Saat ini aku sedang duduk menghadap televisi. Menemani ibuku menonton drama percintaan yang dibintangi Takeru Satou. Aktor yang beruntung menjadi idola ibuku, yang sukses membuat ayahku cemburu.
Sesekali aku melirik jam dinding ungu pastel yang terpasang cantik di atas televisi. Pukul 8.50. Sebentar lagi Tsukasa datang menjemputku.
Sejujurnya aku sudah siap dengan pakaianku sejak bangun tadi. Jadi tidak perlu repot-repot bersiap diri.
"Ma, jam 9 nanti aku akan pergi ke toko buku ya?" Aku meminta izin, seperti kebiasaanku selama ini.
Meminta izin kepada orang tua saat kau bepergian adalah hal penting. kau tahu kenapa? agar orang tuamu tahu kau pergi kemana, dengan siapa. Jadi saat ada sesuatu yang buruk terjadi. Mereka dengan mudah mencari solusinya.
Aku memutuskan untuk ke kamarku sebentar, mengambil jaket tebal dan ranselku. Sampai di ambang pintu kamar aku mendengar suara denting bel yang berbunyi.
Aku merasa santai karena mama pasti akan membukakan pintunya untukku. Tapi selang beberapa menit. Bel berbunyi lagi dan lagi. Aku turun dengan terburu-buru. Dari lorong ke pintu depan aku bisa melihat ibuku begitu serius dengan drama yang saat ini sedang dalam puncak konfliknya.
Ah.. sifat buruk ibuku itu, jika sudah fokus dengan satu hal ia tak akan mudah di usik, bahkan oleh suara bel.
"Ma! Aku pergi yaa!" aku meninggikan suaraku agar ibuku bisa mendengarnya.
"Hati-hati! dan kembalilah sebelum makan siang." Ibuku menjawab dari ruang keluarga, saat aku sedang memakai sepatu sneaker ku.
Membuka pintu rumahku dan mendapati Tsukasa dengan pakaian kasual khasnya. Sederhana, tapi tetap saja menawan.
Ia memakai sweater putih, jaket jeans sebagai luaran. Celana jeans hitam dan sepatu kets. Tas selempang hitamnya yang selalu ia pakai tak pernah luput dari penglihatanku. Aku bahkan ragu tas itu ada isinya sekarang.
"Maafkan aku lama membukakan pintu." Aku mengusak rambut kecoklatan Tsukasa. Rambutnya yang lembut dan mudah sekali panjang.
Ia tak mewarnai rambutnya. Itu memang warna asli rambut Tsukasa yang berpigmen tipis. Itulah kenapa dia tampak sangat menonjol di antara siswa lain di kelas kami. Selain wajah manisnya tentu saja.
"Akh! kau merusak tatanan rambutku!" Sungutnya, sambil membenahi helaian-helaian rambutnya yang berantakan.
"Ya ampun! kau malah memperbaikinya. Anak laki-laki dengan rambut gondrong sepertimu tidak boleh terlalu rapih." Aku kembali mengusak rambutnya, membantunya menata sesuai dengan caraku.
"Yah! kau ini kenapa?! Oh! apa memang sepanjang itu rambutku?" Kami mulai melangkah menuju stasiun. Masih sibuk membahas rambutnya yang sudah bisa dikepang dua.
Di dalam kereta dia begitu pendiam. Seperti yang ia lakukan, maka aku juga akan diam. Memainkan game online di ponselku untuk mengusir bosan.
Tapi percuma saja, aku tidak bisa fokus. Aku masih tidak menyangka! Tsukasa ada di sisiku saat ini. Setelah beberapa hariku yang suram tanpanya, aku merasa dunia kembali cerah. Aku menurunkan ponselku, menyimpannya dalam saku celana, lalu melirik Tsukasa.
"Ada apa?" ia menoleh lalu tersenyum. Lesung pipinya menyekung begitu sempurna kanan dan kiri.
"Tak ada apa-apa. Hanya saja aku bingung-"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Shinkansen yang kami naiki berhenti. Waktunya untuk turun.
Toko buku yang kami tuju tak jauh dari stasiun, hanya berjarak sekitar 200 meter. Di sana cukup lengkap dengan harga yang terjangkau bagi kami para pelajar.
Itulah sebabnya Tsukasa sering sekali membeli buku-bukunya di sini. Aku sering mengantarnya, biasanya setelah mendapatkan buku yang kami cari, kami akan mampir ke sebuah kafe. Aku akan mentraktirnya vanilla frappe dan sepotong cheese cake.
Kau harus melihatnya ketika dia memakan makanan manis itu. Pipinya akan memerah lalu disusul dengan senyuman dan mata tertutup sambil mengunyah makanannya.
Aku akan iseng bertanya padanya, 'Kau suka?'
Tsukasa akan menjawab dengan anggukan berkali-kali sambil terus tersenyum.
Benar-benar manis. Semanis minuman kesukaanku. Strawberry milkshake.
"Hei! kau melamun?" Tsukasa mengguncang pundakku. Lamunanku yang sejak tadi membayangiku buyar seketika.
"Oh! apakah sudah kau temukan buku yang kau cari?"
"Aneh.. rasanya beberapa Minggu lalu aku melihatnya di toko ini. Tapi sekarang tak ada." Tsukasa kelihatan kecewa, "Sudahlah ayo kita pulang." lanjutnya tersenyum.
Seperti Tsukasa yang aku kenal selalu. Ia selalu tersenyum meski merasa kecewa. Apakah itu yang selama ini membuatnya terlihat baik-baik saja, padahal hatinya terluka?
"Tsukasa, kau tak kecewa?" ia terlihat menaikkan alis karena bingung, "Apa yang kau inginkan tidak dapat kau temukan. Apakah kau tidak merasa kecewa?"
"Tentu saja aku kecewa. Tapi mau bagaimana lagi kan?"
Itulah yang aku benci darinya.
"Kenapa kau begitu pasrah, apakah kau tak lelah, Tsukasa?! kenapa kau tak mencoba untuk terbuka padaku. jujur dengan perasaanmu padaku. Aku sahabatmu kan?!"
Aku ingin memukul mulutku sendiri, mungkin kalimatku akan membuat Tsukasa, si soft boy ini merasa sedih. Tapi, jika aku tak mengatakannya untuk apa aku memutar waktu dan kembali ke hari ini?!
Mata tsukasa terlihat berkaca-kaca, ia menarikku menuju keluar toko, terus berjalan tanpa menoleh padaku. tangannya yang dingin masih terus menggenggam pergelangan tanganku.
Langkah kami sudah memasuki pemukiman, kami menaiki tangga lalu menuju ke sebuah taman. Taman ini berada di ketinggian, di sisinya ada sebuah sungai lebar yang di batasi dengan pagar besi. Ada sebuah pohon sakura yang hanya tinggal ranting dan batang di sudut taman. Di bawahnya sebuah bangku taman terbuat dari besi menarik perhatianku.
Tsukasa menarikku ke sana, lalu mendorong tubuhku agar aku duduk di bangku bercat putih itu.
Taman ini sangat familiar bagiku. Karena di taman inilah aku pertama kali bertemu dengan. Tsukasa.
Akhirnya Tsukasa menunjukkan wajahnya padaku. Wajahnya memerah, air mata menetes di pipinya.
"Aku sangat lelah! Aku benar-benar lelah dan merasa semua ini tak ada habisnya."
Apa yang ia katakan? Kenapa tiba-tiba dia berkata begitu.
"Kenapa kau tak mengerti?! beberapa kali aku berusaha memberi tahukanmu! Aku lelah!" Tsukasa berjongkok di hadapanku. Menenggelamkan wajahnya pada lututnya yang di tekuk.
Aku tak mengerti? bagaimana aku bisa mengerti kalau dia tak mengatakan apa pun padaku sebelumnya?!
Apa masalah yang membebaninya? Ada apa dengannya?!
"Kenapa kau tak menceritakan apa pun padaku?" Aku meraih pundak Tsukasa, tapi Tsukasa menepisnya.
Tsukasa sangat marah dan frustasi. Aku bisa melihat guncangan pada pundaknya.
Aku tak mengerti!! sungguh!
"Ayo pulang! Aku tak punya banyak waktu!" Tiba-tiba ia bangkit dan berjalan mendahuluiku.
Tunggu?! kenapa jadi begini? aku hanya bertanya padanya lalu tiba-tiba dia jadi terlihat emosional.
Salahku dimana? kenapa dia jadi marah padaku?
Aku harus mengalah, aku memang tak mengerti apa yang terjadi. Dan karena itulah aku di sini. Mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Tsukasa.
Jadi aku harus bersabar. "Hei Tsukasa. Tunggu aku sebentar." Aku menarik tudung sweater Tsukasa, hingga membuatnya hampir terjatuh.
Ia menoleh marah padaku. "Apa?!"
"Kalau begitu kita cari di toko buku lain, buku yang kau cari tu pasti ada di tempat lain."
"Ini bukan masalah buku." Tsukasa menghela nafasnya. Terdengar begitu berat.
"Kalau bukan, jadi ini tentang apa? Kau lelah karena apa?"
"Aku sudah pernah mengatakannya padamu. Apa kau tidak ingat atau pura-pura lupa?"
"Eh?!"
Apa yang ia bicarakan?
***