Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 2 - First Time -B

Chapter 2 - First Time -B

"Oh rambut elo!" pekiknya girang, rupanya dia baru sadar jika rambutku, ku kuncir.

"Ih lucu deh Lam, beneran!" kini Genta ikut-ikutan, dia duduk di belakang kami, bersama dengan Rian, siswa lainnya yang mungkin senasib denganku, selalu dianggap tidak ada.

Bedanya, Rian sering disebut dengan panggilan 'cupu' atau 'culun' sementara aku? Mereka sering menyebutku dengan panggilan 'cewek aneh' ataupun 'anak singa', biarkan, jika mereka senang. Hitung-hitung, bersedekah.

"Jadi, nggak mengerikan lagi, kan?" tanyaku, keduanya menggeleng dengan senyum lebarnya.

"Imut!" jawab mereka kompak.

"Rick! Sini-sini, Bro!"

Aku tidak berani menoleh, saat nama itu disebut. Rupanya, dia sudah bisa sekolah kembali. Bisa ku rasakan, merindingnya tubuhku, seolah-olah, nama itu mengundang kesialan di dalam diriku.

Ya, Ricky, Ricky adalah dia.

Aku memilih mengobrol dengan Lala, saat sosok itu berjalan melewatiku. Tapi, bisa ku lihat dari ujung mataku, untuk kesekian detik, dia berhenti, memandang ke arahku, dengan senyuman itu. Senyuman menghina yang jelas ditunjukkan padaku, sebelum dia duduk, bersama teman-temannya, di bangku paling belakang, bangku-bangku bagi para preman.

"Gimana liburan elo, Bro?"

Itu bukan liburan, tapi hukuman.

"Lumayan, bisa tidur di rumah sampai puas."

Menyedihkan.

"Ini semua karena tuh anak singa! Coba dia gak sok yes waktu itu, mana mungkin sampai ada polisi dateng. Pasti dia yang manggil polisi di sana, sampai elo ketangkep kemaren, Rick."

Jika iya, kenapa?

Ricky, dia melihatku dengan malas, kemudian mengambil sebatang rokok dari saku seragamnya. Merokok di sekolah, adalah larangan yang wajib dipatuhi, tapi baginya, bahkan di kelas, merokok adalah hal yang wajib dilakukan.

"Maklum, OSIS." jawabnya enteng.

Andai bisa, aku tidak akan mau menjadi kambing hitam saat itu, andai bisa, aku memilih untuk mengerjakan semua dokumen OSIS, andai bisa.

"Ada ulangan Biologi, Rick. Elo tahu, kan?"

"Enggak."

"Enggak belajar pasti sempurna nilai lo."

Aku membencinya.

Bagaimana bisa, dia selalu mendapatkan nilai sempurna? Bahkan, hampir setiap hari yang dia lakukan, hanya berhura-hura, hanya main kesana-sini bersama teman-temannya, kalau tidak begitu membuat rusuh. Sementara aku? Aku yang belajar setiap hari, harus rela kalah dari dia, bagaimana bisa? Aku sama sekali tidak mengerti.

"Selamat pagi anak-anak."

"Selamat pagi, Pak!!!" seru kami,

Setelah berdo'a bersama, soal dibagikan oleh Rian, selaku ketua kelas, dan kami pun mulai mengerjakan soal ulangan dari Pak Warto.

Aku bisa melihat banyak anak yang sibuk berdiskusi, lempar melempar kertas sampai memainkan kode sebanyak yang mereka bisa. Bagaimana bisa? Apakah mereka tidak belajar sebelumnya? Ya, aku tahu. Bagi mereka, belajar adalah hal kesekian, dan bergosip atau melakukan sesuatu tak bermanfaat adalah hal utama. Tapi, sifat mereka itu benar-benar merugikan.

Ku kumpulkan jawaban ulanganku di meja depan kelas kemudian keluar, untung tidak terlalu sulit. Jam terakhir nanti harus mengumpulkan makalah dari Bu Marita, makalah bahasa inggris. Untung saja, makalahku sudah selesai. Lebih baik, aku kumpulkan sekarang, agar istirahat nanti aku bisa langsung ke ruang OSIS. Ada waktu lima belas menit sebelum pergantian pelajaran, lumayan jika bisa ke perpus sebentar.

Baru ku putar tubuhku hendak ke ruang guru, mataku menemukan sosok itu. Berjalan sambil merangkul seorang siswi, mungkin, salah satu pacarnya, setelah pacar-pacarnya yang lainnya.

Aku harus pergi, aku harus menjauh darinya, berada jauh darinya, adalah pilihan yang terbaik. Karena aku, tidak mau berurusan dengannya.

BUKKK!!!

"Nilam Cahya! Sampai kapan kamu akan terus ceroboh seperti ini?!"

Aku menunduk takut, meski tubuhku sekarang sudah ambruk di lantai, bersamaan dengan makalahku. Pak Nanang, guru fisikaku yang tak sengaja ku tabrak.

"Maaf Pak, maafkan saya." pintaku, beliau pergi.

Segera ku pungut buku-bukuku, tapi sayangnya, belum sempat ku pungut makalahku, sepatu kotor itu dengan lancang menginjaknya. Sepatu putih yang sekarang menjadi kehitaman karena lumpur, dan membuat makalahku hancur dalam sekejab, dan aku yakin, itu sengaja.

"Maaf, gue sengaja."

Aku mendongak, Ricky dengan ceweknya terkekeh geli sambil melihat ke arahku. Seolah ingin menghina sifat cerobohku.

Aku benci dia.

"Lagian punya mata, enggak dipakek. Jatoh deh, ya kan sayang?"

"Nggak apa-apa, gue yang salah." putusku,

Lebih baik aku pergi, dari pada harus berdebat dengan mereka. Aku harus mengetik ulang makalah ini, mencari ulang materi yang akan ku buat untuk makalah ini. Jika tidak, aku tak akan mendapatkan nilai bagus di pelajaran Bahasa Inggris nanti.

Jangan menangis,

Tidak ada gunanya untuk menangis sekarang, Bu Marita tidak akan perduli dengan penjelaskanku nanti. Yang beliau inginkan hanyalah hasil akhir. Meski, sampai begadang aku membuat makalah itu, ah apa gunanya aku seperti ini? Aku hanya perlu mengerjakan lagi, toh semua rasa sakit hatiku tidak ada yang perduli. Yang jelas, mulai saat ini, aku harus menjauhi cowok bernama Ricky. Cowok yang sudah jelas-jelas membenciku, karena peristiwa waktu itu.

@@@

Makalah sudah ada di tangan, beruntunglah tadi. Komputer ruang OSIS masih bisa aku pakai. Anggota OSIS tidak ada yang masuk ke ruang OSIS saat jam istirahat tadi. Semoga, Bu Marita, tidak marah. Meski aku yakin, jika isi dari makalahku ini tidak akan mendapatkan nilai A+, tapi untuk nilai A semoga saja bisa.

"Maaf, Bu. Saya telat." ucapku, sopan.

Bu Marita, paling tidak bisa mendengar kata telat, dan hal yang wajib diingat dari siswa adalah, jangan sampai masuk setelah beliau masuk. Karena apa? Alasan apapun, beliau tidak akan terima, hasil akhirnya, mereka harus merutuki nasibnya untuk berdiri di luar kelas, selama pelajaran berlangsung.

"5 menit, kamu dari mana, Lam? Tidak biasanya kamu seperti ini, apakah karena kegiatan OSIS?"

"Tidak, Bu. Saya, tadi makalah saya jatuh, Bu. Itu sebabnya saya membuat ulang makalah saya, dan baru selesai mengerjakannya." jelasku, sambil menunjukkan makalah kotorku kepada beliau.

Bodoh, seharusnya, aku tak perlu melakukan ini.

"Lalu? Kecerobohanmu kamu ceritakan pada Ibu? Jika kamu tidak ceroboh, tentunya, makalahmu tidak akan sampai hancur seperti itu, kan?"

Aku menunduk, aku hampir menangis, seharusnya aku sudah bisa menebak, jika Bu Marita tidak akan pernah mendengarkan penjelasanku, apalagi penjelasan bodoh seperti ini.

"Keluar dari kelas, berdiri di sana sampai bel berbunyi."

"Tapi, Bu. Bisakah Bu Marita menerima makalahku?"

"Kamu fikir, bagaimana usaha teman-temanmu untuk mengumpulkan makalah ini? Apakah hanya demi kecerobohanmu, saya harus menerima makalahmu dan tidak mementingkan usaha mereka? Jadi, maaf Nilam. Saya tahu kamu anak yang pandai, tapi saya tidak akan bersikap pilih kasih. Silahkan keluar dan kamu bisa mengumpulkan makalah dengan tema berbeda jika ada tugas itu, nanti."

"Tapi –" kataku terhenti,

Percuma menjelaskan sesuatu yang tak bisa diluruskan.

"Iya, Bu." putusku, menerima adalah sikap terbaik sekarang, menerima memang adalah takdirku.

Dan lagi-lagi, tatapan mengejek itu, terlihat jelas secara nyata. Hanya Lala dan Genta yang seolah tak rela melihatku pergi, sementara Ricky, senyuman mengejek itu lagi-lagi ku lihat, senyuman penuh dendam seolah menganggapku sebagai, sampah.