"Hmm.. membaca email orang lain itu melanggar privasi kan?"
Suara itu, adalah Tsukasa. Wajah itu, adalah Tsukasa. Tapi Tsukasa seharusnya sudah jadi abu! Degup jantungku berpacu. Hantu?! Apa dia datang dari alam baka karena tahu ponselnya aku pakai tanpa izin?! Kenapa aku malah berpikir begitu?! Bodoh! benar-benar bodoh.
Atau jangan-jangan Tsukasa sebenarnya belum mati? Dia adalah Tsukasa yang lain? Tapi aku melihat dengan jelas saat jasadnya dikremasi.
Tiba-tiba kesadaran seakan dihisap dari kepalaku. Pandangku berubah gelap. Aku tumbang. Pingsan, karena kaget aku rasa.
Tentu saja. Ini sangat mengagetkan bukan?
"Lo?!" Aku mendengarnya, sosok itu setengah tertawa melihatku sebelum akhirnya semua pandanganku gelap total.
Pingsanku itu, entah berapa lama. Lalu aku bisa menguasai lagi tubuhku. Aku sudah bisa membuka mata. Aku fikir hal aneh tadi adalah sebuah mimpi. Tapi begitu menyadari bahwa langit-langit yang sedang aku lihat ini bukanlah langit-langit kamarku, belum lagi sosok Tsukasa yang duduk di sampingku itu malah menyapa dengan senyum khasnya. Lesung pipi yang menambah senyum rupawan miliknya yang begitu aku rindukan.
Ini bukan mimpi. Ini nyata?! Dengan satu hentakan aku bangun. Sejak tadi aku tergeletak di lantai kamar yang dingin ini.
"Tsukasa?! Kau jadi hantu?!" Aku menjauh sedikit dari sosok Tsukasa yang tampak terkejut sebentar lalu tertawa geli mendengar respon pertama kali dariku.
"Bukan! Aku bukan Tsukasa!" sosok itu menjawab sambil tersenyum.
"Tapi kau Tsukasa!" Aku tidak mungkin salah membedakan sahabatku sendirikan? Wajahnya, suaranya, semua yang ada dalam dirinya adalah Tsukasa.
"Sudah aku katakan, aku bukan Tsukasa.. Aku adalah perwujudan dari rasa penyesalanmu. Aku menjelma menjadi Tsukasamu. Karena saat ini dialah orang yang paling kau rindukan."
"Apa maksudmu?!" Aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Aku tidak percaya hal ini. Beberapa kali aku mencubit pahaku sendiri, rasa sakitnya nyata. Sekali lagi aku sadar ini nyata.
"Kau melewatkan banyak kesempatan untuk mengerti sahabatmu ini kan? Aku memiliki sebuah penawaran untukmu"
"Penawaran apa?"
"Jika kau diberikan kesempatan untuk memutar balikkan waktu. Kemana arah yang ingin kau tuju? Hari esok atau kemarin?"
Pertanyaan bodoh! tentu saja jawabannya. . .
"Kemarin." ya kemarin. aku ingin ke masa lalu. Masa depan tanpa Tsukasa sangat tidak karuan.
"Segitu berharganya Tsukasamu itu ya? A-ku-ma?" Dia tersenyum. Senyum yang menakutkan. Terkesan meledek. Benar-benar bukan Tsukasa yang aku kenal.
Aku tidak bisa merespon apa-apa. Dia bukan Tsukasa. Tapi dia Tsukasa. Tidak! dia bukan Tsukasa. Ah.. Kepalaku sakit.
"Jadi apa kau mau menerima tawaranku?" Dia melanjutkan.
"Aku dengarkan." aku masih dengan pergulatan di otakku tentang dia Tsukasa atau bukan Tsukasa.
"Aku akan memberimu kesempatan untuk bisa kembali ke 7 hari kemarin."
Tunggu! Kembali ke 7 hari itu artinya aku bisa mencegah Tsukasa bunuh diri!!
"Tapi sebagai syaratnya-"
"Apa itu?" Aku menyela dengan tidak sabar. Tentu saja! Aku tidak perduli dia ini iblis yang menyamar dan sedang memberiku penawaran atau bukan. Yang pasti aku tak akan melewatkan kesempatan ini!
"Sebagai gantinya aku akan merenggut 7 hari hidupmu." wajah sosok itu terlihat sangat serius.
7 hari hidupku? Tidak apa-apa! Jika ternyata itu bisa membuat Tsukasa hidup kembali dan berada disisiku. Tidak apa-apa. Hanya 7 hari kan? bahkan jika dia meminta Jiwaku pun akan aku berikan. "Ya! Aku terima!"
"Aku ingin memperingatkan mu satu hal, jangan pernah sekali pun memberitahu Tsukasa tentang masa kini, atau bagaimana dia mati."
"Jika aku mengatakannya?"
"Kalian berdua mati."
Aku terdiam. Ya, aku hanya tidak harus mengatakannya pada Tsukasa. Lagipula jika aku bilang 'oi kau akan mati bunuh diri 7 hari kedepan' aku benar-benar akan menjadi seorang Akuma (iblis) kan? "Baiklah"
Dia tampak tersenyum sebentar, lalu mendekati meja belajar Tsukasa. Membuka salah satu buku dan terdiam seakan sedang membacanya. Wajahnya sedih. Tsukasa yang sedih, mungkin wajahnya akan seperti itu. Mungkin, Tsukasa meninggal dengan ekspresi seperti itu.
"Dia anak yang pintar kan?" sosok itu bertanya dengan suara pelan. Tangannya membuka halaman buku selanjutnya "tulisannya rapih sekali."
"Ya, dia sahabat ku yang paling aku banggakan." aku sangat percaya diri. Menyebut kami bersahabat. Tapi, sekarang rasanya aku seperti orang bodoh. Sahabat mana yang tidak tahu masalah yang dialami sahabatnya? Sahabat mana yang tidak bisa meringankan beban sahabatnya? Sahabat apa yang diberikan nama akuma di kontak ponsel sahabatnya?
Aku ini sahabatnya kan?!
Dia beranjak menuju ranjang Tsukasa. Lalu duduk di atasnya. "Dia sering tidur dengan perut lapar.. kasihan sekali ya?" Sosok itu setengah tertawa. Membuatku marah. "Dia menahannya sampai pagi. Tapi belum tentu ia bisa menikmati sarapan dengan baik. Bukankah kau berpikir bahwa Tsukasa itu kurus?" Dia bertanya sambil tersenyum sinis. Dengan wajah Tsukasa.
Aku merasa seakan sedang dihakimi. Aku merasa seakan dia benar-benar Tsukasa yang datang kembali untuk membenciku. Menghujat atas segala ketidak tahuanku dan ketidak pedulianku.
Selama ini dia adalah orang yang lembut, dan berhati-hati dalam bicara. Sosok yang ada di hadapanku ini.. jelas bukan Tsukasa yang aku kenal.
"Bagaimana cara kerjanya?"
Dia menoleh padaku sambil memainkan rambutnya. "Hm?"
"Penawaran mu itu bagaimana cara kerjanya?" Aku melanjutkan sedikit ragu.
"Kau akan kembali ke 7 hari kemarin saat kau terbangun nanti. Tapi sebelum tidur kau harus mengucapkan sebuah mantra."
Sebuah mantra? "Apa itu?"
"A 7 days wonder, coming for me."
Jika aku kembali ke 7 hari kemarin itu artinya aku akan kembali ke tanggal 20. Tiga hari sebelum Tsukasa ditemukan meninggal. Aku terus berpikir, mengingat-ingat apa saja yang terjadi saat tanggal 20 itu.
Ah ya, hari itu.. Tsukasa bersamaku ke toko buku.
"Aku harus mengatakan ini padamu," dia bicara tanpa memandangku "7 hari hidup Tsukasa begitu berharga bagimu. Begitu juga 7 hari hidupmu bagi orang lain."
"Ya, lalu?" Aku hanya melirik. Masih mengingat apa saja yang terjadi setelah di toko buku. Tidak terlalu menggubris omongannya.
"Kau harus menghargai waktumu. Itu saja" dia tersenyum. Senyum datar penuh kepalsuan. Tsukasa, tidak pernah tersenyum begitu.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, aku melompat kaget. Ibuku menelpon. Ini pasti karena aku pergi buru-buru. Aku menjawab panggilan telepon ibuku, menjawab semua pertanyaannya dengan iya dan tidak. Lalu setelah panggilan itu berakhir. Aku memasukan kembali ponsel ke dalam saku celanaku. Dan begitu aku menoleh, sosok menyerupai Tsukasa sudah tidak ada dimanapun.
Aku mencoba turun, mencari ke semua sudut rumah ini. Tidak ada dimana pun. Tsukasa tidak ada dimana pun.. di cari bagaimana pun. Kau tidak akan menemukan seseorang yang sudah menjadi abu. Iya kan?
***