"Ah, itu juga tidak apa-apa. Setidaknya, kalau dia mati, atau minimal lumpuh, nenek sihir itu tidak akan mengganggu rencanaku, untuk menjebak Griffin." Brenda tertawa jahat. Tawanya terhenti, ketika bunyi ponsel terdengar.
"Siapa, si? Gangguin orang lagi seneng saja. Papa?" Dia mengerutkan kenungnya, ketika melihat dari layar ponsel nama papanya.
"Yes, Pa. Ada apa?" Brenda langsung bertanya. Tidak mungkin, papanya menelpon jika tidak penting. Apa lagi, masih sangat pagi.
"Bagaiman? Kamu sudah berhasil mencuri hati Griffin?" Brenda memutar bola matanya. Bagaimana? Dia sudah berusaha. Sedang berusaha, dan akan berusaha. Tapi, bahkan dekat saja, tidak bisa. Seakan, Griffin membangun tembok tinggi, yang sulit untuk dia lompati.
"Pa, ini masih pagi di sini. Kenapa papa tanya itu?" Brenda memutar bola matanya begitu jenuh. Papanya, selalu tidka sabaran. Jika Griffin seperti pria-pria bodoh di klub malam itu, mungkin akan mudah. Tapi, Griffin berbeda. Dia begitu kokoh membuat dinding. Seakan, tidak ada wanita lain yang dapat menembus pertahannanya, kecuali istrinya. jangankan untuk dekat. Untuk memandang dirinya saja, demikian sulitnya.
"Iya maaf, tapi papa tidak bisa menunggu lebih lama. Perusahaan sedang kolaps Brenda. Kau mengerti?" Brenda merasa sangat muak. Papanya begitu sangat menekannya. Brenda juga ingin mencicipi keperkasaan Griffin. Dia juga penasaran dengan gerak liar Griffin di atas ranjang. Tapi, buan perkara mudah, menaklukkan singa garang seperti dia.
"Pa, Griffin spesies lelaki yang berbeda. Walaupun aku telanjang di depan dia, tetap saja tidak akan tertarik. Aku sudah ribuan kali mencoba. Bahkan dalam keadaan mabuk, dia masih bisa kontrol diri." Brenda memang pernah melakukan hal licik, yang dilakukan Helia dulu. Tapi, semua menguap sia-sia. Berakhir, dengan dirinya yang di ikat, dia tas ranjang sampai pagi. Untung, petugas hotel menemukannya. Hingga dia dilepaskan oleh petugas hotel tersebut.
Waktu itu, Griffin pergi ke sebuah pesta, yang diadakan oleh salah satu pengusaha. Acara tersebut, berlangsung di hotel. Brenda memberikan segelas minuman pada Griffin yang sudah dicampur obat perangsang. Setelah Griffin sedikit merasakan rangsangan pada tubuhnya, Brenda mengajak untuk ke kamar yang sebelumnya, sudah dia sewa. Griffin sangat menolak tegas. Tapi, karena kepalanya pusing, dia ikuti saja. Sampai di dalam kamar hotel, saat Brenda melepas pakaiannya, Griffin tiba-tiba bereaksi berbeda. Dia mengikat tangan Brenda dengan sarung bantal guling yang dia lepas, dari gulingnya. Dalam keadaan telanjang, Brenda terikat sampai pagi.
Griffin hanya tertawa smirk, mendengar teriakan Brenda. Dia menulikan telinganya. Kemudian, dengan sisa kekuatannya, memanggil Ronald, yang saat itu tidak bisa menemaninya menghadiri pesta. Griffin sudah tertidur pulas, saat Ronald datang. Ronald bahkan mentertawakan Brenda, saat melihat dirinya terikat, dengan tubuh bugil tanpa busana. Ronald membawa Griffin pergi.
"Brenda, kau masih mendengarkan papa? Kau melamun? Brenda?" Brenda tergagap dari lamunannya, ketika papanya sedikit berteriak. Brenda merasa kesal sendiri mengingat kejadian itu.
"Iya, Pa. Masih."