Pelajaran sastra Jepang hari ini sama sekali tak bisa aku mengerti. Aku heran, kenapa pelajar harus belajar bahasa Jepang. Padahal sehari-hari kami memakainya?
Tsukasa menoleh padaku lalu tersenyum. "Ayo makan siang? kau bawa bekal?"
Tsukasa bertanya begitu, aku yakin hanya untuk basa basi. Ia jelas tahu betul, ibuku tak akan pernah mengizinkan aku berangkat tanpa membawa kotak bento lucu yang sengaja ibuku belikan untukku. Entah apa tujuannya, ada gambar kucing dan ekornya di permukaan tutup kotak bekalku. Dan kain penutupnya bermotif kepala kucing dengan warna dasar hitam.
"Ibuku membuatkan bekal juga untukmu." Bisikku pada Tsukasa. Wajah Tsukasa langsung berubah sumringah.
"Woaah!! sampaikan terimakasihku pada bibi ya!" Ia bangkit lalu menarikku agar kami bisa segera makan siang di tempat favorit kami. Di roof top sekolah.
Sifatnya sangat menggemaskan untuk ukuran bocah SMA. Iya kan? Sebenarnya ibuku mulai membuatkan bekal makan siang untuk Tsukasa, sejak aku memberitahunya beberapa bulan lalu. Bahwa Tsukasa tak pernah makan nasi saat istirahat makan siang. Tsukasa hanya minum air putih dan roti melon.
Lalu entah bagaimana, membuatkan tiga bekal makan siang menjadi kebiasaan ibuku. Seakan, Tsukasa memang sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Ibuku pasti berharap begitu. Ia bahkan membelikan kotak bekal yang sama seperti milikku, dengan warna yang berbeda.
Apakah perasaan ibuku dan perasaanku tak sampai pada Tsukasa selama ini? sehingga ia merasa menderita sendirian dan memilih mengakhiri semuanya?
Langkah Tsukasa berhenti ketika pintu atap sekolah terbuka. Ia segan untuk melanjutkan langkahnya menuju area terbuka. Aku mengikuti arah pandangannya, di sana gerombolan Seito sedang asik merokok.
Lebih baik pilih tempat lain!
Aku menarik tangan Tsukasa agar kembali, tapi belum sempat kami kembali menutup pintu, mereka menyadari kehadiran kami.
"Woah! lihat! lihat! ada pasangan mesra disini!" Suara Seito terdengar sangat mengejek.
Aku memang kesal, tapi aku yang pengecut ini tak mau berurusan dengannya. Aku tidak yakin bisa berani melawannya.
"Mau kemana? Di sini saja, kami tak akan menganggu kemesraan kalian!" Seito mulai memperagakan hal-hal tidak pantas, yang lain tertawa terbahak-bahak.
"Kami bukan yang kalian pikirkan!" Tsukasa membalas dengan wajah memerah. Tanganya mengepal keras.
Aku tak ingat hal ini terjadi pada tanggal 14. Aku tak yakin Tsukasa bisa seberani ini.
Lalu tiba-tiba aku teringat dengan cerita Keisuke. Mungkinkah, inilah alasan Tsukasa di bully? dan sudah pasti pelakunya adalah gerombolan sampah seperti Seito!
"Sudahlah Tsukasa, ayo!" aku menarik tangan Tsukasa dengan kuat, hingga ia hampir terjatuh ketika berada di sisiku. "Biarkan dia bicara seenaknya. Yang terpenting kita tidak seperti apa yang dia bicarakan kan?"
Rahang Tsukasa masih terlihat mengeras. Ia menahan amarahnya, lalu menghela nafas dan menatapku. "Dia menyebarkan gosip yang tidak benar tentang kita! apa kau tidak keberatan tentang itu?!"
Aku tak tahu..
"Apa itu?"
"Kita berdua adalah pasangan gay!! kita tidak normal! Apa kau tak keberatan tentang itu?!" Tsukasa hampir menangis.
Aku tak mengerti dengan perasaannya saat ini. Ia marah karena di anggap gay? atau memang marah karena aku ikut terlibat dalam gosip konyol seperti ini. Aku sudah terbiasa mendengar gosip seperti ini. Karena sekolah kami adalah sekolah khusus laki-laki.
Tak ada yang aneh lagi. Apalagi jika mereka menemukan bocah laki-laki semanis Tsukasa. Jadi bukankah lebih baik aku yang mereka gosipkan sebagai pasangan Tsukasa, dari pada dengan yang lain. Setidaknya dengan begitu Tsukasa bisa aman denganku.
Meski sebenarnya aku amat terganggu dengan sebutan gay, dan tak normal itu.
"Aku terganggu Tsukasa, sangat. Tapi, jika pasangannya adalah kau aku sih tidak apa-apa. Kalau aku menyangalnya, bisa jadi seseorang yang benar-benar menyukaimu dari kelas lain bakal datang dan mendekatimu. Kau mau?"
"Eeeh?! mana mungkin!! jangan bercanda!" Tsukasa mendengus lalu pergi lebih dulu dariku.
Tak berselang tiga langkah Tsukasa menoleh padaku, "Jadi makan dimana kita?"
Oh iya!
"Bagaimana kalau di kelas saja. Agar ketika bel berbunyi kita tak perlu berjalan jauh. Iya kan?"
"Biasanya kau tak suka di kelas, karena berisik. Ya sudah ayo!"
"Kau tunggu di kelas, aku akan membeli minuman." Aku menyerahkan dua kotak bekal padanya lalu berlari di koridor menuju tangga, Di bawah sana ada fending Machine yang menjual minuman botol berbagai rasa.
Aku ingat kalau Tsukasa suka teh oolong, sedangkan aku sendiri memilih pocary. Lalu tak lupa dua kotak 200ml susu strawberry dan sebotol air mineral.
Dengan semangat aku melenggang masuk ke ruang kelas, yang sejak tadi ribut. Tapi beberapa saat setelah aku datang senyap untuk sepersekian detik.
Mungkin saja ini semua karena gosip sialan yang Seito sebarkan. Tsukasa duduk menunduk, lalu sumringah ketika aku datang.
"Ekspresinya lucu sekali!" seorang siswa bersuara, lalu yang lainnya tertawa.
Aku tak menghiraukannya, melenggang dengan santai menuju Tsukasa, "Nah! ayo kita makan!"
Tsukasa mengangguk lalu membalikkan kursi agar bisa menghadap pada mejaku yang penuh dengan dua kotak bekal dan beberapa botol minuman kemasan.
Hari ini menu makanan kami memang tak ada yang spesial, nasi kepal dengan isian konbu, telur dadar gulung serta irisan tomat, dan ubi rebus yang sedikit terasa keasinan.
Tsukasa mengunyah dengan pipi yang menggembung dan pipi merona. Lucu sekali. "enak!!" gumamnya dengan mulut penuh.
Aku tertawa melihatnya. Mereka yang melihat kami juga tertawa. Jelas alasan mereka tertawa jauh berbeda dengan yang aku rasakan. Aku tak peduli, selama mereka tak jelas-jelas mengganggu Tsukasaku.
Yang saat ini aku harus pastikan adalah bagaimana perlakuanku pada Tsukasa. Aku tak peduli dengan yang lain. Karena mungkin saja, Tsukasa akan lebih baik jika ada seorang saja yang benar-benar ada di sisinya dan peduli padanya.
Jika aku jadi Tsukasa pun, aku pasti akan menjadikan satu orang yang peduli padaku itu sebagai alasanku untuk bertahan hidup.
Setelah jam istirahat berakhir, sepanjang pelajaran ketiga dan keempat aku hanya menahan perasaan tak enak di hatiku. Aku sudah pernah mencatat pelajaran ini. Aku bahkan hafal apa yang akan guru katakan setelah ini. Seperti Dejavu. Bukan! aku memang sedang mengulang hari kan?!
Dan itulah yang membuatku bingung! aku bisa dengan jelas mengingat materi yang aku catat tanggal 14. Tapi aku bahkan tak ingat kejadian di atap sekolah!
Tsukasa bertanya padaku tentang gosip yang disebarkan oleh Seito. Apakah aku merasa terganggu atau tidak. Aku yang sekarang memang menjawab dengan jawaban hebat yang bisa aku fikirkan, tapi di tanggal 14 lalu.. apa yang aku katakan?
Mungkinkah itu adalah sebuah kalimat yang menyakiti hati Tsukasa?!
Konsentrasiku pecah ketika Keisuke yang duduk di sisi kananku mendesis, Ia memberi kode bahwa aku di panggil oleh guru untuk membaca kalimat selanjutnya yang ada di buku cetak.
Sialnya! aku lupa kejadian ini. Bagian mana yang harus aku baca?!
"Makanya jangan melamun saat pelajaran berlangsung! apa yang kau lamunkan?!" Ito-sensei mendekat padaku dan menepuk kepalaku dengan buku cetak yang tebal itu.
Aku hanya cengengesan, dan yang lain tertawa. Tsukasa menoleh dengan ekspresi yang mengisyaratkan pertanyaan 'kenapa?'.
Aku hanya bisa menjawab dengan tawa kaku.
Benar! mungkin saja hari ini aku, sebenarnya telah menyakiti hati Tsukasa!
***