"Kau darimana saja?!" Ibuku menyembur tepat setelah aku mengatakan 'aku pulang' dan membuka pintu depan.
Wajahnya cemas, tentu saja. Aku tidak keluar dari kamar selama 3 hari. Setelah kematian Tsukasa, aku jadi jarang bicara. Lalu tiba-tiba aku berhambur keluar dengan sepedaku entah kemana. Bagaimana hal itu tidak membuat ibuku cemas bukan? aku seharusnya meminta maaf dengan benar. Tapi perasaan lelah seakan menumpuk di pundakku. Dan membuatku ingin segera merebahkan diri di kamar.
"Dari rumah Tsukasa." Jawabanku sangat jujur. Aku harus jujur pada setiap perkataanku.
Sejak kecil, aku diajarkan tidak boleh berbohong. Karena sekali kau berbohong kau akan terus melakukannya untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Poin penting yang ibuku katakan padaku adalah, kebohongan mengikis kepercayaan.
Wajah ibuku terlihat sedih. Aku yakin ibuku masih merasa terpukul atas kepergian Tsukasa. Selain karena mereka begitu dekat, cara bagaimana Tsukasa meninggal membuat ibuku tak bisa menerimanya.
Aku mengerti perasaan itu.
"Mama tahu ini sulit, apakah kita harus pergi mengunjungi nenek di Izumo?"
"Kenapa? bukankah kita sudah ke sana bulan lalu?"
"Udara di sana sangat sejuk dan baik untuk membuat kita berpikir lebih jernih." Ibuku bicara tanpa memandang wajahku.
"Ma, aku ingin segera ke kamar. Aku bau keringat karena bersepeda tadi."
Ibuku tak lagi menanyakan lebih lanjut. Ia hanya menyuruhku mandi dan bersiap untuk makan malam, kerena sebentar lagi ayah akan pulang dari bekerja.
Itu adalah momen yang paling aku tunggu sejak kecil. Saat ayah pulang dari bekerja, ia akan membawakan camilan atau cake. Lalu setelah makan malam kami akan menyantapnya bersama sembari menonton film dengan ruangan yang diredupkan lampunya.
Aku bersyukur terlahir di keluarga ini. Lalu kenyataan tentang betapa kontras keadaan keluargaku dengan keluarga Tsukasa membuatku merasa tak nyaman.
Apakah selama ini ia merasa iri? merasa sakit hati tanpa aku sadari?
Aku tak mengerti. Kalau saja dia lebih terbuka. Mengatakan apa yang ia inginkan. Aku akan lebih mengerti. Dia seharusnya tahu bahwa ibuku bahkan sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Begitu juga ayahku.
Tapi kenapa hal itu masih belum membuatnya puas?!
.
.
.
.
Aku sudah menyelimuti diri, di atas kasur empuk dengan sprei hitam motif bulan ini. Memang kekanakan, tapi aku menyukainya. Ibuku yang menyiapkan sprei ini, dia bilang bahwa cahaya bulan dapat memberikan mimpi yang indah.
Entah teori darimana ibuku dapatkan. Yang jelas, sesuatu yang di siapkan dengan segenap doa di dalamnya adalah yang terbaik.
Aku terus memikirkan apa yang telah terjadi tadi sore di rumah Tsukasa. Itu semua nyata. Aku ingin segera mencoba mantra itu hari ini juga. Maka esok aku bisa kembali bertemu dengan Tsukasa. Tsukasa yang hidup.
Dalam benakku aku mengingat-ingat. Hal apa saja yang telah terjadi pada tanggal 20 Desember kemarin.
Yang aku ingat, Kami berdua pergi ke toko buku. Mencari buku biologi yang Tsukasa butuhkan. Lalu setelahnya aku tak terlalu mengingatnya.
"A 7 days wonder. Coming for me!" Setelah mengucapkan hal itu. Aku menutup mataku dan tenggelam dalam mimpi yang membuatku rindu.
Mimpi tentang hari-hari bersama Tsukasa. Si soft boy.
***
Alarm weckerku berbunyi tidak tahu diri. Sudah pukul 6 pagi. Dengan malas aku menyibakkan selimut ke sisi dan bangkit. Sambil terus mengusak kelopak mataku yang terasa sulit untuk dibuka, aku meraih jam wecker di meja sisi kasur. Mematikan alarmnya yang terus berdering. Setelah meletakkannya aku membatu. mencerna sesuatu yang baru aku sadari sekelibat tadi.
Nalarku bekerja dengan baik, setelah semua nyawa yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan kembali berkumpul padaku. Aku meraih kembali jam wecker digital milikku dan menatapnya dekat-dekat.
Disana selain angka 06.15 yang terpampang besar-besar. Di atasnya tertera sebuah tulisan 'Rabu-20-12-17'.
"20?!" Luar biasa!! ini benar-benar terjadi. Aku kembali ke tanggal 20, kembali ke tujuh hari ke belakang!
Aku tak bisa menahan rasa senangku. Tertawa begitu keras hingga ibuku menegurku dari lantai bawah.
Pukul 6! Aku harus menelepon Tsukasa!
Sambungan teleponku tak juga diangkat, ini kali ke 5 aku menelepon.
"Apakah masih tidur?" gumamku.
Akhirnya setelah keenam kalinya aku menelepon, Tsukasa mengangkatnya.
[ya?] suaranya terdengar serak. Jantungku terasa ngilu. Rasa rindu akan suaranya terobati.
"Kenapa kau tak meneleponku lebih dulu?"
[Untuk apa aku meneleponmu pagi-pagi di hari libur sekolah?] Ia mendesau. Ada suara krosak, seperti kantong plastik di sekitarnya.
"Kau sedang apa?" aku sangat penasaran.
[Aku sedang membuat sarapan, apa kau sudah sarapan?]
Selalu, seperti biasanya. Dia akan balik bertanya. Dia tak akan membuatmu kehilangan topik pembicaraan.
"Belum. Mama belum memanggilku ke bawah." Jawabku santai.
[Kau ini. cobalah sesekali bantu ibumu memasak. Atau mengerjakan apa saja yang bisa kau lakukan.]
"Tenang saja, bagianku adalah mencuci peralatan makan dan memasak setelah makan," Aku setengah tertawa, bukan karena dia sok mengatur. Tapi karena perasaan senang yang tidak bisa aku tahan. Tsukasa masih seperti biasanya.
Pertanyaan itu jadi semakin membengkak di kepalaku. Apa alasan Tsukasa mengakhiri hidupnya?
[Hari ini jadi?]
"Tentu saja. Sampai pukul berapa pun akan aku temani." aku tidak membual. Memikirkan akan bertemu lagi dengan Tsukasa membuat jantungku berdebar keras sekali. Perasaanku yang menggebu, takut tidak bisa aku tutupi. Aku bisa menemui lagi sahabatku yang telah menjadi abu. Hingga berapa jam pun aku akan sanggup berada di sisinya. Bahkan jika harus membawanya ke rumahku dan tinggal denganku.
Terdengar suara tawa Tsukasa dari sambungan teleponku.
[Aku akan ke rumahmu pukul 9 ya.]
Setelah mengatakan itu, Sambungan telepon terputus. Ibuku memanggil dari bawah, tanpa membuatnya menunggu aku langsung bergegas turun.
Aku adalah anak baik, jadi tak akan membuat orang tuaku kecewa, termasuk langsung datang ketika dipanggil.
Sampai di ruang makan. Ayahku sudah duduk dengan koran di tanganya, kadang aku pikir ayahku kuno. Aku pernah bertanya padanya, kenapa ia tetap membaca koran sedangkan ayah punya ponsel pintar, ia bisa membaca berita pagi di ponselnya. Tanpa harus membuka-buka lembaran koran yang terlihat mengganggu di atas meja makan. Lalu ayahku menjawab.
"Jika papa membeli koran, maka perusahan percetakan koran tetap punya penghasilan. Lagipula jika papa memakai ponsel, papa bukan hanya akan membuka berita. Nanti papa akan keterusan menghadapi layar ponsel, dan melupakan istri papa yang cantik ini serta anak papa yang luar biasa tampan ini."
Jawaban papa memang selalu yang terbaik. Buktinya mama sampai mencubit lengan papa sambil tersenyum.
Romantisme mereka yang tak pernah luntur oleh waktu membuatku percaya bahwa cinta yang tumbuh di tempat yang benar, maka akan berbunga abadi.
***