Sesampainya kami di koridor kelas. Akhirnya kami bertiga pun berpisah. Rusya berjalan menuju ke kelasnya, sementara aku dan Alvan berjalan menuju ke kelas kami.
"Aku duluan ya, Alvan." Rusya pamit kepada Alvan.
"Iya, Rus. Hati-hati." Ucap Alvan seraya melambaikan tangannya.
"Iya, bye-bye Alvan." Ucap Rusya sembari tersenyum manis.
"Bye juga." Ucap Alvan dengan membalas senyuman Rusya.
" ...." Aku melihat itu dan diam saja.
Setelah berpisah dengan Rusya, Alvan pun langsung mengajakku masuk kelas. "Ayo Wan, sudah waktunya!"
Aku berdecak sembari menggelengkan kepalaku. "Dasar bucin."
"Maksudnya bucin?" Alvan bingung, apa maksud dari perkataanku.
"Udah, gak usah dipikirin. Anggap aja angin lalu."
"Dih, gitu ya!!" sahut Alvan dengan perasaan jengkel.
"Udah buruan! Keburu telat nih!"
"Iye-iye!!" ucap Alvan yang masih kesal karena ucapanku.
Kini kami berdua sudah masuk ke ruang kelas kami.
Seusai masuk di ruang kelas, serta duduk di bangku belajar. Aku pun langsung mengeluarkan alat tulis beserta buku tulis dari tas. Semoga aja gurunya kali ini bukan kayak Bu Mirna. Soalnya kalau kayak Bu Mirna lagi, percuma saja aku bawa buku tulis. Toh, yang dipakai buat ulangan doang. Jadinya agak kurang berguna.
---Beberapa menit kemudian---
Selang beberapa menit menunggu kehadiran guru pelajaran selanjutnya, yaitu guru matematika. Aku cuman bisa duduk manis doang. Gak tahu mau ngapain. Mau ngomong sama Alvan ... nanti keburu datang gurunya. Jadinya yah ... melamun aja di dalam kelas sampai gurunya tiba.
Saat aku melamun gak jelas, tiba-tiba ada sesosok bayangan yang datang memasuki kelasku. Seketika, aku langsung bersemangat untuk mendengarkan serta mencatat materi pelajaran. Akan tetapi, semangat untuk mendengarkan serta mencatat materi berhenti ketika melihat guru yang masuk ke dalam kelas. Yap, bener sekali. Bu Mirna masuk lagi ke dalam kelasku.
"Siang anak-anak!" sapa Bu Mirna seraya memasuki ruang kelasku.
Mendengar sapaan dari Bu Mirna, sontak seluruh murid di kelasku pada kaget.
"Maaf ya, Ibu masuk lagi. Soalnya guru matematika kalian lagi gak hadir. Jadinya, Ibu yang ambil alih lagi." Ucap Bu Mirna seraya tersenyum sinis.
"I-iya Bu. Gapapa, Bu." Jawab murid di kelasku dengan perasaan takut.
Setelah menyapa para murid, Bu Mirna langsung menghampiri meja guru untuk menaruh tas serta mengambil secarik kertas yang berada di dalam tasnya. Aku kurang paham terhadap secarik kertas tersebut, akan tetapi yang kutahu adalah adanya aura yang tegang dari Bu Mirna.
"Oh, baguslah! Kalau gitu, sekarang mulai ya materi PPKN-nya." Ucap Bu Mirna seraya tersenyum sinis lagi.
"Sebelum memulai materi PPKN-nya, Ibu mau mengatakan sesuatu terlebih dahulu terkait ulangan harian kalian semua." Lanjutnya seraya tersenyum sinis.
"Kalian REMEDI semua!!!"
Mendengar pemberitahuan mengenai nilai PPKN pada remedial semua. Sontak para murid di kelasku diam seribu bahasa. karena sudah gak tahu harus ngomong apalagi terhadap hasil ulangan harian kami.
"APA-APAAN KALIAN INI!! NILAINYA HANCUR SEMUA!! Mana ada yang dapat nilai nol lagi!!" ngomel Bu Mirna sembari melihat nilai ujian harian.
"Cuma ada dua orang yang gak kena remedial, Alvan dapat nilai 100 dan Wawan dapat nilai 90."
"Harusnya kalian contoh dua orang ini!" lanjut Bu Mirna sembari menyuruh murid kelas VII-7 untuk menjadikan aku dan Alvan sebagai contoh yang baik.
"Wawan, Alvan. Sini kalian berdua!!" suruh Bu Mirna kepadaku dan Alvan untuk maju ke depan kelas.
Setelah mendengar perkataan Bu Mirna untuk ke depan kelas, aku dan Alvan pun langsung menuruti perintah Bu Mirna.
"Baik, Bu," ucap aku dan Alvan sembari berdiri dari tempat duduk dan berjalan menuju ke depan kelas.
Kini aku dan Alvan sudah berdiri di depan kelas.
"Nah, kalian contoh nih!! Dua murid pintar yang mendapatkan hasil ulangan bagus!!" omel Bu Mirna seraya menunjuk ke arahku dan Alvan.
"Kalian harusnya tuh belajar!!! Bukan malah MAIN TERUSS!!" lanjut omel Bu Mirna.
Ketika Bu Mirna sedang mengomeli para murid kelas VII-7. Aku sempet menoleh sedikit ke arah murid kelasku, semuanya pada sedih serta takut karena dimarahi Bu Mirna. Sejujurnya, yang salah di sini sebenarnya adalah Bu Mirna sendiri. Karena dia gak memberikan materi PPKN kepada kami semua. Jadinya, yah ... pada remedi semua. Untung saja aku punya teman goib dan ditambah Bu Mirna gak bisa ngeliat Ponci sama Kunti. Kalau dia bisa melihat Ponci dan Kunti, bisa-bisa kecuranganku bakal ketahuan.
"Yang masih remedial. Ibu kasih kesempatan lagi, untuk ngerjain ulangan hariannya. Akan tetapi, soal yang Ibu kasih berbeda dari sebelumnya." Jelas Bu Mirna.
Seusai memarahi serta memberikan keringan atas remedial ujian harian, kini Bu Mirna menoleh ke arah kami berdua, lalu menyuruh kami untuk keluar sebentar.
"Nah untuk Alvan dan Wawan, kalian boleh keluar dulu untuk nunggu. Nanti Ibu panggil kalian lagi!"
"Baik, Bu." Ucap kami berdua.
Akhirnya, aku dan Alvan pun keluar dari kelas untuk menunggu pelaksanaan ujian remedial yang dilakukan murid di kelasku.
****
Selagi menunggu ujian remedial yang dilakukan murid kelasku, aku dan Alvan pun mengobrol tanpa arah serta tanpa topik khusus apapun.
"Fiuhh ... untung aja kita gak kena remedial ya, Van." Ucapku dengan lega seraya duduk lesehan bersandar di balkon sekolah.
"Yah ... sebenarnya sih, aku belajar mulu di rumah, Wan. Aku gak pernah main game," ucap Alvan sembari berjalan mendekatiku.
Aku berucap dengan terkejut. "Ohh ... begitu."
"Iya, Wan. Paling kalau mau main ke luar, harus minta ditemanin sama si Rusya. Jadinya, aku kontakan sama dia dulu. Baru deh, si Rusya datang buat ngejemput aku buat main." Jelas Alvan sembari duduk lesehan di sampingku.
"Btw, kamu kenalan sama Rusya darimana, Van?"
"Sebenarnya Rusya dan aku tuh tetanggaan, Wan. Cuman yah ... karena aku sama Rusya dulunya satu SD dan sering main bareng, jadinya yah ... teman akrab gitulah sampe sekarang." Jelas Alvan sembari mengingat-ingat masa lalu.
"Oh begitu ... Baguslah."
"Iya, Wan," ucap Alvan sembari tersenyum.
"Kupikir, kamu sama Rusya kenalan di SD aja. Ternyata kamu sama Rusya tetanggaan."
"Iya begitulah, Wan."
Aku berucap dengan entengnya. "Kamu berdua kayak jodoh aja, Van."
"Sama siapa?"
"Sama Rusya, cuy."
"Hahaha, mana mungkin, Wan. Kita itu masih SMP, mana mungkin ada perasaan begitu," tawa Alvan yang tak percaya perkataanku.
"Yah ... kalau dilihat dari yang kamu bilang, masa sih dia bersekolah di tempat yang sama kayak kamu gini."
"Hem ... gak tahu deh ya. Mungkin kebetulan aja, Wan."
"Yah ... kemungkinan sih begitu. Tapi kemungkinan bisa juga, Van."
"Yah ... gak tahu deh ya. Kemungkinan juga gitu, akan tetapi aku gak melihat perasaan dari Rusya begitu. Jadinya, yah ... tidak bisa dikatakan aku dan dia saling suka."
Aku berucap seraya menggelengkan kepala. "Ha-ah kamu ini gak peka ya."
"Maksudnya??"
Di saat pembicaraan mengenai Rusya tengah berlangsung. Tiba-tiba Bu Mirna memanggil kami berdua untuk segera masuk ke dalam kelas.
"Alvan, Wawan ... kalian masuk ke dalam kelas sekarang!!" manggil Bu Mirna dari dalam kelas.
"Baik Bu!!" Ucap kami berdua.
Setelah Bu Mirna menyuruh kami untuk masuk kelas. Kami pun menuruti perkataan Bu Mirna.
"Ayo, Van, kita ke dalam. Bu Mirna udah manggil kita," ajakku sembari berdiri dari tempat duduk kami.
"Ha-ah, ya udah deh. Ayo, Wan!" ucap Alvan menerima ajakanku dengan perasaan mengganjal.