Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 3 - ~Bad Boy~

Chapter 3 - ~Bad Boy~

"Selamat datang di Rose Backery, silahkan pilih roti yang ingin anda pesan."

Mulutku langsung terkatup sempurna, setelah bunyi lonceng yang sengaja dipasang Tante Rosi di samping pintu sebagai penanda datangnya pembeli itu berbunyi.

Kesialan macam apa lagi ini? Setelah memberiku kesialan di sekolah, kenapa takdir harus memaksaku untuk bertemunya, lagi. Dan kali ini dia dengan gadis lain, yang aku tak tahu, gadis keberapa yang dia pacari saat ini.

"Cewek aneh?!" ucapnya,

Jangan tatap matanya,

Aku menunduk dalam-dalam sambil mengikat kedua tanganku di depan, jujur aku gemetaran, ketika dia mendekat dengan antusias sambil menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya.

Aku takut ,

"M..mau pesan apa?" tanyaku terbata,

Dia terkekeh, kedua lengan kekarnya diulurkan ke depan meja yang membatasi kami.

Dia menundukkan kepalanya, agar bisa melihat wajahku, tapi aku menunduk lebih dalam, seolah mendapatkan permaian baru, dia terbahak. Entah, apa alasan dia tertawa serenyah itu, tapi aku yakin, menghinaku adalah hal mengasikkan baginya.

"Lo ngeliat gue kayak ngelihat setan banget, sih? Eh, emang ya, gue setan. Kalau elo kan sok malaikat." sindirnya,

"Mau pesan apa?" tanyaku untuk yang kedua kali, semoga kali ini tidak diabaikan,

Dia mengelus dagunya, sambil melihat deretan roti yang ada di kotak kaca samping kanan dan kiri ruangan ini.

"Itu, sekotak," jawabnya, lagi, dia kembali memandang ke arahku.

Buru-buru aku mengambil roti yang ditunjuknya dengan dagu kemudian memasukkan ke dalam kotak, semoga ini cepat, karena aku tidak mau berada lama-lama dekat dengan dia.

"Tiga puluh enam ribu." kataku,

Dia mengelurkan uang limapuluh ribuan, kemudian beranjak pergi.

"Kembaliannya?!" seruku, dia berhenti.

"Tips karena udah buat gue berurusan ama polisi."

Ternyata, dia tipikal orang pendendam.

@@@

"Udah deh Lam, gak usah cemberut gitu karena makalah kemaren, ya?"

Bukannya seperti itu, memang benar kata Lala, aku tidak boleh larut dalam masalah makalah kemarin. Tapi, aku takut, jika karena masalah itu, beasiswaku dicabut. Lalu, bagaimana nanti aku akan bersekolah? Aku tidak mau, membebani Tante Rosi lagi. Dia sudah cukup sulit dengan kehidupannya menjadi wanita mandiri, untuk menampungku pun, aku sangat sungkan.

"Elo juga jangan cemberut." kataku, tapi Lala semakin cemberut.

"Ngapain sih, ganti-ganti cowok. Mending milih yang pasti-pasti aja! Tuh, putus lagi, rasanya sakit, kan?"

"Udah deh Gen, elo gak usah guruin gue! Kayak laku aja lo! Jomblo juga rese lo!"

"Yaudah ama gue aja. Biar elo gak patah hati, gue gak jomblo lagi."

"Ogah! Elo itu kacung gue!"

Aku tersenyum melihat mereka berdua, Genta yang selalu cinta dengan Lala, tapi Lala yang memilih melalang buana dengan cowok lainnya. Andai saja, Lala bisa sedikit melihat jika Genta serius padanya, aku yakin, mereka tidak akan meributkan hal sepele seperti ini.

"Lam, elo mau ngumpulin tugas ke Bu Nur, kan?" tanya Echa, teman satu kelas denganku, aku mengangguk, meng-iyakan pertanyaannya.

"Gue nitip ya. Gue gak sempet ke ruang guru."

"Gue juga ya."

"Gue juga."

Selalu seperti ini, setiap ada tugas individu yang seharusnya dikumpulkan perorangan, mereka langsung melimpahkan semuanya padaku, dan berakhir menjadi gunjingan dari kelas sebelah, jika aku ini sok rajin, sok pintar, dan semacamnya. Tapi, terserah, asal itu tidak merugikanku, aku tak masalah.

"Iya."

"Tapi gak boleh gitu dong, ini kan –"

"La, gak apa-apa. Gue ada perlu sebentar di OSIS, jadi sekalian." kataku,

Jam pertama jam kosong, karena ada tugas OSIS lebih baik ku kerjakan sekarang, agar cepat selesai setelah itu aku bisa belajar sebelum bel istirahat berbunyi.

"Ketemu pas istirahat ya? Di tempat biasa." kata Genta, aku mengangguk.

Aku berjalan menyusuri koridor kelas. Ruang guru berada di seberang, setelah aku melewati halaman sekolah, tumben sekali hari ini tidak ribut. Biasanya, ada saja siswi yang menangis karena ulah Olan dan Rendy, anak-anak IPS yang menjadi geng Ricky, menerbangkan rok-rok para siswi dan mengintip apa yang ada di dalamnya, menjijikkan sekali.

"Anak singa kenapa lepas dari kebun binatang? Hahaha." baru aku merasa sekolah sepi, rupanya komplotan mereka sudah ada, duduk di salah satu bangku yang ada di halaman sekolah.

Aku tidak boleh ambil hati, aku harus segera pergi. Aku tidak mau lama-lama ada di sekitar mereka, karena aku nanti akan menjadi bahan bully-an lagi. Terlebih, di sana, ada dia.

"Anak manusia kali Ren, dia." aku bisa melihat celetuk itu keluar dari mulut Olan.

Itu bukanlah jenis pembelaan, tapi jenis mengejek dengan perkataan halus, dan itu lebih menyakitkan.

Ricky duduk di antara mereka, sambil menghisap rokoknya santai. Sesaat kemudian, dia mematikan rokoknya dengan sepatu, berdiri, kemudian melambaikan tangannya pada gengnya, aku tidak mengerti.

"Gue tinggal dulu, ya." katanya, mendekatiku sambil mengulurkan kedua tangannya tepat di depanku.

Tak sengaja, ku tatap wajahnya, bingung. Mata coklat itu menatapku dengan pandangan aneh, dahinya berkerut membuat rambut panjangnya semakin menutupi mata.

"Ada apa?" tanyanya, aku semakin bingung, bukankah, seharusnya aku yang bertanya seperti itu?

"Permisi, gue mau lewat." kataku, aku melangkah ke kanan, tapi diikuti olehnya, ku ambil jalan kiri, diikuti juga, aku sama sekali tidak mengerti, apa yang ada di dalam otaknya.

Apakah dia mau membuang tugas-tugas ini? Sebagai balas dendamnya tempo hari?

Tuhan, aku takut, aku takut dengannya.

"Sini, gue bantu."

"Nggak usah."

"Bawa ke ruang guru, kan?" tanyanya, setelah dia berhasil mengambil tiga perempat buku yang ada di tanganku, dan itu berhasil membuatku was-was, takut buku-buku itu dirusak Ricky.

"I..iya."

"Ayo jalan." ajaknya,

Langkah yang awalnya lebar-lebar perlahan memelan, kini kami berjalan beriringan, seolah dia ingin menyamai langkahku.

"Toko siapa?" tanyanya, aku bingung, kenapa dia jadi seperti ini? Apakah ada maksud tersembunyi?

"Gue tanya, kemaren toko siapa?" tanyanya lagi tak sabaran.

"Tante."

"Bantuin di sana setiap hari?"

Aku mengangguk, dia mendengus, ruang guru hampir sampai, rasanya dadaku mulai lega, ternyata dia benar-benar mau membantu, aku fikir dia ingin melakukan sesuatu.

"Bu Nur, ini tugasnya."

"Taruh sana ya Lam." aku menuruti perintah Bu Nur, yang kini beliau masih sibuk dengan beberapa tugas siswa lainnya. Bahkan sesekali, beliau mengaduh kemudian membenarkan letak kacamatanya.

"Ricky?! Ada angin apa kamu masuk kantor guru? Ruang BP bukan di sini! Berulah apa lagi kamu?!" nyaring, suara Pak Hamdan saat melihat Ricky.

"Main, Pak." jawabnya enteng. Aku lupa, dengan siapa aku sekarang, aku dengan Ricky, siswa paling badung satu sekolahan.

"Rambutmu potong! Besok harus rapi, dan seragammu kancingkan Ricky! Berapa kali Bapak bilang, berpakaianlah yang pantas saat di sekolah! Mengerti?!" setelah menerima pukulan dari Pak Hamdan, Ricky mengangguk, tanpa membals ucapan sang kepala sekolah. Aku yakin, Ricky sudah cukup bebal dengan semua itu.

"Merokok lagi di sekolah?"