Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 7 - ~Forget Me~

Chapter 7 - ~Forget Me~

"Nilam, mau sampai kapan kamu ngelamun terus? Pelanggan Tante nanti pada kabur." aku tersadar dari lamunanku,

Sungguh, rasanya sangat linglung karena kejadian tadi sore. Apa itu benar? Aku benar-benar tidak tahu. Aku yakin Ricky hanya bercanda, karena dia tahu aku bukanlah gadis populer di sekolah. Aku bukanlah gadis cantik yang bergaya, seperti gadis-gadis yang mendekatinya. Apa ini salah satu siasatnya untuk membalas dendam masalah beberapa hari yang lalu?

"Maaf, Tan."

"Mikirin pacar?" tebak Tante Rosi, aku menggeleng kuat. "Belajar yang bener jangan mikirin cowok dulu, nanti kalau beasiswamu dicabut bagaimana? Memangnya kamu mau sekolah pakai apa? Kamu gak bisa ngandalin Tante terus, kan?" aku mengangguk faham,

"Iya, Tan." jawabku, aku tidak boleh memikirkan apapun selain belajar dan membantu Tante Rosi di toko roti ini. Aku tidak mau nilaiku turun, aku tidak mau menyusahkan Tante Rosi.

"Selamat datang di Rose Backery, silahkan memilih roti kesukaan anda." dan seperti itu, rutinitasku sepulang sekolah sampai jam sembilan malam. Baru setelah itu aku belajar sampai larut malam.

@@@

Rasanya lelah, ingin sekali aku beristirahat sekarang juga. Tapi, aku belum menyelesaikan tugas merangkumku dari Bu Marita, serta makalah agama dari Pak Mahmud. Rasanya sudah setiap hari aku belajar, tapi tetap saja, urusan tugas masih banyak yang keteteran. Apakah waktu 24 jam itu tak cukup untukku?

Ada beberapa sms yang masuk, tentu saja dari anak-anak kelas, yang terbanyak dari Salma dan Bondan. Aku tahu, kenapa mereka selalu menerorku di saat tugas sedang banyak-banyaknya begini. Apalagi kalau bukan mau minta contekan, kalau tidak begitu mereka akan menyalin tugasku, menyalin sama persis, dan jujur, aku tidak mau itu.

Untung saja, sekarang sudah larut. Mana mungkin aku keluar mencari warnet. Ada komputer di rumah pun, itu komputer tua. Untuk memasang WIFI juga aku tidak ada biaya, mungkin, alasan ini cukup kan untuk bilang tidak bisa pada mereka?

"Oke, tidur!" putusku setelah selesai mengerjakan semuanya, besok tinggal pergi ke warnet untuk mencetak tugas-tugasku ini.

Semoga, tidak kesiangan lagi, dan semoga tugas kali ini bisa diterima oleh guru-guru dengan tangan terbuka. Karena aku yakin, setidaknya, tugasku ini akan mendapatkan nilai A.

@@@

"Pagi Nilam!! Gimana tugas lo? Beres, kan? Pinjem buat referensi!" aku serahkan makalahku pada Lala, anak satu ini memang seperti itu. Suka sekali melihat makalah orang dan membandingkan dengannya, bukan apa-apa, dia takut saja jika salah ambil tema. Karena, sifat pelupanya yang sudah mulai parah.

"Gen, udah ngerjain makalah?" Genta yang baru datang mendekat, dengan senyuman tersungging dia mengacungkan kedua jempol tangannya.

"Genta, calon pacar Lala gitu lo." katanya percaya diri. Lala hanya mendengus, tapi sudah tidak bertengkar lagi seperti biasa, mungkin, Lala sudah terbiasa.

Kami hendak melangkah menyusuri halaman tengah sekolah, tapi tiba-tiba langkahku terhenti. Mau bagaimana lagi, kedua kakiku spontan kaku saat melihat sosok itu, sosok yang entah sejak kapan dia jadi rajin. Pagi-pagi sekali sudah berada di sekolah nongkrong dengan teman-temannya, sosok yang saat ini sudah ketawa-ketiwi dengan teman-temannya, dan sosok yang membuatku menata rambut tanpa sengaja.

"Kita lewat muter aja yuk, jangan lewat sini." ajakku, setengah memohon.

"Ngapain sih? Ada yang deket juga malah nyari yang jauh, ayok ah jalan."

Setengah diseret Genta dan Lala aku pun berjalan melewati gerombolan Ricky. Anehnya, saat aku lewat, dia mengacuhkanku, dia kembali seperti Ricky biasanya. Bahkan, saat ini, di sampingnya tengah ada Echa, teman sekelas kami yang katanya pacar Ricky.

Jangan mimpi, Nilam.

Mungkin tidak seharusnya aku memusingkan guyonan Ricky kemarin. Lagi pula, katanya juga dia bilang jika sekarang dia tidak memiliki perasaan apapun padaku. Nilam, rupanya kamu tipikal wanita yang mudah besar kepala, batinku memperingati diri sendiri. Tapi, kenapa hanya karena masalah ini aku mulai mengenal satu rasa lain di dalam hatiku.

Terluka..

Apa aku berhak? Aku tersenyum getir di antara gelak tawa Lala dan Genta yang entah aku tak tahu mereka membicarakan apa. Yang jelas, aku merasa bersyukur karena ada mereka. Setidaknya, tampangku yang sudah bodoh ini, tidak terlihat semakin bodoh di depan semuanya.

"Jadi mana makalah gue, Lam?" Bondan yang tiba-tiba muncul di balik pintu sebelum aku masuk ke dalam kelas.

"Makalah apa?" tanyaku bingung, bukankah semalam sudah ku jelaskan tentang makalah itu? Aku tidak bisa membuatkan untuknya.

"Makalah gue lah, gue kan minta bantuan ama elo semalem. Gue gak bisa ngerjain, karena Kakak gue sakit, masak elo gak mau bantuin sih? Jangan pelit, mana-mana makalahnya."

"Eh Bon, elo itu punya hati gak sih? Tugas itu tugas elo, kok elo minta buatin Nilam? Elo gila, ya?" nyolot Lala, aku yakin dia pasti tidak akan terima jika sahabatnya diperlakukan seperti itu, Lala terimakasih ku ucapkan padamu.

"Halah cewek sok cantik, gak usah sok deh lo! Gue gak ngomong ama elo, ya?!"

Setengah mendorong, Bondan meraih makalah yang ada di tanganku. Untung saja, Genta ada di belakang Lala, jika tidak, aku yakin tadi Lala akan jatuh begitu saja di lantai.

"Jangan kasar ama cewek woy! Gue laporin ke Pak Mahmud lo, Bon!"

"Banci lo Gen."

"Genta cukup!" teriakku, saat dia hampir meninju wajah Bondan. Cukup! Aku tidak mau karenaku semua ribut. Cukup akan aku selesaikan masalahku sendiri tanpa campur tangan siapapun, yang akhirnya merekalah yang akan terluka karenaku.

"Bondan, balikin makalah gue." pintaku, tapi senyum miringnya itu terlihat jelas, dengan apa yang akan dilakukan pada makalahku.

"Kalau gue gak ngumpulin, elo juga gak bisa ngumpulin, Lam."

KRAAAK!!!

Aku hanya bisa meringis, seperti serpihan-serpihan makalahku yang dirobek-robek Bondan begitu rasanya hatiku, sangat ngilu. Bagaimana bisa, ada seorang teman seperti itu? Bagaimana bisa hidupku harus dikelilingi orang-orang seperti mereka.

PLAKK!!

Lala menapar pipi Bondan, tapi Bondan langsung pergi. Aku tergopoh memungut serpihan-serpihan makalahku, hancur sudah, terlebih lima belas menit lagi Pak Mahmud akan masuk ke dalam kelas. Apakah nasibku akan sama saat pelajaran Bu Marita waktu itu?

"Makanya jadi anak jangan sok pinter! Emangnya kami mau apa temenan apa elo? Kalau lo gak pinter, ogah deh gue temenan ama elo."

"Bener Cha, hukuman tuh buat cewek sok pinter, dasar cewek aneh."

"Anak singa. Ih!"

Ya, seperti itulah mereka. Seolah di depanku memasang topengnya masing-masing, saat ada pelajaran yang menurut mereka aku ini penting. Namun, setelah itu, aku hanyalah aku, di balik topeng mereka itu, aku hanyalah penganggu, aku hanyalah segumpal debu, yang siap disapu kapan saja mereka mau.