Tanggal 21 Desember. Aku kembali ke beberapa toko buku, mencari buku biologi yang Tsukasa cari. Tapi tak juga aku temukan.
Aku akhirnya mencarinya lewat situs resmi penerbitnya. Membelinya secara online. Karena ini online, buku pesananku akan datang esoknya. Jadi aku akan bersabar untuk menyerahkan pada Tsukasa.
Sudah pukul 17.15, Ayahku akan pulang pukul 17.30. Sebentar lagi ibuku pasti akan mengetuk pintu kamar dan memintaku untuk turun dan menunggu ayahku di ruang keluarga.
Tak berselang lama, suara ketukan benar terdengar.
"Apakah kau tertidur?" suara ibuku dari balik pintu kamar.
"Tidak," aku segera bangkit dan membuka pintu.
"Ayo turun, mama akan memasak makan malam."
Kau tahu kenapa aku di panggil ke bawah selagi ibuku memasak makan malam? Karena ibuku yang fokus dengan masakan tak akan sempat membukakan pintu untuk ayah atau sekedar mengangkat telepon jika ternyata ayah menelepon dan mengatakan bahwa dia akan terlambat pulang.
Keluargaku terbiasa mengunci pintu bahkan ketika kami ada di dalam rumah. Saat aku kecil, seseorang tak di kenal masuk ke dalam rumah dan membuka lemari pendingin kami. Memakan dengan rakus, cake dan pudingku yang ibuku simpan untuk camilan malam. Orang itu baru mau keluar dari rumah ketika perutnya sudah kenyang.
Karena hal itu, ibuku sangat trauma.
Aku bahkan mengira saat itu adalah serangan zombie, Konyol sekali.
Saat ayahku datang, seperti biasanya. Ibuku menyiapkan makan malam, dan aku menyiapkan air hangat untuk ayahku mandi. Setelah kami makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga. Menonton acara humor di televisi. Humor dewasa yang tak aku mengerti.
Jadilah aku sibuk dengan ponselku. Mengirim sebuah email pada Tsukasa.
[Tsukasa, kau sedang apa?]
Hanya berselang 3 detik dia langsung menjawab.
[Mengerjakan PR. Apa kau sudah menyicil tugas musim dingin kita?]
Dasar siswa teladan. Liburan baru saja di mulai beberapa Minggu lalu. Dan dia sudah mengerjakan PRnya.
[Kau terlalu bersemangat]
[Dari pada kau yang tak punya semangat belajar sama sekali XD]
Dia menambah emot tertawa. Aku tertawa pelan ketika membacanya.
"Pa, Ma, Aku sudah mengantuk. Aku akan ke kamar ya." Aku pamit pada ayah dan ibuku yang sibuk dengan popcorn dan acara kesukaan mereka.
"Oke, selamat tidur ya!" Ayahku melambaikan tangan.
"Jangan bermain game sebelum tidur, oke?" Ibuku dengan peringatannya yang hampir setiap malam aku dengar.
Ia benci sekali ketika aku bermain game hingga larut malam. Itulah alasan kenapa aku selalu bangun terlambat.
"Iya-iya!"
Aku berjalan ke dapur, mengisi gelas dengan air hingga penuh dan membawanya ke kamar. Aku sering sekali terbangun karena kehausan, jadi aku selalu mengantisipasi agar tidak pergi ke dapur tengah malam.
Aku tidak mau membayangkan ketika ke dapur dan aku menemukan makhluk hitam sedang mengacak isi lemari pendinginku di dalam kegelapan. Seperti yang terjadi di dalam film horor.
Aku tidak keberatan di sebut penakut. Karena memang begitulah faktanya. Jadi saat Tsukasa memanggilku penakut untuk meledekku atau untuk menghinaku saat ia marah, aku akan langsung mengiyakannya.
***
Tanggal 22 Desember, terlewat begitu saja. Dan paket pesanku belum juga tiba. Aku memutuskan untuk menemani ibuku belanja keperluan rumah yang hampir habis.
Sisanya bermalas-malasan di kamar. Niat hati ingin mengerjakan setidaknya satu mata pelajaran yang menjadi PR musim dinginku. Tapi, ternyata aku memang bukan anak pandai yang rajin. Buku milikku yang terbuka hanya manjadi alas kepalaku sekarang.
Tanggal 23 Desember, paketku datang pagi hari. Dengan semangat aku membukanya dan menyimpannya dalam paper bag, agar bisa langsung aku bawa ke rumah Tsukasa.
Sarapanku aku habiskan dengan cepat-cepat, ibuku bahkan kebingungan melihatku begitu terburu-buru.
"Kau mau kemana? ini baru pukul 8 kan?" Ibuku bertanya masih dengan wajah bingung, saat aku sedang memakai sepatu.
"Aku akan ke rumah Tsukasa. Dah mama."
Aku tak begitu menghiraukan ekspresi ibuku yang terlihat keberatan.
Setelah sekian detik akhirnya ibuku membalas. "Hati-hati di jalan."
Aku mengangguk lalu keluar dengan perasaan senang, meraih sepedaku dan mengayuhnya penuh semangat.
Saat sampai di depan pagar rumah Tsukasa. Aku harus menelan kekecewaan. Pagarnya di kunci dan lampu rumahnya masih menyala. Tsukasa belum pulang bekerja?
Oh kenapa aku bisa lupa! Hari ini dia shift malam. Mungkin saja dia masih berada di tempatnya bekerja.
Aku akan kembali sore hari, agar ia sudah cukup istirahat.
Pikirku begitu. . .
Tapi hingga sore, aku tak bisa menghubunginya. Jadi aku mengirimkan buku yang baru saja sampai, lewat jasa antar barang menuju rumah Tsukasa.
Hari ini tanggal 23. Hari ini Tsukasa seharusnya di temukan tetangganya bunuh diri di dalam Bath tub. Tapi, aku yakin Tsukasa tak akan melakukannya. Karena aku sudah mengatakan apa yang ada di dalam hatiku. Aku sudah berusaha sebisa mungkin ada untuknya.
Aku sangat yakin!
Hingga telepon rumahku berdering. Aku yang sedang menonton televisi dengan ayahku menoleh pada ibuku. Ibuku sudah mengangkat gagang teleponnya.
Jantungku berdegup begitu kencang bahkan sebelum aku tahu siapa yang menelepon kami.
Aku sangat tidak tenang. Dalam hatiku berdoa keras-keras. Semoga itu bukan dari kepolisian!
Lalu saat aku melirik ibuku, ekspresinya sama persis seperti saat itu.
Saat kabar kematian Tsukasa datang pada kami.
***
Kejadian ini terjadi lagi. Perasaanku hancur lagi.
Untuk kedua kalinya, aku melihat wajah pucat pasi Tsukasa yang di masukan dalam kantung jenazah. Jantungku serasa diremas.
Aku begitu percaya diri dengan kata-kata ampasku! tak ada yang berubah, dia tetap mati dengan cara yang menyakitkan!
Apakah perasaanku yang tidak tersampaikan dengan baik padanya?
Kenapa?! Tsukasa bodoh!
Tiba-tiba aku teringat kalimat yang ia ucapkan tanggal 20 di taman.
Ia lelah dan pernah menceritakannya padaku. Tapi kenapa aku tak ingat?
Apa sebenarnya yang ia ceritakan. Aku harus tahu!
Aku harus!!
Aku meraih kantung jenazah yang di bawa petugas lalu membuka resletingnya. Petugas panik dan memanggil temannya untuk menahan ku.
Ibu dan ayahku datang menghampiri dan membantu meraih tanganku. Aku masih memaksa dan menerjang agar bisa melihat kembali wajah Tsukasa.
Lalu saat pandanganku teralihkan ke sudut ruangan, Tsukasa palsu yang aku temui waktu itu, menyeringai ke arahku.
Tampak menertawaiku. Jantungku seakan di hantam benda keras. Lalu aku terbangun dengan terkejut di atas kasurku.
Pandanganku mengedar, ini ruang kamarku. Aku meraih jam weker di sisi ranjang dan melihat angkanya dengan teliti.
"Pukul 05.29, Jumat 28-12-17"
Aku meletakkannya lagi di tempatnya. Menghela nafas panjang. Jantungku masih berdenyut tak karuan. Rasanya seperti habis lari sprint 800 meter tingkat internasional.
"Aku sudah kembali ke masa kini?" bisikku pada diri sendiri.
Mengingat kembali bagaimana Tsukasa tetap memilih untuk bunuh diri meski aku sudah mengatakan apa perasanku. Membuatku sadar.
Hanya kata-kata tak berarti apa-apa pada seseorang yg sudah putus asa.
Aku harus kembali jauh ke hari sebelumnya!
***