"Apakah gosip itu benar?" Kenichi bersuara lagi. Padahal aku kira ia akan pergi dari sini dan memulai kegiatan klub di lapangan sekolah.
"Tidak. Tentu saja tidak! Aku dan Tsukasa adalah sahabat baik. Orangtuaku bahkan menganggapnya sebagai anak mereka sendiri." Aku menjawab dengan tegas pada Kenichi.
Kenichi adalah orang yang baik. Dia selalu membantuku menaikkan rekor kecepatan berlari yang aku miliki. Dia juga sering memberiku banyak bantuan. Tapi sifat tak mau kalahnya itu tak tertolong.
Aku yakin dia percaya pada apa yang aku katakan. Aku bukanlah orang yang menyimpang.
Tunggu.. jika berpikir bahwa Tsukasa adalah bocah yang paling manis yang pernah aku temui termasuk menyimpang.. mungkin aku ini, Akh! aku tidak salahkan? sejak SMP aku selalu sekolah di sekolah khusus laki-laki. Jadi yang setiap hari aku lihat ya bocah laki-laki.
Berpikir untuk membedakan mana gadis manis atau bukan saja aku kebingungan. Dan jadilah Tsukasa sebagai patokanku terhadap kadar manis seseorang.
Tsukasa seperti perempuan, kalau kau melihatnya sekilas. Rambutnya lembut dan kecoklatan. Kulitnya putih bersih, jemarinya lentik dan tinggi badannya tak terlalu tinggi, dia punya mata yang bulat, dan senyum yang menawan. Sekali lagi aku tegaskan lesung pipinya itu adalah poin utama senyuman Tsukasa.
Oke sebut saja aku menyimpang sekarang. Tapi bukan berarti aku berpikir untuk memacari laki-laki. Aku masih memiliki kesadaran bahwa pasangan laki-laki adalah perempuan. Dan ketidak normalan yang sering aku lihat di sekolah ini. Membuatku geli.
"Baiklah aku percaya padamu. Kau mau ikut bersamaku untuk latihan atau tidak?!"
"Aku pass!"
"Dasar! Ya sudah. Aku duluan ya!" Kenichi menepuk pundakku lalu berlalu menuju lapangan sekolah.
Aku meraih sepedaku yang terparkir rapih, Duduk di sadelnya lalu mulai mengayuh pedal. Keluar dari lingkungan sekolahku yang luas dan ramai.
Kayuhan kakiku berhenti ketika melewati sebuah gang sempit belakang sekolah. Ada suara ribut-ribut dari sana. Aku bisa mendengar suara tawa beberapa orang, ketika akhirnya aku mendekat, aku tebak orang yang sedang mereka desak hingga ke sudut gang buntu itu pasti Tsukasa! dan gerombolan itu tak lain adalah Seito dan kawanannya.
"Hentikan itu!!" Suara pekikan Tsukasa terdengar dari balik tubuh-tubuh bongsor kawanan Seito! benarkan?! dia dalam masalah. Tapi kenapa dia berbohong dalam email-nya?
"Dengarkan? suaranya seperti anak perempuan!" Mereka tertawa-tawa.
"Oi?!" Aku mendekat, menarik pundak salah seorang yang membelakangiku.
"Woah! lihat, lihat! pangerannya datang!" Salah satu dari mereka mengejek, aku tidak tahu siapa namanya.
Mereka tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya.
"Kenapa?" Seito menyeringai padaku.
"Kalian benar-benar menjijikan. Jadi benar ya kau dan Tsukasa adalah sepasang kekasih?" Maru menatap sinis padaku.
"Bagaimana rasanya?? kau pasti sudah mencobanya kan? ayo katakan pada kami. Bagaimana rasanya main pedang-pedangan?" Kato mengejek dan yang lain ikut tertawa.
"Memangnya mereka samurai." Saki menimpali omongan mesum Kato.
"Tanya pada diri kalian sendiri. Bukankah kalian yang menyebarkan gosip konyol itu? memangnya ada masalah apa kalian denganku dan Tsukasa?"
"Kami hanya gatal dengan sampah yang sukanya bermesraan di sekolah seperti kalian." Maru kembali bicara setelah puas tertawa.
"Kami sampah, lalu kalian apa? limbah? atau jangan-jangan kalian hanya seonggok tinja-"
Tinju Saito mendarat di pipiku, sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Tsukasa menerjang lalu menghalangiku dari jangkauan Seito dan yang lain. "Hentikan itu!"
"Jangan melampau! Seakan kau adalah orang hebat!" Maru mendengus lalu pergi disusul yang lain. Meninggalkan aku dan Tsukasa.
"Kau tak apa?" Tsukasa menyentuh pipiku yang berdenyut dan aku yakin sekarang warnanya mulai membiru.
"Yah.. ini sakit. Lebih sakit lagi karena kau berbohong."
"Maafkan aku. Aku tak yakin untuk bilang bahwa aku masih di sekolah padahal aku sudah bilang aku pulang lebih dulu." Tsukasa menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Hanya karena itu?" aku masih mencoba menelisik. "Lalu ada urusan apa kau ke ruangan kepala sekolah sendirian?"
"Ah! darimana kau tahu?!" wajahnya terlihat sangat terkejut.
"Aku melihatmu."
"Kau melihatnya?!" sekarang Tsukasa malah terlihat memucat.
Kenapa?
"Kau pernah bilang untuk tak lagi membahas hal ini. Jika tidak kau akan marah. Aku tak ingin kau marah. Jadi lupakan saja ya?"
Apa?
Sebelum aku bertanya lebih jauh, Tsukasa meraih tasnya lalu berlalu meninggalkanku.
Apa yang ia katakan tadi? apa maksudnya?
Kenapa membahas alasan di balik ia mengunjungi ruang kepala sekolah akan membuatku marah? Memang apa yang ia lakukan? Memang aku punya hak untuk marah padanya?
Semalaman aku memikirkan hal itu. Emailku tak di balas oleh Tsukasa. teleponku juga. Saat pukul 8 malam. Aku melewatkan acara komedi dan nonton bersama ayah dan ibuku. Dengan alasan belajar karena besok akan ada ujian harian.
Aku tak sepenuhnya bohong kan? besok memang akan ada ulangan. Dan aku harus belajar, meski akhirnya buku cetak di hadapanku hanya menjadi sebuah aksesoris meja saja.
Aku kembali menelepon Tsukasa. berselang 4 detik, ia mengangkatnya.
"Ya?"
"Tsukasa, aku masih bingung dengan yang tadi-"
"Aku sedang bekerja, nanti saja kita obrolkan lagi ya."
Panggilan telepon pun di akhiri.
Aku penasaran sejak kapan Tsukasa mulai jujur tentang kerja sampingannya padaku. Kenapa aku tak mengingatnya dan merasa baru tahu ketika bibi tetangga Tsukasa menceritakannya?
Pertanyaan-pertanyaanku semakin banyak, dan semakin banyak. Sekian jauh aku kembali mengulang hari dari hari kematian Tsukasa. Tapi aku belum juga menemukan titik terang dari pertanyaan-pertanyaan di dalam otakku.
***
15 Desember 2017
Aku terbangun karena sebuah panggilan telepon. Saat aku lihat layar ponselku. Tertera nama Tsukasa di sana.
"Ya, aku sudah bangun." dengan malas aku meletakkan benda pipih itu di dekat telingaku.
"Baguslah! bagaimana kalau aku yang menjemputmu?" Suara Tsukasa dari seberang sambungan telepon terdengar ceria. Begitu kontras denganku yang sedang frustasi karena tak bisa mengingat hal yang telah terjadi di tanggal 14 dan hari ini.
"Terserah kau saja." Jawabku acuh ak acuh.
Aku turun ke bawah. melihat ibuku yang sibuk membuatkan kami sarapan. Untuk kali ini desakan untuk membantu membuatkan bekal begitu kuat. Aku yakin pada tanggal 15 Desember saat itu, aku sebenarnya membantu ibuku membuatkan bekal tanpa di suruh.
Seperti dugaanku, ibuku berterimakasih padaku karena membantu di dapur. Lalu ayahku memuji secara berlebihan.
"Aku berangkat!" seruku dari pintu depan.
"Hati-hati!" Jawab ibuku. sayup-sayup terdengar. Karena aku sudah berada di luar pagar rumah sekarang. Tsukasa berdiri di depan rumahku. Ia tersenyum manis seperti biasanya. "Pagi!" sapanya riang.
"Pagi, ayo!" tanpa menghabiskan banyak waktu, aku menaiki sepedaku dan menunggu Tsukasa duduk di bagian Rack belakang. Seperti biasa, tangannya melingkar di perutku. Dan untuk kali ini aku merasa gugup.
Tak banyak hal yang kami bicarakan di sepanjang perjalanan. Saat aku mulai bertanya masalah kemarin, ia akan mengalihkan pembicaraan.
Hingga akhirnya sepedaku sudah berada di halaman parkir sekolah. Tsukasa turun lalu berdiri menungguku memarkirkan sepeda di tempatnya.
Beberapa siswa tertawa melihat kami, ada yang berbisik-bisik. Ada yang tetap menyapa seperti biasanya. Aku melihat Keisuke, "Pagi!" mencoba menyapanya, sejujurnya aku penasaran kenapa kemarin dia begitu segan denganku dan Tsukasa.
"Ah! pagi! apa kalian sudah belajar?" Hal pertama yang ia bahas malah sesuatu yang tidak mengenakan.
"Apakah ada topik lain?" tak menanggapi lebih lanjut pertanyaan Keisuke yang tak lain dan tak bukan akan berujung pada. .
"Saat ulangan nanti bantu aku ya!"
Benarkan?
Tsukasa dan Keisuke tertawa-tawa pelan membahas kemungkinan ulangan nanti. Langkah kami sudah memasuki gedung sekolah, kami berada di ruangan loker, melepaskan sepatu kami dan menggantinya dengan sepatu ruangan yang ada di dalam loker kami masing-masing.
Loker milikku dan Tsukasa tak terlalu berjauhan. Saat aku berbalik dan akan meletakkan sepatuku. Aku sangat terkejut. Isi lokerku penuh dengan sampah. Aku sudah yakin milik Tsukasa juga, karena Tsukasa tampak tertegun di depan lokernya. Tak berselang lama sebuah kulit pisang jatuh ke lantai dari dalam lokernya.
Cara perundungan konyol seperti ini bukankah sudah kuno?
Aku tertawa, Aku tak bisa menahan diri. Tawaku semakin keras. Aku tahu siapa pelakunya dan ini sangat lucu. membayangkan betapa bodohnya Seito dan kawanannya berpikir tentang metode perundungan yang sangat kekanakan ini.
Tsukasa melihatku dengan ekspresi yang tak bisa aku mengerti. Dia sedih mungkin juga marah? aku tak tahu. Tapi yang jelas tawaku berhenti karenanya.
'Ini tidak lucu' mata Tsukasa seakan bilang begitu.
***