Aku bangkit dari duduk, Tsukasa terlihat terkejut dan menyusulku bangun.
"Mau kemana?" Aku bertanya padanya. Sungguh, seharusnya itu pertanyaan yang Tsukasa lontarkan padaku. Tapi justru aku yang bertanya padanya.
"Kau yang mau kemana?" wajah Tsukasa sangat tidak nyaman.
"Aku akan ganti pakaian, kita akan keluar bukan? Kau tak keberatan meski di luar sangat dingin kan?"
Tsukasa mengangguk, begitu penurut. Melihatnya begitu, ada perasaan bersalah dalam hatiku.
Tsukasa yang berbohong pasti punya alasan. Aku setidaknya, ingin tahu apa alasan yang membelakanginya. Apa saja yang telah ia perbuat sehingga mendesaknya untuk berbohong padaku, sahabatnya.
Langkah cepat aku ayunkan menuju kamar. Terdengar suara derap di tangga kayu rumah ini. Ayah dan ibuku pasti menyadarinya. Bahwa aku sedang tak merasa senang.
Mereka selalu bisa membedakan gelagat putranya ini. Hebat sekali bukan?
Setelah beberapa menit, aku habiskan untuk berganti pakaian dan membawa beberapa peralatan di dalam tas pinggangku. Aku meraih jaket tebal di gantungan baju, lalu melangkah keluar kamar dan turun ke lantai bawah.
"Ma, aku pergi ya! aku akan makan siang di luar." Sambil melongokkan kepala ke dapur aku meminta izin. Aku bisa melihat ayahku juga di sana. Sedang asik dengan kopi latte buatan ibuku dan sepiring biskuit coklat.
Benar-benar.. padahal baru saja ayahku itu menghabiskan sarapannya.
"Tunggu! kau belum sarapan kan?" Ibuku melirik pada peralatan makan yang sejak tadi ada di meja. Ayahku juga melihatku dengan wajah bingung, setengah menghakimi.
Di raut wajahnya dengan jelas mengatakan padaku 'jika ibumu marah, itu adalah salahmu.'
Tapi kali ini, aku sangat tak bisa mengontrol emosiku.
"Aku minta maaf ma, pa. Aku tak lapar." Jawabku singkat lalu berlalu meninggalkan mereka berdua.
Tsukasa sudah berdiri di ambang ruang tengah, mendekat ke arah dapur lalu berpamitan pada ibu dan ayahku.
Aku sempat mendengar ibuku berkata 'hati-hati' dan meminta maaf akan sikapmu nanti.
Sambil mengikat tali sepatu aku mendengus. Untuk apa ibuku meminta maaf atas apa yang akan aku lakukan pada Tsukasa?! konyol sekali!
Tsukasa datang terburu-buru di sisiku, memakai sepatu snikersnya dengan tergesa-gesa. Mungkin karena aku sudah siap dan berdiri tegap di hadapannya.
"Nah ayo!" Katanya saat tali sepatu sudah terikat sempurna. Ia sempat tersenyum melihatku, namun senyum itu lenyap ketika menyadari bahwa aku sama sekali tak tersenyum untuk membalasnya.
"Ayo!" aku segera berbalik, membuka pintu dan mendahuluinya.
Tsukasa mengikutiku dengan cepat. "Mau kemana kita?" Ia berusaha menyamai langkahku yang cepat.
Aku sangat yakin sekarang. Dia bukan habis bekerja sambilan semalaman. Tsukasa punya tenaga yang cukup banyak untuk terus berjalan - hampir berlari menyamai kecepatan langkahku. Ia bahkan tak berhenti bicara.
Aku terus mengacuhkannya. Astaga! aku seharusnya tak melakukan hal ini! dia akan terluka, lalu apa gunanya aku kembali ke masa lalu?!
Tapi, walau begitu. Rasa kesalku ini tak mau pergi dariku.
"Tunggu aku." Tsukasa sudah terlihat lelah. Ia beberapa kali berlari untuk menyusulku. "Tunggu aku!"
Aku masih tak mempedulikannya. Lalu lenganku diraihnya.
"Aku bilang tunggu aku!!" Tsukasa membentakku. Aku cukup terkejut karenanya. Bukan karena Tsukasa berani membentak, tapi karena wajah Tsukasa yang memerah dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Kenapa dia ini. .
Cengeng sekali!! Aku meraih tangannya. Kembali berjalan sambil terus menyeretnya.
"Aku ingin bicara denganmu tanpa ada yang bisa mendengarnya." Itu yang aku katakan. Dan langkah kakiku terus menuju ke rumah Tsukasa.
***
Pintu yang berderit terbuka. Aku dan Tsukasa masuk dengan cepat. Udara hari ini entah bagaimana terasa begitu dingin.
Dengan cepat pula Tsukasa membuka jaketnya dan meletakkannya di kursi depan meja makan. Menyiapkan sebuah air di dalam ketel air, menyalakan kompor dan beralih pada cangkir serta toples berisi bubuk coklat yang aku belikan beberapa hari lalu.
Tsukasa tampak sangat canggung. Ia tak mau berpaling untuk melihatku, sampai minuman yang coba ia siapkan selesai.
Satu cangkir ia letakkan di hadapanku. Satu lagi adalah miliknya.
Mata sayu Tsukasa menatap ragu padaku. Wajahnya saat ini, begitu membuatku rindu tentang pertemuan pertama kami di taman saat itu.
Tsukasa yang terlihat tak tersentuh.
"Aku tahu kau berbohong, Tsukasa." Suaraku yang terdengar dingin. Apakah membuatnya semakin tak nyaman?
"Maafkan aku." Ia menunduk.
"Apakah ada yang ingin kau katakan padaku?" pertanyaan apa itu?! aku tak memintanya, aku memaksanya! Aku ingin memaksa Tsukasa untuk mengatakan semuanya sejak awal. Apa yang terjadi padanya!
Perasaan kesal kembali menggelayutiku, aku menggencangkan rahangku. Menahan diri.
"Sebenarnya aku tak bekerja setiap Sabtu. Aku akan menginap di suatu tempat." Wajah Tsukasa terlihat datar sekarang. Tak ada perasaan yang bisa aku raba dari sana.
Jiwa Tsukasa seakan sedang tak di sana.
"Apakah itu ada hubungannya dengan benda yang kau bawa-bawa?" Aku semakin tak bisa menahan diri.
"Apa maksudmu?"
"Pelumas itu. Apakah itu berhubungan dengan acara menginapmu setiap Sabtu malam?"
Mata Tsukasa membulat. Air matanya luruh dengan deras. Terlihat sekali kilat marah di sana. Ia marah padaku, karena aku mengacak isi tasnya. Ia marah karena aku bisa menebak apa yang terjadi?
Ia menunduk sebentar lalu tiba-tiba, lengannya dengan cepat menghela cangkir berisi coklat panas di hadapannya, hingga terlempar ke lantai dan pecah.
Aku bangkit karena terkejut dengan reaksi Tsukasa.
"Apa yang kau lakukan?!" Pekikku. Aku mendekat padanya dan meraih lengannya. Melihat pada bagian yang terkena tumpahan coklat panas, menarik lengannya dan membasuh tumpahan itu. Sekarang aku bisa melihat kulitnya mulai kemerahan.
"Aku sangat marah! Kenapa kau masih bertanya?!" Bentaknya padaku. Ia menarik tangannya dariku dengan kasar.
"Apa maksudmu?!"
Ini kembali membuatku frustasi! ia berkata seakan aku tahu segalanya.
Tsukasa hanya menangis, ia meraung seperti kerasukan. Aku memeluknya dengan erat, tubuhnya bergetar hebat. Aku panik karenanya.
Tubuhnya limbung, kami berlutut di lantai dapur. Aku masih memeluknya. Tsukasa membenamkan wajahnya dalam pelukanku.
Seberat apa sesuatu yang disebut beban dan harus Tsukasa tanggung? Seakan semua ini semakin membuatku kehilangan arah. Semakin membuatku tersesat pada hari-hari yang telah terjadi namun begitu misterius bagiku.
Aku menjadi ragu, apakah ini adalah benar sesuatu yang pernah aku lalui. Ataukah mungkin ini adalah dunia yang jauh berbeda?
Tsukasa yang aku peluk saat ini. . benar-benar Tsukasa, pemuda cengeng yang mudah tersinggung. Pemuda manis yang menjadi sahabatku.
Aku yakin..
Aku semakin melupakan apa misiku sebenarnya. Seakan terjebak untuk tak kembali dan membaur di sini.
di titik ini dan menghentikan waktu.
Tsukasa menarik tubuhnya dariku. Mengusap air matanya dengan kasar.
"Aku adalah gigolo. kau puas?" katanya lugas.
Begitu menghantam jantungku.
***