"Gi-"
"Ssstt!"
Ish, kan mau tanya apa yang dimaksud dokter wanita satu ini, siapa tadi namanya, astaga, Karina.
Kenapa dokter ini berkata kalau Gio sudah lama berkonsultasi, sedang tadi Gio mengatakan tak kenal dengan dokter di sini, dia hanya mendapatkan refrensi, siapa yang dimaksud Gio dan apa yang dimaksud dokter ini.
Lisa diarahkan ke ranjang periksa, satu tangannya bertumpuh pada pundak kanan Gio, pria itu, maksudnya sang suami, membantu Lisa dengan pandangan yang cukup dalam seolah dia yang cemas saat Lisa endak diperiksa.
"Bisa di buka kakinya."
"Tidak, kenapa menyuruh Ica membuka kakinya, kamu mau melihat apa?" Gio merasa geram, isian dicelah kaki itu hanya dia yang boleh melihatnya. "Jangan macam-macam denganku, aku bisa saja-"
"Sayang," potong Lisa, dia bersuara lembut memanggil Gio dengan sebutan sejuta samurai itu. "Ini hanya pemeriksaan, bukan tujuan lain."
Gio masih tidak terima, tapi karena Lisa memanggilnya sayang di depan dokter dan perawat itu dua kali, maka luluh dia, menjadi suami yang sangat disayang dan diakui, walau sebenarnya Lisa ingin menjitak suaminya itu.
Akh!
Lisa hanya memekik dalam hati, kedutan tampak di sudut matanya, dia tahan karena mendadak ada alat seukuran milik pria masuk ke organ intimnya, lalu tampak di layar monitor itu gambar yang terekam di dalam sana.
Apa ini rahimku? Apa tampak lemaknya ya? Hihihihi.
"Apa ada sesuatu yang bermasalah di sana?" tanya Gio. "Katakan kalau ada yang bermasalah, akan aku selesaikan, aku bisa melakukan apa saja!"
Heh, memangnya mau apa!
Lisa tahan lagi Gio, dia genggam tangan pria itu, dia letakkan dia atas dadanya seolah mengatakan dia sepenuhnya dalam genggaman Gio, jiwanya juga.
Dokter itu tersenyum setelah membuang napas beratnya, menghadapi pasien seperti Gio memang harus sabar berlebih, orang seperti ini suka seenaknya sendiri kalau berbicara.
"Dokter, apa aku bermasalah?" tanya Lisa mewakili sorot mata suaminya.
Dokter itu tersenyum lagi, Lisa semakin geregetan saja kalau begini.
"Katakan!" suaminya sudah tidak sabar.
Akhirnya dokter itu menjawab, "Kondisi Bu Gio baik-baik saja, malah posisi rahimnya sangat bagus, siap untuk dibuahi juga sel telurnya, ini tampak besar-besar. Saya rasa tak ada yang bermasalah di sini, tapi tetap vitamin untuk program kehamilan akan kami berikan, mendukung sempurnanya organ di dalam sana, terlebih lagi dinding rahim harus siap dan tebal kuat menerima janin di sana."
Gio tersenyum, walau tak menoleh pada Lisa, tapi Lisa lihat senyuman itu, Lisa seperti melihat seorang suami sungguhan yang mencintainya dan ingin dia hamil penuh cinta.
"Tes untukku?" Gio menunjuk dirinya. "Apa yang aku lakukan dengan wadah kecil ini?"
Lisa malu mau menjelaskan, tapi memang ini yang dibutuhkan untuk memeriksa kualitas benih Gio, menampungnya untuk diperiksa.
"Ica, aku tidak bisa melakukannya sendirian!" Gio mendelik tajam, terjadilah perdebatan di ruangan khusus ini. "Dan apa film itu, aku tidak mau melihatnya, kenapa tidak kita begitu dan aku ke luarkan di sini?"
"Tidak bisa, Gi. Nanti, bercampur semua cairannya, cuman kamu saja, aku bantu duduk di sini ya?"
"Tidak mau!"
"Aku bantu pegangi, kamu bisa lihat aku, hem?"
"Tidak mau!"
"Aku buka bajuku, biar kamu bisa berfantasi dengan hal itu, kamu juga boleh memegangnya, tapi tidak untuk hal yang intim itu, ya?"
'Tidak mau, Ica!"
Astaga, menyebalkan.
"Yasudah kalau tidak mau, tidak perlu kamu lanjutkan, memangnya apa yang mau aku harapkan darimu, hah? Aku sudah diperiksa tadi, alat itu masuk ke inti tubuhku, seperti aku sedang diperkosa saja, sekarang, kamu tidak mau melakukannya, padahal apa yang kamu lakukan itu jauh lebih baik, yasudah, kita pulang, masa bodoh dengan-"
Gio tarik Lisa dan dia bungkam bibir Lisa dengan ciumannya, Lisa memberontak, tapi tak Gio lepaskan, melilitkan lidahnya hingga mereka saling mendominasi di sana.
Perlahan Gio lepas celananya, lalu dia lepas baju Lisa, kedua tangannya ada di sana, sedang dia meletakkan tangan Lisa di inti tubuhnya.
"Bantu aku, Ica!" bisiknya meminta.
Bantu apa? Sempat bingung, tapi kemudian dia paham dan melakukan hal itu, memainkan tangannya di milik Gio.
Katakan ini hal gila yang mereka lakukan pertama kali, merasai satu sama lain di tempat yang asing dan tak seharusnya menggemakan desahan juga erangan keduanya.
"Wad-wadahnya, Ica!"
Cepat, Lisa ambil dengan tangan satunya yang bebas, dia berjaga di sana, memastikan cairan itu ke luar dan tertampung sempurna.
Napas Gio semakin memburu hingga dia kunci ciumannya dan terlepas semua. Lisa berhasil membuat suaminya itu melalui semua ini.
"Gi, kan sudah!" dia mau menutup wadah itu.
Gio masih sibuk menciumi lehernya, belum mau menutup bajunya, bermain di tempat yang dia suka.
"Gi, ayo serahkan ini dulu, baru kita pulang. Sudah ada yang mengantri banyak di depan untuk ini, ayo!"
"Aku mau ini lagi, Ica. Yang sungguhan!" bisiknya.
"Iya, di rumah ya, ayo!"
Astaga, pria kalau sudah mau begini susah memang mau diajak apa-apa, bahkan Lisa tidak tahu suaminya bisa mengemudi tidak.
Gio cuci wajahnya, dia kembali ke luar dengan wajah segar, begitu juga Lisa, walau make up yang tipis itu semakin tipis, dia masih terlihat manis dan segar.
"Hasilnya akan ke luar tiga hari lagi, kami akan memberi kabar nanti."
"Terima kasih, suster. Maaf merepotkan ya."
Lisa gandeng suaminya itu lagi, bukan apa-apa atau Gio masih belum sadar, tapi karena banyak mata yang melihat wajah Gio, dia cemburu sebenarnya.
"Ica."
"Iya, aku kasih di rumah, sekarang pulang ya." coba sekali saja tidak masuk daftar ranjang.
***
Fungsi dan beberapa hasil dari pemeriksaan laki-laki, diwaktu sengangnya, Gio baru bisa membaca akan hasil apa yang dia terima, setidaknya dia sudah tahu dan paham akan istilah kedokteran yang diberikan nantinya.
"Lemah dan banyak yang mati, gerakan memutar hingga tak bisa mencapai sel telur istri, jumlah yang hidup dan aktif sangat kecil," ucapnya.
Gio mulai mengingat hasil pemeriksaan Lisa dan selama ini kapan saja mereka berhubungan. Kalau Lisa mempunyai rahim dan sel telur yang sehat, seharusnya dengan begitu banyak hubungan yang dia lakukan bersama Lisa, tentu sudah membuat Lisa hamil anak mereka, sekalipun dia tidak ingin membahas anak kala itu.
Ingat, tidak ingin membahas, bukan tidak mau punya anak!
"Pria yang tidak subur, kesulitan mendapatkan keturunan."
Apa dia bukan pria yang subur? Dia yang kurang di sini?
Brak!
"Bagaimana kalau Ica tahu hasilku nanti, apa dia akan meninggalkan aku dan memilih pria subur lainnya?" pikiran buruk jauh lebih kuat. "Ica, tidak, Ica!"