Di depan pria yang suaminya sebut itu bedebah, tapi Lisa harus tetap sopan karena di sini dia menjadi pekerja daripada Andreas, sekalipun Andreas di mata suaminya hanya butiran debu, dia jauh dari sekadar debu di sini.
Namun, berdebat dengan Gio adalah hal yang merugikan, sebab dia hanya akan lelah sedangkan Gio yang akan menang nantinya, Gio selalu menjadi juaranya dari semua perdebatan yang ada.
"Salam kenal, Kakak iparku yang manis dan cantik. Apa Gionino ini merepotkanmu?" Andreas bertanya dengan gaya santainya.
Yang ditanya sudah mau terjun payung saja, mana Andreas memandangnya penuh minat, Gio paling tidak suka bila ada pria yang melihat Lisa seperti ini.
"Siapa namanya tadi?" Andreas membaca name tag itu. "Kakak ipar Lisa, jangan tegang. Aku ini teman baik suamimu, jadi biasa saja karena aku tak akan kejam padamu, tapi kamu bisa tampil drama di depan pekerja supaya mereka tidak ikut kurang ajar juga, eheeheheh. Yo, jangan tahan istrimu!"
Yo', panggilan orang-orang pada umumnya ke Gio, hanya Lisa yang memanggilnya Gi, dua huruf depan, khusus untuk Lisa. Seperti yang Gio lakukan pada Lisa, hanya Gio yang memanggilnya Ica, padahal ribuan kali Lisa menerangkan kalau namanya itu Lisa, semua penduduk bumi selalu memanggilnya Lisa.
"Ica." menoleh pada istrinya.
Lisa menoleh, Andreas ikut menoleh, memasang wajah bingungnya, seperti sedang dalam ruang persidangan saja.
"Ica?" ulang Andreas.
Gio menoleh pada Andreas, "Jangan panggil dia begitu, itu hanya khusus aku saja!"
"Ya ampun, Kakak ipar. Baru kali ini dia benar-benar tergila-gila pada wanita!" Andreas bertepuk tangan.
Tunggu, siapa yang tergila-gila pada wanita? Lisa memandang heran pada suaminya, menyatakan cinta saja belum pernah.
"Jangan berbicara omong kosong!" ujar Gio.
Nah, ini baru benar di mana itu hanya omong kosong, tidak ada yang tergila-gila pada Lisa, hanya sebatas hubungan yang bergerak di ranjang dan pengikut rumah saja, Lisa tak akan lebih dari itu, arti status istri begitu berbeda baginya.
"Ica."
"Iya, Gi?" menoleh, mulai tersenyum karena lega.
"Jangan dengarkan ocehan orang-orang di sini, soal baju kita ya."
"Iya, Gi. Aku boleh kembali kerja?" dia sudah tidak tahan di sini, terlebih lagi berulang kali Andreas tampak tertarik dengan hubungan Lisa dan Gio, lebih baik Lisa tak mendengarkan apa yang Gio katakan daripada dia berharap tinggi, lalu dibilang omong kosong, itu sakit sekali. "Aku punya banyak pekerjaan, sayang." jurus tertinggi.
Andreas kembali melebarkan mata dan telinganya, panggilan Lisa pada Gio dan bagaimana ekspresi Gio saat Lisa menyebutnya sayang begitu, menarik dan ingin segera dia perjelas alasannya, dia sudah seperti reporter yang haus akan berita.
Anggukan Gio menjadi hukum tertinggi, pada Andreas, cukup Lisa mengangguk dan membungkuk sedikit selayaknya pekerja yang hormat pada atasannya.
Tawa meledak setelah Lisa ke luar, mungkin itu menyenangkan bagi keduanya, tapi tidak dengan Lisa. Gio selalu membuat dia terbang, lalu jatuh begitu saja, setelahnya harus dibuat membumbung tinggi hingga dia tak bisa melihat ke bawah, kemudian dihempaskan lagi.
Ah, kenapa dia ingin menangis di sini sih!
"Aku yakin kau mencintai gadis itu lebih dari Eva, Yo." Andreas langsung membicarakan intinya. "Dan dia, mencintaimu sama sebesar itu. Tapi, kau kejam sekali sampai tidak mengatakannya, lihat tadi dia sudah mau menangis saat kau mengatakan semua itu omong kosong, terbayang bagaimana hancur hati Lisa mendengar itu. Kau buat dia terbang, lalu kau juga yang melemparnya, miris sekali jadi dia."
Gio terkekeh, dia mengerti apa yang Lisa sembunyikan, walau tadi begitu indah membalas sapaannya, dia tahu kekecewaan yang Lisa simpan. Sejauh ini memang hanya dia yang paling mengenal Lisa, bahkan jauh lebih kenal dibandingkan Lisa sendiri.
Tapi, benarkan dia mau menangis? Gio ingin segera bertemu dan memeluk istrinya itu, walau hiburannya tak selalu membuat Lisa tertawa, setidaknya dia bisa membuat Lisa lega ada di dekatnya.
Dan benar saja, di meja kerjanya sudah ada gulungan tisu yang terbuang sia-sia, hanya sebagai wadah air mata dan ingusnya, Lisa merasakan pedih mengulang jawaban Gio.
"Kalau dia tidak bisa berkata baik tentang aku, tidak masalah, tapi jangan di depan orang. Dia seperti mempermalukan aku!" gerutunya, lirih dan tidak ada yang mendengar.
Renata yang ada di ruangan itu hanya fokus pada tisu yang mulai habis, ingin dia ganti yang baru.
"Awas saja, aku tidak akan berbicara malam ini, biar dia minta maaf!" dia bertekad, entah sekuat apa dan seberani apa dia bertekad itu.
***
Gio pandangi punggung Lisa yang terus saja tak mau melihatnya, dia memang menjemput Lisa pulang kerja ini, masih dengan baju yang kembar dan mereka sempat mampir ke cafe shop membeli minuman yang Gio suka, hanya saja berliannya ini diam terus.
Sepertinya benar apa yang Andreas katakan, Lisa hampir menangis tadi, dan masih bisa Gio lihat bekas merah di dekat hidungnya.
"Gi, aku mau masak!" tidak mau dipeluk, dia sedang marah, kan tadi katanya omong kosong.
"Gi, nanti ya, aku mau masak buat makan kita!"
"Gi, kamu dengerin aku kan?"
Ayo, marah Lisa, marah!
Dia tidak bisa marah atau bersuara keras pada suaminya itu, meninggikan nadanya saja dia tidak berani, dia tak punya keberanian itu.
Sementara Gio masih terus memeluknya, menempelkan bibir di leher Lisa, membuat yang punya leher gerah sendiri, tapi mau melarang bagaimana, dia sudah sakit hati dan tak mau mendengarkan yang sakit juga.
"Gi-"
"Sebentar, Ica. Sebentar saja aku mau memelukmu, seharian ini aku kangen, kangen sekali."
Apaan sih?!
Lisa hentikan dan matikan kompornya, rindu yang seperti apa, sedang mereka bertemu tadi sejak pagi dan memakai baju yang sama, semua juga jadi tahu siapa suami Lisa ini dan apa hubungannya dengan bos muda mereka.
Lisa putar tubuhnya, baru ini Gio memandang wajah Lisa penuh, istrinya itu tak memalingkan wajah sama sekali.
"Mau apa?" tanya Lisa. "Aku lagi masak, buat makan kita berdua, biar tidak mati kelaparan."
Puurrffft,
Gio menahan semburan tawanya, istrinya itu kalau marah karena kecewa dan cemburu memang lucu.
"Ica."
"Hem?"
"Aku mau menikah lagi boleh?"
Wajah Lisa langsung memerah, terutama matanya, menyalang sebelum dia ralat semakin kecewa.
Apa tujuannya hanya sebatas ini, menjadi istri pertama untuk penyambung usaha, lalu dia diabaikan begitu datang cinta sejatinya, setelah semua sudah Lisa berikan.
"Boleh, Ica?"
Lisa tepis tangan yang melingkar di pinggangnya, dia menjejak dan berlari ke kamar, sejenak, dia kembali ke luar membawa selimut suaminya.
"Itu ada kamar kosong, kamu boleh tidur di sana, anggap saja itu kamar kamu sama istri baru kamu, istri kedua kamu!" gemetar Lisa mengatakannya.