Aku masih mencoba memenangkan Maya. Dia masih terisak perlahan. Kami duduk di meja kantin paling ujung. Untunglah hari ini hanya satu mata kuliah saja, itupun tidak jadi karena dosen tidak datang. Jadi kami ada waktu untuk membicarakan masalah yang dihadapinya.
"May, jangan jadikan beban. Nanti kuliahmu berantakan," ucapku berusaha menghibur.
"Aku mungkin nggak akan lanjut kuliah, Rie. Bayar uang kuliah juga nggak sanggup lagi. Habis semua disita, Rie," keluh Maya getir. Aku terhenyak. Begitu parah efek dari manusia yang terlibat korupsi saat ini.
"Mamamu pasti punya rencana lain, soal kuliah jangan khawatir. Kan ada aku dan temen-temen. Kita nggak akan tinggal diam kok," kataku menenangkan lagi.
"May jangan nangis dong! Bian juga siap membantu nona bawel yang selalu dihati...," seru Bian yang muncul tiba-tiba. Maya tertawa dalam tangisnya.
"Ih hapus dong itu ingus ... udah bawel, jelek lagi sekarang!" ledek Bian sambil menyusut hidung Maya dengan tisu tanpa jijik. Aku terharu. Maya semakin menangis tersedu-sedu, Bian memeluknya dan membiarkan Maya menumpahkan beban di pundaknya.
Puri tiba bersamaan dengan Panji. Keduanya juga memberikan dukungan penuh untuk Maya.
"Mungkin saranku bisa membantu kamu," ucap Panji memecah suasana haru.
"Lanjut, silahkan ...," balas Bian.
"Akhir-akhir ini kan ibu keteteran bikin dessert untuk kafe. Gimana kalo mamanya Maya yang buat, lumayan buat tambahan," kata Panji datar. Puri menyebut Panji autis bukan tanpa alasan. Panji bukan orang yang ekspresif. Mukanya cenderung datar dan hampir sama dalam situasi apapun. Bahkan disaat panik, walaupun ucapannya kacau, tapi wajah dan raut muka Panji akan tetap sama.
"Bagus tuh idenya," sahut Bian. Puri mengangguk setuju.
"Modalnya nggak ada, aku sama mama pulang dari Jakarta cuman bawa tiga ratus ribu. Rekening kosong. Mobil disita. Rumah aja yang masih aman, karena hadiah dari bos papa yang dulu."
Maya terlihat putus asa. Aku tersenyum. Tanganku mengambil amplop cokelat dalam tas dan menaruhnya di depan Maya.
"Aku ada uang dollar sisa dari uang saku kemarin ke Kanada. Jumlahnya masih sekitar empat ribuan dollar. Pake buat kuliah, modal dan kebutuhanmu," ucapku tulus. Bian juga seperti teringat sesuatu, tangannya meraih amplop coklat yang sama dari tas bututnya.
"Jadi inget gara-gara Rie, ini juga masih ada. Tapi cuman dua ribuan dollar. Aku beli sepatu sport soalnya waktu di duty free," timpal Bian cengengesan. Maya ternganga.
"Sebanyak ini? Terus kalian?" tanya Maya tidak percaya.
"Gue kan ada usaha May, nggak usah khawatir, ntar kalo kurang bilang, gue tambahin," sahut Bian tanpa bermaksud sombong.
"Bener May, aku juga kebetulan di support sama Luke. Jadi uang itu tidak aku butuhin, pake aja," aku menyorongkan kedua amplop ke tangan Maya.
"Makasih ...," desisnya penuh haru.
"Nah sekarang masalah duit kelar, tinggal denger cerita tentang liburan kalian," seru Puri berusaha mengalihkan suasana sedih. Maya tertawa dan mengangguk. Bian dengan semangat berapi-api menceritakan seluruh pengalaman kami termasuk tentang Valerie.
Maya dan Puri nampak syok berat. Fakta tentang adanya para mahkluk ajaib saja mengguncang nalar mereka. Ditambah Luke, seorang iblis bisa memiliki keturunan.
"Rie, Bagaimana kamu menanggapi semua ini?" tanya Puri dengan wajah masih terheran-heran.
"Luke harus bertanggung jawab. Itu pasti. Tapi bukan berarti tanggung jawab kepada mamanya Valerie juga kan? Luke still mine," sahutku mantap dan tegas.
Maya menutup mulutnya tidak percaya.
"Kamu berubah banyak Rie. In a good way," puji Bian tulus.
"Beneran banget ... yang cengeng sekarang gue malahan," timpal Maya meremas tanganku hangat.
"Terkadang kita menjadi matang dan dewasa karena terpaksa, tapi that's life. Bersyukur aku mengenal kalian semua," ucap Puri menumpukkan tangannya di atas tangan Maya dan aku.
"Terus jadinya kamu mama mudanya Valerie dong," cetus Panji polos. Kami terbahak dengan kalimat tersebut.
Pagi itu cukup terik. Tapi hati kami sejuk dan damai. Tidak apa-apa jika kedepan ada masalah yang menghadang lagi. Karena kami saling memiliki. Hatiku mengucap syukur. Aku memang kehilangan seluruh keluargaku. Tapi aku tidak sendiri lagi.
***
Setengah berlari aku menuju gedung kesenian. Mata kuliah yang tidak begitu padat harusnya mengurangi kesibukanku. Tapi, predikat asistan dosen menjadikan aku sasaran para anggota senat yang menunjukku menjadi salah satu panitia pentas seni untuk menyambut Rektor baru tahun ini. Berbagai macam pertunjukan sedang melaksanakan gladi resik siang ini. Berkat tangan terampil Maya dan Bian, gedung kesenian tua disulap menjadi gedung opera eksklusif dengan budget renovasi total dari kampus.
Maya sepertinya memiliki jiwa desainer alami. Tidak ketinggalan Puri yang menambah detail tradisional khas Yogyakarta dengan sumbangan dari orang tuanya berupa seperangkat gamelan lengkap. Tangan dingin Bian juga mampu mendesain gedung ini menjadi lebih bernilai seni dengan kelincahan tangannya menggambar pengembangan gedung tua. Aku sempat putus asa saat waktu yang diberikan hanya sebulan. Tapi ternyata akhir februari semua sudah selesai.
Aku mengumpulkan satu persatu laporan persiapan, termasuk memastikan semua terfollow-up hingga tuntas. Tanpa kusadari, sepasang mata penuh kedengkian memandangku dari jauh. Puri mendekatiku dengan santai.
"Arah jarum jam sepuluh, Winda ngeliatin kita dengan dongkol," bisiknya sambil merapikan pita. Aku berhenti mencatat. Kuhela napas panjang.
"Bian yang nggak tegas Ri. Winda masih ngantung jadinya," sahutku. Tingkah laku Winda memang semakin mengganggu. Terakhir kali dia bahkan merusak mobil Luke dengan menghancurkan kaca depan. Aku harus mengganti semua kaca depan mobil yang tidak murah.
"Laporin polisi ajalah," seru Puri geregetan. Aku mengedikkan bahuku.
"Jangan. Penyakit dia itu penyakit hati, bukan penyakit mental. Jadi nggak setimpal aja kalo harus dipenjarain. Masa depannya bakal hancur," sahutku menenangkan Puri. Baru saja kami mengakhiri obrolan. Terdengar ribut-ribut dari pintu depan gedung. Suaranya bergaung ke seluruh ruangan karena bentuk atap yang melengkung dan luas.
Aku dan Puri bergegas ke depan. Kulihat punggung Bian yang berusaha menghalangi seseorang.
"Bian!" panggil Puri.
Bian berbalik. Deg. Dadaku berdebar tapi tidak ada rasa takut sedikit pun. Lebih kepada terkejut melihat perempuan itu berada di sini. Fiona, berdiri di depan Bian dengan tangan bersedekap di dada.
"Fiona?" seruku. Puri begitu mendengar nama yang kami ceritakan waktu di Kanada, dia langsung memasang kuda-kuda. Aku menyentuh tangan Puri untuk tidak usah khawatir.
"Rie," sahutnya dingin. Bian minggir memberi jalan untukku.
"Ada apa Fie?" tanyaku heran.
"Aku tidak tahu di mana otak kekasihmu tapi ...,"
Aku memotong perkataan Fiona.
"Stop, kita ngobrol di tempat lain," ajakku sambil menarik tangannya yang sedingin es. Fiona memutar bola mata dan menepiskan tanganku tapi tetap mengikuti langkah kami menuju taman. Bian dan Puri membuntuti.
Kami duduk di taman kampus dan dengan hati-hati aku menanyakan hal yang sempat terpotong tadi. Fiona menjelaskan dengan berapi-api. Luke membawa Valerie pergi darinya sebulan lalu dan tidak pernah kembali. Mereka kehilangan jejak. Aku tidak menyangka Luke mengambil tindakan konyol seperti itu.
"Sekarang katakan di mana Luke berada Rie, aku ingin Valerie kembali!" teriak Fiona dengan murka. Taring di giginya mulai tampak. Aku menggelengkan kepala.
"Aku nggak punya jawaban untukmu, Fiona. Aku bahkan nggak tau di mana Luke! Sudah beberapa bulan dia tidak pernah muncul," jawabku dengan nada prihatin. Fiona menerjangku, tapi Puri lebih cepat dan segera menghantam tubuh gadis itu dengan tendangan tenaga dalamnya. Fiona terpental dan bibirnya tampak berdarah.
"Sekali lagi kau sentuh dia, selanjutnya pasak kayu yang menancap di dadamu," ancam Puri. Ucapan yang sama saat Luke mengancam Mariane. Fiona tidak menduga ini akan terjadi.
"Kau pembasmi iblis," desis Fiona menatap Puri dengan ekspresi ketakutan.
"Bukan, aku cuman manusia biasa. Tapi aku yang memilih untuk waspada dan menempa kekuatan untuk menghadapi makhluk sepertimu," jawab Puri tenang. Tangannya terulur membantu Fiona berdiri. Gadis itu tampak ragu. Tapi senyuman Puri menghilangkan keraguannya. Fiona menyambut tangan Puri dan duduk kembali di sampingku. Tangisnya meledak.
"Tolong kembalikan Valerieku. Aku berjanji tidak akan mengganggu hidupmu lagi," isak Fiona penuh kesedihan.
"Dengan siapa kamu kesini?" tanyaku menyelidik.
"Aku sendiri. Sejak Mama tahu bahwa Luke tidak akan pernah menjadi menantunya, dia menjadi beringas dan aneh. Ambisinya terlalu besar dan aku tidak sanggup mengikuti keinginannya. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku lelah dengan permainan ini," keluhnya pilu.
Aku sangat kasihan kepada Fiona. Dia tidak lebih hanya sebagai pion ibunya untuk mencapai ambisi. Tidak ada bedanya denganku. Aku menyentuh tangannya, dan mengajak dia untuk tinggal bersamaku sembari mencari informasi tentang keberadaan Luke. Puri melotot kesal. Tapi Bian menenangkan dengan berjanji akan menemaniku untuk tinggal di rumah.
"Astaga! Kamu betulan mirip banget sama Rie!" pekik Maya yang baru datang. Dia menghampiri Fiona dan mengecek setiap inci wajah dan tubuhnya.
"Kenalkan aku Maya, dan bajumu perlu sentuhan tangan seorang Mayaka Faltirini!" serunya antusias.
"Menurutmu ini nggak bagus?" tanya Fiona ragu. Maya menepuk dahinya.
Baju yang dikenakan Fiona memang terkesan kuno. Gaun bergaya abad pertengahan. Aku mengangguk setuju. Fiona masih kikuk terhadap sambutan kami. Kami melenggang mengajaknya bergabung ke dalam hidup kami.