Chereads / REwind / Chapter 10 - 14th

Chapter 10 - 14th

"Aku pulang!" suara ibu mengaggetkanku. Pandangan yang terfokus pada layar ponsel berganti pada sosok ibuku yang makin mendekat. Wajahnya bingung ketika melihatku.

"Selamat datang," jawabku selang beberapa detik.

"Sedang apa di sini?" ibuku melirik isi tong sampah yang terletak di sisi kanan lemari pendingin, melihat Mac and cheese yang sudah tak berbentuk lagi "Kenapa tak di habiskan?" lanjutnya menuntut jawaban dariku.

"Maaf ma, nafsu makanku hilang." Aku sudah bilang kan? aku selalu jujur pada ibuku. Ia bisa mengendus kebohongan. Sekecil apa pun itu dariku.

"Begitu.." Ekpresi marah ibuku berubah sedih. Meski ia tutupi, aku bisa melihatnya. Ia meletakkan 2 tas belanjaannya, daun bawang besar mencuat dari salah satu tas belanja ramah lingkungan milik ibuku, "Baiklah saatnya bersiap memasak makan malam. Agar ketika papamu datang aroma lezat makanan memenuhi ruangan, membuatnya tak sabar untuk menyantapnya." canda ibuku. Meski tak terlalu lucu. Selera humor ibuku memang sedikit berbeda.

Aku tertawa sebentar lalu menatap layar ponselku yang menyala. Sebuah email masuk, "Aku akan menonton televisi."

Ibuku mengangguk sebagai jawaban.

Membanting diri ke permukaan halus nan empuk sofa di ruang keluarga, menyalakan televisi dan memilih salurannya secara acak. Lalu tanpa lagi peduli acara apa yang di tampilkan di layar 42 inci itu, aku membuka kunci layar ponselku dan membuka email masuk yang di kirim oleh Keisuke.

_______________________________

from: Keisuke

to : Me

Yo! mungkin ini tidak terlalu penting atau tak ada hubungannya dengan kejadian bullying yang Tsukasa terima. Tapi aku mencurigai sesuatu, sebelum sebelumnya Tsukasa sering sekali menemui kepala sekolah.

_______________________________

Aku sangat berterimakasih pada Keisuke, dia mungkin bisa membantu. Tapi, aku tak merasa senang jika ia ikut campur dalam masalah ini. Aku bertanggung jawab penuh atas segala penyesalanku terhadap Tsukasa. Dan wala!! inilah caranya.

Jika memang Keisuke merasa menyesal dan merasa bersalah juga, aku ingin ia mencari jalannya sendiri untuk mengobati perasaannya itu. Dan tidak melibatkan aku.

Aku ingin bergerak sendiri, sebagai satu-satunya sahabat Tsukasa.

***

Makan malam kali ini terasa begitu lezat, meski hanya menu yang biasa ibuku hidangkan. Aku tak sekali pun merasa bosan.

"Sebentar lagi tahun baru. Bagaimana kalau kita ke kuil bersama?" Papa tiba-tiba begitu antusias. Makanan yang ia makan baru separuh. Sebelum aku menjawab ajakan ayahku, aku melirik isi piringku yang juga tinggal separuh lalu beralih pada ibuku.

Ekspresi terkejut lalu berubah sama antusiasnya dengan yang ayahku tampilkan.

Aku tak suka keramaian. Tidak.. aku tak suka jika tak bersama dengan Tsukasa.

"Aku tak tahu, rasanya dingin. Aku ingin di rumah saja."

"Tunggu, apa kau tak enak badan?" sekarang ibuku terlihat cemas. Wajarkan? mungkin saja saat ini aku terlihat pucat, rasanya tubuhku sakit semua. Karena itu, aku tak menyarankan tidur siang melebihi 2 jam.

"Tidak ma, aku baik-baik saja. Bagaimana kalau besok mama dan papa pergi berdua. Pergi ke tempat wisata lalu menginap di sebuah hotel mewah. Aku akan senang sekali jika kalian kembali dengan kabar bahwa aku akan punya seorang adik perempuan." tak lupa tawa riang aku tampilkan di wajahku.

Ibu dan ayahku saling berpandangan lalu muncul rona merah pada wajah mereka. Sangat menggemaskan ya? walau di usia mereka yang tak lagi muda.

Selang beberapa detik ayahku melempar acar timun padaku, "Candaan apa itu?" ia tertawa kaku.

"Apa sih, aku kan juga ingin punya adik. Kenapa kalian tak melakukannya?" Aku meraih acar timun yang menempel di pipiku lalu memakannya sambil tersenyum nakal.

Mereka berdua saling berpandangan lagi. Wajah Ayahku jelas semerah tomat sekarang.

"Astaga! apa yang sudah kau tonton akhir-akhir ini?!" Papaku gusar tapi tetap dengan ekspresi kikuk Yang sejak tadi belum hilang juga.

Kami tertawa begitu keras. Tawa yang begitu menyegarkan. Seakan tawa itu adalah sebotol air dingin, saat aku sedang kehausan dan lelah berlari di lapangan pada pertengahan musim panas.

***

Aku pastikan semua sudah tidur di kamarnya, ibu dan ayahku terlihat lelah sehingga melewatkan acara televisi malam favorit mereka. Atau mungkin saja mereka sedang berusaha mengabulkan keinginanku tentang adik perempuan.

Ponselku masih setia berada di genggamanku. 5 menit tadi sebuah email baru saja terkirim. Keisuke adalah penerimanya.

Memang belum di baca, aku yakin dia sudah tidur jam segini. Mengingat betapa keras dia bekerja sambilan untuk bisa membeli gitar listriknya sendiri. Aku harap ia mengerti lalu bersedia untuk tak lagi peduli pada masalah Tsukasa.

Aku melirik jam weker, yang akhir-akhir ini menjadi benda kesayanganku. Di layar digitalnya menunjukan pukul 22.30 pm. Dan 28-12-17 yang tertera di atasnya.

Mendesah pelan. Lalu membaringkan tubuh di atas kasurku yang lembut, empuk dan sejuk karena pendingin ruangan. Jujur saja. Dingin memang, tapi jika tidak dinyalakan aroma kamarku jadi aneh.

Masih memikirkan teori, apakah aku hanya bisa kembali ke 7 hari ke belakang? atau aku bisa kembali sesukaku? apa jadinya jika aku ternyata tak bisa kembali ke masa kini? tidak.. seperti sebelumnya pun. Aku tetap kembali tepat setelah tanggal 23 itu hampir terlewati. tepat saat akhirnya Tsukasa tetap bunuh diri.

Aku harus mencobanya, mencoba kembali ke hari kemarin lebih jauh lagi. Labih dari 7 hari. Mungkin saja ada banyak kesempatan bagiku untuk membuat Tsukasa mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Dia bisa kembali hidup dan mejalani hari-hari seperti biasa denganku.

Bagiamana jika 14 hari? Bukankah Tsukasa palsu mengatakan 7 hari, itu artinya aku mungkin hanya bisa kembali jika itu terhitung 7 hari. jadi jika itu keliapatan tujuh mungkin akan berhasil. Kalau memang benar, Aku akan kembali pada tanggal 14 Desember ? Baiklah! aku hanya harus mencobanyakan?

"A 14 days wonder. Come to me!"

Aku memejamkan mata. Lalu mimpi-mimpi yang membebani pikiranku merasuk seperti biasanya. Membekapku memasuki tidur yang lebih dalam tanpa bisa merasakan kenyamanan lebih dulu.

Mimpi itu tentang bagaimana Tsukasa tersenyum senang ketika aku berhasil memecahkan sebuah soal dengan rumus fisika, yang sejak 2 jam lalu aku kerjakan.

Dia berkata 'akhirnya' dengan riang dan bertepuk tangan. Seakan aku adalah anak SD yang sedang belajar melipat kertas.

Aku merasa kesal sekaligus senang dengan tingkahnya. Dengan senyumnya yang selalu terlihat begitu menawan. Lesung pipinya yang cekung. Jika saja aku tak punya batasan diri. Sudah aku sentuh cekungan itu. Rasanya gemas.

Tapi begitu menyadari bahwa lensung pipi itu tak akan pernah aku lihat lagi. Dadaku terasa ngilu, saat itu juga mataku terbelalak, menatap langit-langit kamarku yang membosankan.

Bangkit dengan segera, lalu meraih jam weker di sisi ranjangku, melihatnya dengan seksama. pukul 05.07. 14-12-17.

Berhasil!! Aku berhasil kembali ke tanggal 14!! Melirik ke pintu kamarku yang tergantung seragam sekolah musim dingin di sana. Oiya!! Liburan musim dingin belum di mulai. Aku harus pergi ke sekolah kan?

Ponselku berbunyi. Aku meraihnya, telepon dari Tsukasa. Dia mencoba membangunkan aku seperti biasa. Sayangnya, aku sudah bisa bangun pagi sendiri sekarang.

Dengan segera aku mengangkat telepon darinya. "Moshi-moshi!"

"Oh?! kau sudah bangun? tumben sekali ya" terdengar suara kekehan di sana.

Bahagia rasanya bisa mendengar lagi suara tawa Tsukasa.

Bahagia sampai rasanya ingin menangis.

***