Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 19 - ~Betwen My Unlucky~

Chapter 19 - ~Betwen My Unlucky~

"Tan, dulu Nilam pernah ke Kota ini nggak sih?" tanyaku. Sore ini aku dan Tante Rosi tengah membuat adonan kue untuk besok. Setelah aku pulang Sekolah tepatnya... ya, setelah kejadian tadi. Aku dan Ricky.

Tante Rosi yang tadinya mengaduk adonan pun menghentikannya, dahinya berkerut bertanda dia bingung. "Tidak, kok. Memangnya siapa yang bilang? Kita itu dari dulu ada di Kota sebelah. Bukankah kamu tahu, Lam. Kita pindah 2 tahun lalu."

"Lalu..." tanyaku terhenti. Antara bertanya dan tidak, aku bingung bagaimana harus mengutarakannya. "Cowok yang sering ke sini, apa Nilam dulu pernah kenal?" lanjutku hati-hati.

"Nak Ricky? Langganan baru, Tante?" tebaknya. Aku mengangguk kuat-kuat. Tante Rosi malah terbahak sambil mengibaskan tangannya. "Tidak dong! Tante saja baru kenal dia, apalagi kamu. Dan dia juga waktu dulu bukan teman Sekolahmu, kan?"

Aku hanya manggut-manggut. Ternyata benar. Ucapan Tante Rosi benar adanya.

"Kalau kamu pernah kenal dia, kamu pasti ingat, Lam. Kamu kan tidak punya penyakit lupa ingatan. Aneh-aneh saja."

Mungkin aku terlalu kepikiran. Ya, itu pasti....

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Seharusnya, aku tak berpikir sejauh itu. Kenapa aku harus memikirkan perkataan aneh Ricky pun cowok berambut merah itu. Jelas, ada yang aneh pada mereka. Dan itu, bukan aku. Aku yakin akan hal itu.

@@@

"Pagi, Lam!"

"Pagi cewek cantik!"

Lala dan Genta. Keduanya memelukku erat, kemudian melepaskannya. Keduanya tersenyum begitu cerah, secerah mentari pagi ini. Di musim kemarau.

"Pagi!" jawabku. Aku sekarang juga senang. Karena, musim penghujan sudah berpamitan. Jadi, rambutku tidak akan semengerikan saat musim hujan. Meski masih ikal yang sangat ikal, setidaknya tidak terlalu mengembang.

"Hari pertama class meeting, semoga kelas kita menang, ya." harap Lala. Dia itu, salah satu cheers yang kegiatanya ber 'yeye lala' di tepi lapangan sambil membawa pom-pom dan berseragam seksi.

"Elo harus nyorakin gue paling keras ya. Sambil bilang, Genta! I love you!" katanya. Genta memang bisa saja. Mencuri kesempatan dalam kesempitan. Lala hanya memutar bola matanya, mengabaikan ucapan aneh Genta.

Hari ini, tumben sekali. Biasanya, anak-anak akan menabrakku, mengabaikanku juga akan menjahiliku. Tapi, sekarang ini, mereka malah melihatku. Dan seolah ketakutan. Apa yang terjadi?

"Udah nggak usah difikirkan. Mereka emang sinting." ucap Genta. Kutatap wajahnya bingung. Bahkan, aku tak tahu apapun.

Jangan-jangan...

"Mereka sekarang ngatain lo tukang ngadu. Mentang-mentang cowok lo preman Sekolah."

"Maksudnya? Karena masalah Kak Aldi?" tebakku. Genta dan Lala mengangguk.

"OSIS nyebar gosip. Kak Aldi dan anak OSIS lainnya dipukulin Ricky. Karena mereka sering nyuruh-nyuruh elo. Jadi, dari sekarang. Elo di sini, jadi anak yang paling ditakuti di Sekolah."

"Itu nggak mungkin, kan? Gue--"

"Kami tahu." kini Lala berucap. dia dan Genta memelukku bergantian.

Aku yakin, Lala dan Genta lebih tahu aku dari siapapun. Itu sebabnya, mereka percaya padaku. Sungguh, aku tidak pernah punya pikiran sejahat itu untuk mengadu pada Ricky tentang masalah seperti ini. Aku bukan anak kecil, yang ketika disakiti temannya akan menangis kemudian mengadukan semuanya pada orang tuanya. Aku tak sepicik itu.

Aku duduk di bangkuku. Tak lama setelah itu, Bondan dan Ricky masuk bersamaan. Bondan menatapku takut-takut kemudian dia duduk manis di bangkunya. Sementara Ricky, ya, dia. Masih dengan tingkah santainya, berjalan melewatiku sambil menghisap rokok yang ada di tangannya. Sepagi ini, dia merokok.

"Pagi, Rick! Ke mana aja lo?" Mondy yang sudah duduk manis di bangku Ricky melambaikan tangannya. Keduanya saling tos. Kemudian Ricky duduk.

"Habis syuting." jawab Ricky ngawur. Dia diskorsing. Dan masih bisa bercanda. Apakah pekerjaannya hanya bermain-main sepanjang waktu? Sampai-sampai, ancaman Bu Marita dianggap tak penting olehnya?.

"Elo dicari-cari Rendy. Katanya ada dikit masalah ama anak Sekolah sebelah."

"Apa?"

"Biasa, lapak kita diambil alih ama mereka."

"Oh...."

"Jadi, kapan kita berangkat?"

Lama, aku tak mendengar jawaban Ricky. Aku hanya mendengar ketukan pelan jemarinya yang terus mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang cukup teratur. Aku yakin, dia sedang menimbang-nimbang. Dan itu membuat jantungku berdetak tak karuan. Bisakah dia bilang 'tidak'. Kenapa aku sangat ingin mendengarkan jawaban itu.

"Oke, besok sepulang Sekolah."

Kenapa, aku sedikit kecewa dengan jawaban itu. Seharusnya aku tahu, jika Ricky akan menyetujuinya. Dia, tipikal cowok yang tidak akan bilang 'tidak' untuk hal-hal yang menurutnya menantang. Karena, dia badung.

"Tapi, Rick! Elo udah dapet ancaman ama Bu Marita. Ketahuan tawuran lagi, dikeluarkan lo dari Sekolah!" Bondan kini bersuara. Aku tahu, jika urusan tawuran. Bondan dan Ricky adalah sekutu. Bisa disebut, mereka satu geng.

"Nanti dicium pasti bakalan diem." jawabnya. Mengapa, dia tak sesopan itu pada Guru. Terlebih, di sini ada aku? Oh Nilam. Kamu terlalu percaya diri jika kamu ini adalah bagian terpenting dalam diri Ricky. Buktinya, sekarang ini pun, Ricky mengacuhkanmu.

Mondy dan Bondan terbahak. Sampai-sampai menganggu acara belajar beberapa anak. Tapi, mereka tidak akan berani menegur. Karena, akibatnya akan fatal jika itu terjadi.

"Jadi, soal Nilam. Elo beneran jadian ama cewek singa itu?" Mondy menunjukku dengan dagunya. Aku menunduk, pura-pura tak melihat. Menyibukkan diri menata buku-buku yang ada di meja sambil berbincang sama Sekar. Karena, Lala sedang ada di toilet. Sementara Genta, bersiap untuk pertandingan pertama Sekolah kami.

Hening, tidak ada jawaban. Aku yakin, Ricky hanya menjawabnya dengan gerak tubuh. Antara mengangguk, atau menggeleng. Tapi, aku merasa, dia menggeleng.

"Cewek yang keberapa elo? Gimana? Enak diajak gituan? Tubuhnya aja kecil gitu, Rick! Dari semua cewek yang elo pacarin. Dia sendiri deh yang paling buruk. Jangan-jangan, setelah lo ajakin tidur, elo bakal buang dia, iya?"

"Jangankan diajak gituan Mon. Diajak ciuman aja paling-paling ngompol! Hahaha!" kini, Bondan menimpali ucapan Mondy.

Segera, aku bangkit. Sambil menarik tangan Sekar untuk keluar dari Kelas. Sebelum itu, aku sempat melihat. Mata cokelat itu menatapku tanpa kedip. Dengan senyuman yang menjijikkan itu. Seolah, menjadikanku bahan gurauan teman-temannya adalah hal terbaik yang pernah ada. Apakah ini yang dinamakan pacaran? Tidak. Dia hanya mempermainkanku, tidak lebih. Sikapnya yang berubah-ubah selalu saja membuatku bingung. Sikap baiknya, membuatku besar kepala, dan sikapnya yang seperti ini, membuatku tahu diri. Cukup tahu untuk tidak mimpi terlalu tinggi.

"Lam! Elo ngajakin gue ke mana?!" aku memekik kaget. Saat Sekar mencubit lenganku pelan.

Aku baru sadar, jika sedari tadi yang kulakukan hanyalah menarik-narik tangan Sekar sampai ke taman Sekolah.

"Oh, itu... kita bantu OSIS." dustaku. Padahal, tadi niatku hanya untuk menghindari Ricky dan teman-temannya. Terserah, di mana saja. Yang penting jauh dari Ricky.

"Elo nggak tahu ya? Kita dibebas tugaskan dari tugas kali ini. Kata Mila dan Kak Aldi, tugas kita dikerjakan yang lain."