya selama sebulan, tetapi Maya mungkin manusia pertama yang menerima Fiona apa adanya dan menjadi sahabat dekat pertama dari ras manusia. Bahkan bagi Maya, Fiona adalah keajaiban dunia yang menarik. Tidak pernah terbersit bahwa Fiona adalah mahkluk yang dianggap oleh sebagian orang sebagai monster. Aku sendiri masih tidak percaya, bahwa sahabatku sejak SMP telah pergi. Apa yang harus kami katakan untuk menghibur mama Maya? Oh Tuhan seketika pikiranku menjadi buntu.

"Sekarang kalo sudah begini, siapa yang bisa nyeritain ke orang tua Maya? Rekayasa apa yang ada di otak kalian?" Om Bas belum puas memarahi kami. Pria kharismatik dan berwibawa itu tampak merah padam menahan kejengkelan yang disebabkan aksi kami yang ceroboh dan sok jagoan.

"Fiona, kamu harus isi formulir keterangan dengan Ibu yang di sana," perintah Om Bas. Fiona bangkit dan mengangguk lemah.

Reaksi mama Maya di luar dugaan. Tadinya kami mengira dia akan histeris dan kalut. Tidak ada tuntutan penjelasan lagi, hanya bahasa tubuhnya tampak rapuh. Dia tampak tabah dan memahami yang telah menimpa anaknya.

"Riona, terima kasih atas bantuan kamu selama ini, Maya memilih untuk pergi dan meninggalkan semua kekalutan pada kita," ucap Tante Norma, ibu Maya. Aku hanya menangis dan tidak mampu menanggapi semua ucapannya.

Om Baskara terpaksa membuat cerita palsu untuk menutupi penyebab kematian Maya. Dengan dalih kecelakaan tabrak lari, Maya ditemukan terkapar di depan rumahku.

Pemakaman Maya berjalan lancar. Tapi rupanya ada satu prosesi, yang membuatku bergidik. Sebelum penguburan yang dilakukan, tim otopsi agen khusus om Baskara terpaksa memenggal kepala Maya dan menusuk hatinya dengan pasak kayu supaya sahabatku tidak berubah menjadi vampir.

Mengetahui kenyataan itu, hatiku kembali terasa kosong dan sakit.

Hujan masih turun rintik-rintik. Aku, Bian, Fiona, Puri dan Panji, berdiri di depan pemakaman Maya. Rasa enggan menerima kenyataan bahwa sahabat kami yang selalu ceria dan bawel telah pergi untuk selamanya, meninggalkan rasa sakit yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Bayangan menyakitkan tiga tahun lalu kembali. Hari ini, aku harus merasakan kehilangan lagi. Sampai kapan aku tidak lagi ditinggalkan seperti ini?

***

Kami berlima terpuruk. Aku tidak mampu menghadapi hari demi hari tanpa Maya. Puri dan Panji tidak pernah muncul. Sedangkan aku dalam kondisi mental yang terpukul. Berhari-hari aku tidak keluar kamar. Tapi setelah melihat kondisi Fiona dan Bian, aku baru tersadar. Akulah yang harus lebih kuat dibandingkan mereka. Aku harus membantu mereka bangkit dan bersemangat kembali.

Pagi itu Bian tampak konsentrasi menghadap laptopnya di gazebo. Fiona termenung di depan adonan kuenya. Aku keluar kamar dan mengajak mereka bicara.

"Kita nggak bisa begini terus," aku mencoba membuka percakapan. Fiona menoleh dan kembali membuang muka. Wajahnya tampak tirus. Aku tahu jika Fiona harus menahan diri untuk tidak meminum darah manusia segar seperti dulu. Dia cukup puas dengan sumbangan darah dari om Baskara yang dikirimkan dalam bentuk kantung. Dari segel dan stiker yang tertempel aku tahu jika itu berasal dari bank darah.

"Tolong mintakan izin kepada Baskara, supaya aku bisa memburu mereka," pinta Fiona dengan nada balas dendam.

"Ajak aku," sahut Bian terdengar semangat.

"Cukup hentikan! Kita harus berhenti sejenak, dan mengatur strategi. Menempuh cara seperti keinginan kalian sama saja bunuh diri!" teriakku jengkel.

Fiona menyeka matanya.

"Aku tidak bisa meredam rasa amarahku, ini terlalu sakit, Maya berusaha membantuku dan dia mati," ratap Fiona dengan bibir gemetar.

"Shut it down your feeling then Fiona!" Sebuah suara yang kukenal. Luke! Dia berdiri di ruang keluarga dengan putrinya, Valerie. Aku menatapnya dengan rasa lega luar biasa. Fiona berlari mendapatkan anaknya dan menciumnya bertubi-tubi. Valerie terkekeh geli.

"Maksudmu apa Luke?" tanya Bian tidak mengerti.

"Fiona bisa mematikan perasaannya jika dia mau. Tapi, dia akan kehilangan sisi kemanusiaannya," jawab Luke sambil memelukku penuh kerinduan. Fiona menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau kembali ke masa mengerikan itu. Bantu aku melewatinya untuk saat ini," bisik gadis itu dengan penuh harap.

"Kita hadapi bersama?" seru Puri dan Panji yang muncul dengan senyum tipis namu binar mata penuh harapan. Puri langsung memeluk Fiona dan berkenalan dengan Valerie, gadis kecil yang tampak gembira bertemu dengan ibunya kembali.

"Rupanya rencanaku berhasil. Walaupun dengan sangat menyesal, Maya harus menjadi korban," seru Luke. Aku mengernyit bingung.

"Maksudmu?" tanyaku. Bulu kudukku merinding. Dalam hati tidak berharap ada konspirasi busuk di balik ini semua.

"Aku sengaja membawa Valerie dan memancing Fiona untuk berani lepas dari ibunya. Kemudian meminta Himauwe mengatur perjalanan Fiona ke sini. Untuk mengenal dan menjadi Fiona yang kukenal dulu," Luke meneguk minuman ditangannya.

"Aku tahu dengan yakin, Rie, bahwa kau akan membimbing Fiona bisa menjadi dirinya kembali, dan mengejutkan sekali kalian sudah dekat satu sama lain," Luke menatap satu persatu wajah yang penuh tanda tanya. Darahku menggelegak.

"Dan kau korbankan Maya!" pekikku tidak terima.

"Mariane dan kaumnya harus dimusnahkan karena terlalu parah merusak daerah utara dengan pemberontakan diam-diam, tapi aku ingin Fiona dan Valerie selamat. Satu hal yang tidak kuperhitungkan. Mariane adalah vampir terlicik. Tapi setidaknya Fiona dan Valerie aman. Sekarang Mariane dan Kaum Farley menjadi buron internasional," terang Luke dengan lantang dan berusaha meraihku untuk mendekat. Aku mundur. Luke menghela napas.

Puri menyerahkan tabnya kepada Luke.

"Mariane sudah membunuh total 43 orang. Semuanya raib tidak berbekas. Dia sedang membangun pasukannya," kata Puri menjelaskan.

"Kerajaan iblis pantai selatan tidak mau ikut campur. Bagi mereka ini urusan manusia. Vampir adalah mahkluk hibrid yang paling dibenci oleh mereka," tambah Panji.

Luke menatap keduanya.

"Aku kagum pada keluarga besar keraton. Pasukan khusus kalian adalah salah satu yang terbaik di Asia, aku akan merasa terhormat bekerjasama dengan ayahmu Puri," puji Luke sambil menyerahkan tabnya kembali.

"Ada sesuatu lagi," seru Puri sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Dua buah kalung perak dengan liontin yang berbentuk loket kotak. Diserahkan kalung itu kepadaku dan Bian.

"Pakai ini, kalian akan terlindungi dari hipnotis dan vampir tidak akan menghisap atau menyentuh kalian," Puri menjelaskan fungsi kalung itu. Kami segera memakainya.

"Jadi rencana sekarang apa?" tanya Bian sambil memangku Valerie. Aku menggelengkan kepala. Pikiranku buntu. Bertemu kembali dengan Luke tidak mengurangi kesedihanku kehilangan Maya, Justru menambah kekesalan juga kecewa. Dia berusaha menyelamatkan Fiona dan Valerie, tapi kenapa Luke tidak memperhitungkan keselamatan Maya? Ada rasa marah yang kusimpan kepada Luke.

Fiona sudah selesai menyiapkan makan siang. Kami duduk di meja makan dan bersantap dalam suasana yang kaku. Tidak hadirnya Maya ternyata sangat membuat segala sesuatu tidak lagi sama.