Chereads / REwind / Chapter 2 - CALLING

Chapter 2 - CALLING

Tiga hari berlalu sejak pemakaman Tsukasa. Aku masih berdiam diri. Beberapa kali aku mengecek ponselku, biasanya pukul 5.30 dia akan menelpon. Mencoba membangunkan aku yang sering terlambat ke sekolah. Kini, saat ku telepon nomornya tidak akan ada lagi yang mengangkatnya. Aku tahu hal itu, seharusnya aku sadar sekarang.

Mungkin aku hanya iseng, atau memang belum bisa terbiasa, Entah sudah berapa puluh kali sejak tadi aku melakukannya. Melakukan panggilan pada nomor ponsel Tsukasa. Lalu tiba-tiba panggilan teleponku yang terakhir tersambung.

Aku bangkit dari kursi belajarku dengan cepat, menempelkan ponsel ke telinga ku dengan ragu-ragu. Perasaan takut begitu besar menguasaiku, tapi rasa penasaran dan secuil pikiran bahwa Tsukasa masih ada membuatku terus yakin untuk mendengar suara dari seberang sambungan telepon.

Tidak ada suara di sana, yang bisa aku dengar hanya suara degup jantungku sendiri. Hanya 15 detik tanpa suara apa pun lalu sambungan itu diputus. Tanpa berpikir lama aku memakai mantel krem kesayanganku dan berlari dari kamar - menuruni tangga - memakai sepatu seadanya - membuka pintu depan tanpa menutupnya kembali. Aku sempat mendengar suara teriakan ibuku. Tapi tidak aku hiraukan.

Kuraih sepedaku, mengayuhnya dengan kecepatan penuh.

Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Siapa yang mengangkat teleponku? Siapa yang menyimpan ponsel Tsukasa? Bukankah polisi langsung meletakkan kembali ke tempatnya semula setelah mengecek panggilan dan kontak keluarga Tsukasa? Lalu, siapa yang masuk ke rumah Tsukasa sedangkan kuncinya ada padaku?!

Pertanyaan-pertanyaan 'aku sang detektif' itu membuat lelahku tidak terasa lagi. Jarak antara rumah ku dan Tsukasa tidak terlalu jauh, hanya saja untuk menuju rumah Tsukasa jalannya terus menanjak. Cukup untuk membakar kaloriku hari ini. mengingat aku belum makan siang sesendok pun.

Aku sudah berdiri di depan pagar rumah Tsukasa. Nafasku yang tersengal-sengal tidak aku hiraukan. Dengan kunci yang tentu saja aku ambil diam-diam dari ibuku, aku membuka pintunya dan mulai masuk lebih dalam. Sudah tidak ada lagi garis polisi yang kemarin masih melintang di sana-sini. Kamar mandi Tsukasa juga sudah bersih meski masih meninggalkan beberapa noda darah yang mengering. Melihatnya, Jantungku terasa ngilu. Membuatku langsung terbayang ketika melihat Tsukasa yang terbaring tak bernyawa di sana.

Aku berdiam. Di depan pintu kamar Tsukasa. Membulatkan tekadku, mengusir rasa takutku, mengusir rasa cemasku, rasa khawatir dan menelan bulat-bulat harapan bodoh yang bercokol di kepalaku. Harapan Tsukasa masih bugar, dengan senyum rupawannya menyapaku, atau bahkan marah marah padaku karena seenaknya masuk ke dalam rumahnya.

Tanganku sudah menggenggam kenop pintu yang dingin, hanya tinggal memutarnya. Tapi, aku tak bisa menguasai degup jantungku. Semakin lama semakin menyakitkan.

"Bruk" suara sesuatu jatuh dari dalam sana. Rasanya seperti jantungku akan melompat keluar. Kaget sekali. Aku berjongkok menenangkan diri. Mencoba menstabilkan nafas "Bagaimana jika ternyata ada kriminal yang bersembunyi disana?! Bagaimana jika ternyata dia bersenjata?!" Bagus! Imajinasiku menghancurkan rasa percaya diriku sendiri. Sial! Aku ketakutan.

Dengan satu hentakan aku bangkit dan membuka pintu itu, suara gemerincing kunci yang tergantung pada daun pintu bahkan bisa membuatku lompat karena terkejut. Kamar itu sedikit gelap, jendela di ujung ruangan tampak rapat tertutup dengan kordyn abu-abu gelapnya. Tidak ada siapa-siapa. Entah aku harus mengatakan ini atau tidak. Aku merasa lega.

Kamar Tsukasa, rapih. Tidak seperti kebanyakan milik bocah SMA lainnya. Beberapa jaket masih tergantung di dekat pintu. Jaket itu, yang biasa ia gunakan. Aku meraih ujung salah satu lengannya, menghirupnya pelan. Rasa sakit mengalir kembali dari puncak hidung ke dalam hatiku. Aroma Tsukasa masih menempel di sana. Tapi tidak dengan keberadaanya.

Di meja belajarnya yang berada di sisi jendela terlihat ada beberapa tumpuk buku, kebanyakan buku pelajaran. "PR musim dingin." tanpa sadar aku mendengus. Aku pernah bilang kan? Dia anak yang pintar. Sekolah kami adalah sekolah favorit di daerah ini. Tidak heran jika anak seperti Tsukasa bersekolah di sana. Lebih menakjubkan lagi, dia mendapatkan beasiswa.

Di tengah-tengah ranjang dengan sprei putih, tergeletak ponsel milik Tsukasa, aku mengatupkan tangan "Maafkan aku Tsukasa. Aku pinjam ponselmu." meminta ijin. Dia itu, kadang sangat posesif terhadap barang-barangnya. Dulu saat kelas 1 SMA dia pernah marah besar padaku karena buku catatannya basah kehujanan. Selama dua hari dia mendiamiku, tidak menyapa atau bahkan menjawab sapaan dariku.

Aku membuka flip ponselnya. Menekan tombol home. Dan mencoba membuka galeri. Di sana tidak ada fotonya sama sekali. Hanya ada beberapa foto obat pereda nyeri, obat mual. Lalu foto sebuah rumah. Aku membuka log panggilan. Seperti dugaanku. Panggilan itu hampir semuanya adalah dari nomorku. Dan namaku di ponselnya .. "Akuma (iblis)?!"

Sedetik tadi dadaku nyeri, apakah dia membenciku? Kenapa kontak namaku begitu? Ada apa?! Aku ingin bertanya langsung padanya. Tapi bagaimana?! Aku terus menekan tombol navigasi ke bawah, mencari panggilan lain. Lalu muncul nomor yang belum disimpan. Nomor itu tidak sering menghubungi Tsukasa, tapi dilihat dari tanggal panggilan. Dia menelpon Tsukasa satu Minggu sekali. Sejak sebulan yang lalu. Apakah itu keluarganya? Tsukasa tidak menyimpan nomor itu dalam kontak ponselnya. Kenapa? Lalu apakah polisi juga menghubungi nomor ini?

Sial. Aku mulai gusar. Kenapa dia tak pernah memberitahukan apapun padaku. Kenapa aku tidak tahu apapun. Apa alasan Tsukasa bunuh diri?

Lalu aku membuka kotak pesan pada ponselnya. Ada banyak email di sana. Setengahnya semacam tagihan listrik, telpon dan tagihan-tagihan lainnya. Lalu ada satu pesan dari sebuah nomor, aku membukanya

_____________________________________________

From : unknown

To. : Tsukasa

Tsukasa ini otou-san. Maaf baru mengabarimu. Aku sudah tidak bisa memberikan tunjangan apapun padamu. Begitu juga biaya rumah dan seisinya. Aku sudah cukup kesulitan dengan keluarga baruku. Kuharap kau mengerti.

Nomor ini akan aku buang, jadi kurasa kau tidak bisa menghubungiku sementara. Biar aku yang akan menelpon mu nanti.

______________________________________________

Isi pesannya sangat menyebalkan. Sangat membuatku kesal. Itu sebabnya Tsukasa harus bekerja sambilan di sana sini. Aku baru mengetahuinya kemarin dari bibi tetangga, kalau Tsukasa bekerja di 3 tempat sekaligus dalam liburan musim dingin ini. Aku selalu merasa tubuh Tsukasa itu ringkih dan lemah, ternyata dia punya kekuatan mengerikan untuk bekerja sepanjang hari.

Betapa berat hidupnya.

Hatiku bergemuruh. Aku tidak bisa meringankan sedikit pun beban di pundaknya. Tapi, entah kenapa aku tidak yakin jika hanya ini alasan dibalik bunuh diri Tsukasa. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Aku harus tahu! Aku harus!

"Hmm... Membaca email orang lain itu melanggar privasi kan?" Tiba-tiba suara seseorang mengangetkan ku. Seseorang itu entah datang dari mana. Membuatku tidak bisa berkedip beberapa detik. Seseorang itu Tsukasa.

***