"Ingat, jangan sampai siapa pun tahu kalau kita, telah bermain bersama."
Anton mengangguk. Dia keluar dari kamar Brenda.
"Anton! Apa yang kau lakukan?"
Bi Minah menyorot tajam ke arah Anton yang sedang mengancingkan baju.
"Tidak ada. Saya hanya disuruh nyonya memebersihkan ruangannya." Bi Minah mengerutkan keningnya. Dia tidak percaya dengan ucapan Anton. Jika benar dia membersihkan ruangan nyonya Brenda, kenapa dia harus kusut begitu bajunya. Kepala Bi Minah sudah traveling ke mana-mana. Dia tahu, bahwa ada sesuatu yang sudah disembunyikan oleh lelaki itu. Anton meminta alat pelnya. Bi Minah melihatnya dengan seksama. Anton terlihat salah tingkan diperhatikan seperti itu. Bi Minah tidak percaya begitu saja, ketika Anton mengatakannya hanya akan membersihkan ruangannya. Namun, wanita paruh baya itu tidak lantas percaya begitu saja. Dia akan terus mengawasi Anton agar tidak berbuat macam-macam.
Bi Minah turun dari lantai tersebut, untuk menata makan siang. Antor terlihat masuk ke kamar mandi pembantu. Bi Minah tambah curiga. Tidak biasanya, lelaki itu mandi pada siang hari.
"Kalian tata semua menu di atas meja. Jangan lupa, ada menu untuk wanita hamil. Itu untuk Nyonya Fatin. Sepertinya, beliau sedang hamil. Walau belum diumumkan, tapi saya tidak mungkin salah taksir." Para pelayan mengiyakan titah Bi Minah. Wanita paruh baya itu mengoreksi setiap tindakan anak buahnya. Semua harus perfeksionis, sesuai dengan yang diharapkan oleh Tuan Griffin.
Semua piring sudah ditata dengan rapi, di atas meja. Setelah itu, menu-menu itu masuk ke deretan meja. Seluruhnya, sudah siap sekarang. Ada belasan menu, siang ini. Bi Minah langsung saja memanggil semua penghuni rumah. Pertama, ke ruangan Alicia.
"Nyonya, saya Minah. Apakah Nyonya akan turun, atau saya bawakan kemari?" Minah menunduk, sambil takdim dengan Alicia.
"Au, au sakit, Mbak. Jangan kencang-kencang. Nanti aku turun, Bi. Ini lagi diurut. Aduh, sakit banget ternyata. Mana kepala kepentok lagi. Sudah dicek, Bi. Kenapa saya bisa jatuh?" Alicia meringis, merasakan kakinya yang masih dipijit oleh salah satu tukang urut. Sesekali, dia menjingkat dan menjerit, karena tukang urut mengurutnya dengan agak keras.
"Tahan ya, Nyonya." Bi Minah permisi, untuk menanyakan pelayan yang bertugas membersihkan tangga. Dia mengumpulkan semua pelayan, saat makan siang sudah tersaji semua.
"Makanya, Ma. Inget umur. Kamu sudah tua, jadi jangan lari-lari." Danubrata tertawa, mendengar istrinya kiesakitan.
"Papa malah mentertawakan aku?" Alicia manyun kerena ditertawakan suaminya.
"Lagian, tadi lari-lari mau ngapain?"
"Ih, sebel deh, aku 'kan gembira mau nyambut cucu baru." Danubrata kembali tertawa mendengar istrinya merajuk.
"Ya sudah, iya. Mama Alicia yang cantiknya luar biasa. Kita turun, yuk? Kasihan yang lain menunggu. Atau mau papa gendong?" Alicia merasa malu sendiri, digoda oleh suaminya.
"Kalian, nanti kita rapat sebentar. Jatuhnya Nyonya Alicia kali ini, memberikan pelajaran pada kita. Bahwa tugas kita, tidak hanya, selesai sampai bersih-bersi. Namun, memastikan semua penghuni selamat. Apa kalian mengerti? Sekarang, kembali ke peerjaan kalian dulu." Bi Minah membubarkan para pelayan. Bi Minah naik kembali, setelah memberi wejangan dengan pelayan. Dia kembali naik, untuk mengundang Fatin dan Griffin.
Minah sudah sampai di depan ruangan Griffin. Setelah menekan bel, wanita itu menunggu sang Tuan muncul. "Ada apa, Bi." Sang Tuan muncul dengan bertelanjang dada, karena selesai mandi mungkin.
"Ada apa, Bi?" Griffin menanyakannya.
"Ini, Tuan. Makan siang sudah siap." Griffin mengangguk. Dia kembali ke dalam, untuk memanggil istrinya, bahwa makanan sudah siap. Sedangkan Bi Minah, kembali ke bawah.
"Sayang, kita sudah diundang untuk makan. Kebawah dulu, yuk?" Fatin masih mengenakan bathrobe, sambil mengeringkan rambutnya, yang basah. Sesekali, dia membelai helaiannya, agar, lebih cepat kering.
"Sebentar, aku belum selesai mengeringkan rambut." Fatin masih terus mengarahkan hair drayernya ke arah rambut. Suara bising dari kipas alat itu, terdengar lebih cepat, karena Fatin menstel kecepatan yang tertinggi.
"Tak bantuin." Griffin meraih pengering rambut tersebut, kemudian mengarahkannya ke rambut istrinya. Dia bak seorang hair staylis profesional. Sesekali, membelah rambut, dengan sisir. Setelah cukup kering, Fatin menyisirnya. Dia menyapu wajahnya, dengan sedikit make-up. Setelah itu, baru berganti baju. Dres tanpa lengan selutut, menjadi pilihannya. Warnanya senada dengan kaos yang dikenakan oleh griffin. Mereka turun ke meja makan, sambil bergandengan.
"Akhirnya, kalian turun. Sini, Sayang. Dekat mama." Alicia menggeret kursi untuk Fatin. Terlihat, Brenda di depan sudah memutar bola matanya sangat malas. Dia begitu sangat muak melihat drama rumah tangga di depannya. Dia mengeratkan gigi-giginya, seraya menahan kesal.
"Ehem, baiklah. Sekarang mantu yang disayang. Papa tidak?" Danubrata pura-pura mengambek.
"Ih, Papa. Sudah bangkotan juga. Sini, Sayang. Jangan pedulikan papa kamu." Alicia masih berusaha Agar Fatin duduk di sampingnya.
"Maaf, Ma. Saya tidak mau membuat papa cemburu. Sebaiknya, saya pilih si samping Abang saja, ya? Dari pada nanti papa cemburu terus gantung diri di pohon toge, 'kan berabe." Fatin menggoda ibu mertuanya tersebut.
"Ih, kamu ketularan papa, jahil." Mereka akhirnya tertawa bersama. Fatin mengambilkan makan untuk Griffin. Sedangkan Alicia, mengambilkan untuk suaminya. Tinggalah Brenda, tanpa mengambilkan untuk siapa pun. Dia sedikit sebal berada di tempat itu. Tidak ada lagi yang peduli dengannya. Alicia yang sebelumnya sangat peduli, juga tidak lagi peduli padanya.Hingga dia ingin segera menyelesaikan makannya, dan enyah dari depan orang-orang itu.
"Nanti malam, aku akan pergi keluar untuk makan malam, istriku ingin makan malam di luar. Kalian mau ikut?" Griffin mengajak seluruh keluarga untuk ikut.
"Mama mau makan di luar? Nevan juga mau ikut." Anak kecil itu bersuara sambil mengunyah makanannya.
"Nevan, telan dulu, Nak. Baru boleh bicara." Fatin memperingatkan putra sambungnya tersebut.
"Saya sudah selesai." Brenda tahu, bahwa Griffin tidak suka, jika ada orang yang meninggalkan meja makan, sebelum ritual makan selesai semua. Brenda hanya mencari sensasi agar di perhatikan oleh Griffin. Namun, usahanya hanya menemui nihil saja. Griffin tidak peduli. Dia hanya mempedulikan istrinya, yang mulai mual, karena mencium aroma masakan.
"Maaf, semua. Perutku mual." Fatin berlari dan masuk kamar mandi. Dia menutup pintunya, agar tidak terdengar keluar. Griffin menggedor pintunya, karena merasa sangat khawatir. Akan tetapi, Fatin tidak menggubrisnya. Dia memuntahkan semua makanan yang masuk tadi. Setelah perutnya terasa kosong, dia keluar dengan wajah pucat.
"Sayang, kita ke rumah sakit saja. Abang tidak tega melihat kamu seperti ini." Griffin merangkul Fatin untuk pergi ke kamar mareka. Jika boleh, Griffin ingin agar dirinya saja, yang muntah-muntah. Tidak istrinya. Fatin sudah berbaring di kamar. Griffin menyelimutinya, kemudian turun untuk melanjutkan makannya.