"Lo nggak makan?" tanya Arya.
Saat ini, aku dan Arya berada di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari SMA Pelita Mulya. Setelah Ricky meninggalkanku sambil mengucapkan hal yang membuatku merinding, Arya yang kebetulan ada di sana langsung memaksaku untuk ikut bersamanya. Bahkan... Genta dan Lala pun mendukung keputusan Arya. Dan yang lebih bodohnya lagi, aku... mau-mau saja diajak olehnya. Bagaimana jika Ricky tahu? Ricky'kan tidak menyukai Arya. Tapi... untuk apa aku memikirkan hal itu?
"Cewek kemoceng, elo nggak makan?"
"Hah?" tanyaku saat mendengar ucapannya dengan nada lebih tinggi. Dia tersenyum lebar, sambil memajukkan beberapa piring yang berisi burger, kentang goreng dan yang lainnya ke arahku.
"Enggak... gue nggak lapar." jawabku. Memeluk tasku seperti aku takut dengannya. Takut? Jujur... aku lebih merasa nyaman dengan Arya daripada Ricky. Tapi entahlah, hati kecilku selalu ingin menjauhinya. Aku pun tak tahu apa sebabnya.
Apa karena aku merasa bersalah dengan Ricky?
"Lo masih mikirin ucapan Ricky?" tebaknya. Aku hanya diam, tak membalas ucapannya. Karena jujur... aku tak bisa mengelak dari tebakannya itu.
"Dia emang anaknya gitu, nggak usah lo pikirin. Tempramental, egois, dan kejam... lo tahu, dia itu pantesnya di Rumah Sakit Jiwa, bukan di Sekolahan. Gue jadi bingung, Om Haris kenapa diam saja liat anaknya kayak gitu!" mendengar cerita Arya, sepertinya... dia mengenal baik Ricky. Tapi kenapa... keduanya seolah saling membenci. Seolah-olah, tidak pernah saling kenal satu sama lainnya. Apa karena hal itu?
"Soal ucapan lo... gue boleh tanya?" tanyaku hati-hati. Arya masih asik dengan burger yang sausnya belepotan di mulutnya, kemudian dia mengangguk. Ricky dan Arya... tentulah dua cowok yang mempunyai kepribadian berbeda. Arya begitu periang dan ramah, juga begitu memperhatikan setiap detail penampilannya. Sementara Ricky? Tidak usah ditanya.
"Kalian saling mengenal satu sama lain?"
"Tentu... kami mantan sahabat, dulu."
Dulu? Kenapa harus dulu?
"Kenapa lo nyebut Ricky pembunuh? Kenapa mantan sahabat?" dia menghentikan kegiatannya mengunyah burger. Kemudian diletakkan burger yang sisa separuh itu di piring.
Senyum Arya yang awalnya begitu cerah secerah sinar mentari, seketika pudar begitu saja. Mungkin... pertanyaanku salah. Tak seharusnya aku bertanya selancang itu padanya.
"Sorry... gue nggak maksud—"
"Gue sahabatan sama dia dari SD terakhir SMA kelas satu..." katanya tiba-tiba. Dia meminum milkshake-nya kemudian memandangku dengan tatapan jenaka itu, "dulu dia bukan seperti itu... karena masalah keluarga ditambah dengan insiden waktu itu membuatnya berubah. Dan gue benci sama dia."
"Insiden?"
"Jadi ceritanya, gue punya cewek... namanya Nilam Cahaya. Nah... saudara kembarnya dia, si Raka... ngerebut cewek gue. Karena kebodohan Ricky, Cahaya mati. Itu sebabnya gue benci sama dia, jelas?"
"Nilam Cahaya?" dia mengangguk.
Apa ini kebetulan? Namanya dan namaku, hampir sama. Apa itu sebabnya Ricky pun Arya mendekatiku? Apa karena nama kami sama? Lalu, kebodohan Ricky apa yang membuat Cahaya mati? Aku sama sekali tak mengerti ucapan ambigu dari Arya.
"Gue—"
"Nggak ada sesi tanya—jawab lagi, ya. Yang jelas, Cahaya itu bukan elo. Kalian dua orang yang beda. Ngerti? Karena gue salah satu saksi yang lihat jenazah dia di Rumah Sakit sampai dikuburkan waktu itu."
"Maafin gue. Gue nggak bermaksud."
"Gue ngerti, kok..."
"Jadi maksud lo deketin gue... apa karena nama kami sama?"
"Itu salah satunya. Tapi bukan itu kok... ntar lo juga bakalan tahu."
"Oh."
"Yang jelas gue harus lindungin lo dari anak gila itu."
"Siapa?"
"Ricky."
"Dia normal, kok. Dia baik."
"Dia itu gila, Nilam." aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku tidak mau berdebat membela seseorang yang dibenci Arya. Karena, sekeras apapun aku menunjukkan jika Ricky itu baik... akan percuma.
@@@
Setelah kejadian itu. Seminggu terakhir ini, Ricky mrngacuhkanku. Dia kembali menjadi Ricky yang dulu. Bahkan... berkali-kali aku mencoba untuk menyapanya pun, seolah percuma. Dia terlalu sibuk dengan teman-teman badungnya. Hingga... rumor kami putus pun menyebar ke seluruh penjuru Sekolah. Entah mulut pertama siapa yang menyebarkannya, akan tetapi berita itu benar-benar membuat seisi Sekolah berkasak-kusuk. Bahkan... dengan jelas, para siswi pun terlihat sangat bahagia mendengar berita itu. Benar kata Lala, Ricky adalah black prince di Pelita Mulya. Seburuk apapun kelakuannya, tetap saja mulai dari anak kelas satu sampai kelas tiga mengeluh-eluhkan dirinya. Dan itu sedikit membuatku... sakit.
"Nilam... elo kalau kerja yang bener, dong! Ingat! Besok lomba cerdas cermat sebagai penutup class meeting kita! Kita kamu harus segera menyelesaikan soalnya, ngerti?" dan... hal yang kembali seperti dulu terlepas dari semuanya adalah... karena isu itu. Anak-anak kembali mem-bully-ku. Dan Mila pun Kak Aldi melakukan hal seperti dulu, memperbudakku.
"Tapi, Kak. Ini nggak adil. Kenapa soal untuk SMA Pelita Mulya susah-susah dan SMA Harapan Bangsa mudah-mudah? Ini nggak adil... selain itu ini sama saja kita mengejek SMA lawan, kan? Jika—"
"Udah deh... kuping gue panas denger celotehan elo, Nilam! Buruan ketik! Dan mintain tanda tangan Pak Hamdan."
"Pak Hamdan nggak masuk, Kak."
"Sekar... nanti minta tanda tangan Bu Marita."
"I... iya, Kak." Kak Aldi pergi, tinggal aku dan Sekar yang ada di ruang OSIS. Sebenarnya... aku kasihan juga dengannya. Mungkin... beberapa hari ini, dia mengerjakan tugas ini sendiri.
"Gue temenin elo nemuin Bu Marita, ya?" tawarku. Wajah pucatnya tampak terkejut, kemudian dia menunduk sambil membenahi letak kacamatanya.
"Nggak usah, Lam. Gue nggak mau ngerepotin elo."
"Gue nggak repot kok, serius. Gue—" kataku terhenti. Aku langsung mengaduh kesakitan saat Maman—teman OSISku secara tidak—sengaja menabrak lenganku. Bukan dia, tapi kayu yang dibawanya itu. Papan kayu kasar yang bagian tepinya ada paku, dan berhasil paku itu membuat lenganku terkoyak.
"Sorry, Lam! Gue nggak sengaja, beneran!" katanya. Menurunkan tumpukan papan kayu itu kemudian hendak melihat lukaku. Aku jadi ingat, ucapan Ricky yang seolah marah jika aku disentuh cowok. Segera kujauhkan lenganku darinya.
"Nggak... nggak apa-apa, gue obatin di UKS aja, ntar juga sembuh."
"Buruan, Lam! Keburu inpeksi!" pekik Maman. Dia itu memang cadel, tapi cadelnya hanya pada penyebutan huruf 'F' yang berubah menjadi 'P'. Selain itu, normal.
Buru-buru aku keluar dari Ruang OSIS, UKS letaknya di antara Ruang BP dan Kepala Sekolah. Dan jarak dari Ruang OSIS cukup jauh. Setengah berlari aku berjalan ke sana, karena masih ada anak SMA Harapan Bangsa. Mengingat, hari ini adalah babak final pertandingan basket pun sepak bola. Dan yang lebih penting darti itu semua adalah, aku tak ingin Arya menangkap sosokku kemudian mendekat. Bukan karena apa-apa, aku hanya tidak mau Ricky salah paham. Entahlah, hatiku ingin agar menjaga perasaannya Ricky. Itu sebabnya aku harus cepat-cepat.
"Nilam, elo kenapa?" Rian menghampiriku dengan panik. Kebetulan... dia adalah salah satu anak PMR, dan ditugaskan menjadi salah satu penjaga UKS oleh para Guru. Sebenarnya, bukan dia saja. Di setiap kelas selalu ada perwakilan untuk mengemban tugas ini.
"Lengan lo berdarah?!" pekiknya. Yang menjawab pertanyaannya sendiri. Aku masih diam sambil meringis kesakitan. Cepat-cepat cowok yang punya cita-cita jadi perawat itu pun menarikku untuk duduk di ranjang. Kemudian dia mengambil kotak P3K.
Saat Rian hendak memberiku obat merah, pintu Ruang UKS terbuka. Mataku membulat sempurna saat tahu siapa yang ada di depan sana. Ricky, berdiri dengan tampang dinginnya, kemudian berjalan melewatiku begitu saja. Dia tidur di ranjang sebelah ranjangku, seolah tak melihat keberadaanku pun Rian.
"Rick... elo juga sakit?" tanya Rian yang aku bisa tebak jika dia merasa tak enak denganku pun Ricky.
"Hmm." jawab Ricky.
"Butuh obat?"
Aku dan Rian saling pandang, mata Rian seolah mengisyaratkan keingin tahuan kenapa Ricky bersikap seperti itu. Kuangkat kedua bahuku menjawab isyaratnya itu.
"Gue obatin Nilam dulu, ya. Lengannya terluka, nih." kata Rian lagi. Aku yakin dia akan diabaikan Ricky lagi. Sepertinya... mengabaikan adalah salah satu hobi baru Ricky.
"Ini... buat ngobatin dia." Rian membuka mulutnya lebar-lebar, saat melihat Ricky berdiri di sampingnya. Sementara aku... hanya bisa mematung melihat tingkah Ricky. Apa tadi dia melihatku? Aku tahu... dia ada di bibir lapangan bersama teman-teman badungnya. Aku juga tahu jika dia mengabaikanku. Tapi kenapa?
Aku sama sekali tak mengerti Ricky....
"I... iya, Rick," Rian meraih kantung plastik berwarna putih itu. Sementara Ricky beranjak dari tempatnya berdiri, "elo mau ke mana? Bukannya elo sakit?" dan lagi, pertanyaan Rian tanpa jawaban.
Kupandang punggung lebar Ricky yang menghilang dari balik pintu. Seketika kuhelakan napasku. Sepertinya... dia sangat marah, sampai-sampai dia mengabaikanku seperti itu. Nilam... apa yang kamu inginkan? Apa kamu ingin dia mengkhawatirkanmu? Kamu terlalu percaya diri, Nilam.
"Kalian bertengkar, ya?"
"Hah?" tanyaku saat Rian melontarkan pertanyaan itu. Kugaruk kepalaku yang tak gatal kemudian aku mengangguk, "mungkin."
"Ini masalah sama Salma beberapa waktu lalu, ya? Bukannya kemarin kalian baik-baik saja?" Salma? Bahkan... aku sudah lupa tentang kejadian Ricky berciuman dengan Salma. Padahal... kemarin dia bilang jika hanya satu cewek yang pernah dia cium. Nyatanya?
Kenapa aku harus kecewa?
"Dia'kan ceweknya banyak, Yan... wajarlah jika seperti itu dengan Salma." kutundukkan wajahku. Bahkan... aku ingin menangis sekarang. Bukan karena obat yang diberikan Rian. Tapi... karena mengingat masalah itu.
"Apa maksud lo? Ricky waktu itu nolak Salma, dan gue lihat elo langsung lari dengan wajah terkejut."
"Maksudnya?" Rian tertawa seolah mengejekku.
"Ya ampun... gue udah nebak kalau waktu itu lo salah paham sama Ricky. Jadi gini..." dia membenarkan posisi duduknya, sekarang dia duduk manis di sampingku.
"Waktu itu, pas Mondy dan Bondan ngeledekin elo. Ricky marah-marah, katanya mereka nggak boleh ada yang ngomongin jelek tentang lo lagi. Nah... di sana kebetulan ada Salma yang baru masuk kelas. Salma ini ngajakin Ricky bicara empat mata. Dasar Rickynya ogah aja... dia nyeret gue juga. Awalnya Salma nggak mau, tapi dia terpaksa mau karena kalau nggak ama gue Ricky nggak mau diajak ngomong."