"Ha! Apa kamu sudah sadar?" tanya Hasan. Gadis itu membuka mata.
"Bisakah kamu menceritakan sesuatu yang bisa membuat aku tertawa?" pinta Halwa dengan suara lembut dan halus.
"Huh." Hasan tidak berani mendekat.
"Pada suatu hari seorang menteri tiba-tiba punya niat jelek kepada Abu Nawas. Menteri tersebut iri pada perhatian Raja yang terlalu berlebihan pada Abu Nawas. Tak ada angin dan tak ada hujan, menteri tersebut tiba-tiba memberikan seekor keledai pada Abu Nawas.
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali kemari, kita lihat akhirnya," ujar sang menteri pada Abu Nawas.
Tanpa mikir panjang dan melontarkan pertanyaan, Abu Nawas menerima keledai pemberian menteri. Padahal dalam hatinya, Abu Nawas merasa cemas, apakah dia bisa menuruti kemauan sang menteri atau tidak. Ia juga penasaran dengan maksud dan tujuan menteri yang tiba-tiba memberikannya keledai.
"Apakah ini satu di antara tipu dayanya buat menghancurkan nama baikku?" tanya Abu Nawas dalam hati.
Meski merasa cemas, Abu Nawas tetap berusaha tenang. Dua minggu kemudian, Abu Nawas kembali ke istana dan bertemu dengan menteri. Tanpa banyak bicara, sang menteri kemudian mengajak Abu Nawas menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
"Baginda, saya akan perlihatkan siapa sesungguhnya diriku ini," kata menteri tersebut.
"Hai menteri, ada apa dengan dirimu?" tanya Raja Harun Al Rasyid dengan suara tinggi.
"Tenang Baginda, hari ini Baginda akan tahu kecerdasan akalku sesungguhnya, mengungguli kecerdasan Abu Nawas," ucap menteri itu dengan angkuh.
Mendengar pernyataan menteri tersebut, Abu Nawas merasa heran dan penasaran dengan maksud dari perkataan sang menteri.
"Apa yang akan dibuat oleh menteri ini?"
gumam Abu Nawas dalam hati.
"Baiklah, bila satu di antara kalian menang, maka ia memiliki hak memperoleh satu kantung dinar ini, namun untuk yang kalah akan dihukum tiga bulan di penjara," tutur Raja Harun.
Tak bisa mengelak, Abu Nawas terpaksa menyanggupi permainan yang ia anggap aneh ini. Belum selesai ia menerka-nerka maksud permainan ini, tiba-tiba menteri itu menunjuk pada satu buku besar.
"Coba tunjukkan bila keledai itu dapat membaca, tidakkah engkau cerdas dalam semua hal?" pinta menteri pada Abu Nawas.
Tanpa berpikir lama, Abu Nawas lalu menggiring keledainya ke buku itu. Sampul dibuka. Kemudian di keledai memandang buku itu. Selang beberapa saat, keledai mulai membalik halaman demi halaman dengan lidahnya.
Keledai itu terus membalik lembar demi lembar, hingga halaman paling terakhir buku itu. Setelah tak ada lagi lembaran yang harus dibuka, keledai tersebut memandang Abu Nawas.
"Demikian, keledaiku dapat membaca," kata Abu Nawas. Mendengar kata-kata Abu Nawas, sang menteri kembali angkat bicara.
"Bagaimana caramu mengajari dia membaca?" tanya sang menteri mulai merasa panik.
"Sesampainya di rumah, saya siapkan lembaran-lembaran besar serupa buku serta saya sisipkan biji-biji gandum di dalamnya," jawab Abu Nawas.
"Keledai itu harus belajar membalik halaman agar bisa memakan biji-biji gandum itu, hingga ia terlatih benar untuk bisa membalik halaman buku," lanjut Abu Nawas.
"Namun bukankah dia tak tahu apa yang dibacanya?" bantah sang menteri.
"Memang demikian cara keledai membaca, dia cuma membalik-balik halaman tanpa tahu isinya," jawab Abu Nawas enteng.
"Bila kita membuka-buka buku tanpa tahu isinya, kita disebut sebodoh keledai bukan?" kata Abu Nawas lagi.
Jawaban cerdik Abu Nawas tersebut mendapat anggukan setuju dari Baginda Raja Al Rasyid. Raja tahu, sepintar-pintarnya hewan, tak ada yang bisa sesempurna manusia. Hanya manusia bodoh saja yang tidak mau memakai akalnya buat berpikir.
Mendengar penjelasan Abu Nawas, sang menteri tersebut merasa kesal. Raja akhirnya memberikan hadiah berupa sekantung dinar kepada Abu Nawas, sedangkan menteri masuk penjara sesuai perjanjian yang sudah disepakati. Hasan menceritakan itu dengan menunduk dan sesekali dia melirik ke Halwa.
"Teruslah bercerita," pinta Halwa dengan mata terpejam.
"Ekhm. Suatu hari ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang, Abu Nawas sedang melakukan shalat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas, mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai.
Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak. "Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami," ujar Ahli Yoga.
"Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.
"Besok pagi," kata Pendeta.
"Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok," jawab Abu Nawas menyanggupi.
Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal.
"Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian," kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain.
Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, "Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga."
"Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa," kata Ahli Yoga.
"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian." Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
"Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun," kata Pendeta.
"Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka," kata Ahli Yoga.
"Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma dan derma itu sekarang telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku mengambil bagianku sendiri. Itu tidak masuk akal!" seru Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun, Pendeta dan Ahli Yoga itu tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya.
Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.
Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
"Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian," kata Pendeta kepada Abu Nawas.
"Perjanjian apa?" tanya Abu Nawas.
"Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.
Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.
Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, "Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini."
Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul- betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya, "Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam di mana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."
Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.
Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dan Ahli Yoga mulai tidak sabar dan menanyakan bagaimana mimpi Abu Nawas.
"Bagaimana mimpimu tadi malam?"
"Kalian tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu," kata Abu Nawas tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Akhirnya Kejengkelan Abu Nawas terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri."
"Hehehe," tawa kecil keluar dari suara Halwa. Hasan ikut tersenyum.