Chereads / Öde / Chapter 2 - 1

Chapter 2 - 1

Pukul delapan malam, hujan turun dengan deras. Tanpa pandang bulu membasahi siapa pun yang berada di bawahnya. Mereka yang masih berlalu lalang di jalan dan tak membawa payung untuk menutupi diri mereka dari tangis langit segera berlari, terburu-buru untuk kembali ke rumah atau setidaknya mencari tempat untuk berlindung.

Di tengah keadaan itu, seorang wanita berjalan menerobos hujan dengan tenang. Tangannya menggenggam erat gagang payung berwarna kuning miliknya, berharap jika angin kencang tidak berhembus dan menerbangkan satu-satunya payung yang ia miliki.

Derap langkah yang menginjak genangan air hujan terdengar. Cipratan nya sedikit membasahi rok abu sebetis yang digunakan oleh wanita itu.

"Hei!"

Jertian yang berusaha menyaingi suara riuh hujan membuatnya berhenti melangkah. Rambut hitam legam sepunggungnya bergoyang lembut ketika ia menolehkan kepalanya.

"Kau ke mana saja? Aku sudah menunggumu di sini dari tadi." ucap seorang wanita yang berteduh di bawah minimarket, menatap kesal pria yang baru saja datang untuk memenuhi janjinya.

"Maafkan aku, aku tadi ketiduran setelah menghabiskan waktu semalaman untuk bermain game." jawabnya sembari tersenyum jenaka.

Dengusan kesal lolos dari wanita yang saat ini sudah merogoh tasnya, mengeluarkan sehelai sapu tangan miliknya. "Kenapa kau tidak memakai payung? Sudah tau hujan deras seperti ini. Bagaimana kalau kau sakit?"

"Karna terburu-buru kemari dan tak mau membuatmu menunggu, aku lupa untuk membawa payung." jawabnya, membuat wajah wanita itu memerah sempurna.

Sepasang kekasih itu terus bercengkrama satu sama lain, tak menyadari jika wanita pemilik payung kuning itu terus memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebuah senyuman tipis muncul di wajah sendu nya ketika melihat seutas tali merah yang terikat di jari kelingking masing-masing pasangan tersebut.

"Semoga hubungan kalian bertahan, hingga maut memisahkan." bisiknya sebelum kembali melanjutkan perjalanannya.

Semakin larut, hujan turun semakin deras. Menyadari perubahan cuaca yang semakin buruk wanita itu pun segera mempercepat langkahnya. Payung kuningnya terombang ambing, nafasnya memendek, dan kakinya pun bergerak semakin cepat.

Sampai di sebuah kompleks gedung apartemen murah, tanpa ragu wanita itu segera melangkah masuk ke salah satu gedung yang ada di sana. Tak lupa ia menutup payung yang ia kenakan, membiarkan air hujan yang tersisa di sana jatuh ke atas lantai sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Wanita itu menghentikan langkah kakinya tepat di lantai tiga gedung apartemen tersebut. Ia menghela nafas lelah sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalan.

Sudah terbiasa dengan lorong remang lantai tiga gedung apartemen tersebut membuat nyali wanita itu tak ciut tiap kali melewatinya. Mau bagaimana lagi? Hanya tempat ini yang memiliki harga murah ketimbang tempat-tempat lainnya. Walau ia harus hidup bersama hantu sekalipun, asal memiliki atap untuk menutupi kepalanya dari hujan itu sudah cukup.

Sampai di depan pintu apartemen yang menjadi rumahnya, wanita itu merogoh totebag yang tersampir di bahunya. Mengambil sebuah kunci dengan gantungan kelinci lucu untuk membuka pintu dihadapannya.

Hal pertama yang menyambutnya ketika datang adalah kegelapan, juga kesunyian. Tak ada siapapun di dalam ruang apartemen berukuran empat kali lima meter itu. Hanya ada ruangan yang kosong dari kehidupan makhluk hidup dengan beberapa interior sederhana di dalamnya.

Tanpa mengatakan apapun wanita itu melangkah masuk. ia menaruh payung basah di samping pintu sebelum akhirnya kembali menutup pintu di belalakanganya dan menguncinya. Melepas sepatu kets putih yang sudah basah dan kotor karna air hujan ia segera melangkah lurus menuju skalar, menyalakan lampu yang masih mati dan menerangi ruangan di sekitarnya.

Wanita itu melepas sweater coklat yang ia kenakan, menaruhnya di atas sofa bersamaan dengan totebag yang ia bawa.

Hawa dingin yang merangkak masuk melalui ventilasi udara dan celah jendela membuat tubuh kurus wanita itu bergidik kecil. Ia melangkah menuju dapur, mengambil teko dan mengisinya dengan air. Setelah air tersebut cukup memenuhi teko, ia segera menaruh teko tersebut di atas kompor dan mulai memanaskannya. Tak berhenti sampai di situ, wanita dengan rambut sepunggung yang terlihat seperti untaian benang sutra itu mengulurkan tangannya untuk mengambil segelas mug dan mengisinya dengan kantung teh instan.

Sembari menunggu air yang ia masak panas, wanita itu kembali berjalan menuju sofa dan mengambil ponselnya yang berada di dalam totebag. Mengecek apakah terdapat sebuah pesan yang masuk untuknya atau tidak.

'Alde, kau sudah pulang?'

Kalimat itu dikirimkan dari pesan aplikasi oleh seseorang bernama Nyla. Sahabat Alde dari saat ia berumur 2 tahun.

Seutas senyum tipis muncul di wajah sendu wanita itu. Dengan segera ia mengetikkan sebuah balasan, sambil melangkah kembali menuju dapur untuk mematikan kompor yang sudah membuat teko di atasnya berbunyi nyaring.

Selesai membalas pesan dari sahabatnya, Alde menaruh ponselnya di atas countertop tepat di samping mug yang sudah ia persiapkan. Dengan menggunakan serbet untuk menahan panas dari teko, ia menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam mug, membuat kantung teh yang sebelumnya ia masukkan ikut mengambang.

Ketika ia selesai membuat teh panas untuk menghangatkan dirinya, ponsel yang tergeletak mulai bergetar. Layarnya bekedip, menarik perhatian Alde untuk segera mengambilnya.

'Besok, aku tunggu kehadiranmu di kantin kampus pada jam makan siang.'

Alde menganggukkan kepalanya. Kedua ibujarinya kembali menekan layar dan membalas pesan Nyla.

'Ya, setelah selesai kelas aku akan segera menemuimu.'

Tak lama setelah Alde mengirimkan pesan tersebut, Nyla membalasnya dengan berbagai macam emot manis.

Kekehan lembut lolos dari mulut Alde. Sifat ceria dan cerah milik sahabatnya ini sungguh menghibur, membuatnya merasa tak terlalu kesepian.

Alde mengambil mug berisi teh panas yang baru ia buat, menyeruput isinya sedikit demi sedikit dan menghembuskan nafas lega ketika merasakan teh tersebut mulai menghangatkan tubuhnya.

Brak!!

Hantaman kencang pada pintu rumahnya membuat tubuh Alde terhentak hebat. Ia hampir menjatuhkan mug beserta ponsel di tangannya jika ia tak memegangnya dengan erat.

"Hei, kau ada di dalam kan?"

Suara berat dan serak berseru. Terus menerus menggedor pintu rumah Alde.

"Hei!!" bentak pria yang berada di luar.

Alde menghiraukan panggilan itu. Ia hanya diam di tempatnya, berusaha menenangkan tubuhnya yang bergetar karna takut.

Dan ketika gedoran tersebut berhenti, helaan nafas lega lolos dari dalam mulut Alde. Getaran pada tubuhnya berhenti, digantikan dengan kedua kakinya yang melemas hingga harus membiarkan tubuhnya jatuh ke atas lantai.

Beberapa menit ia terdiam di tempatnya. Berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdetak tak karuan sebelum akhirnya kembali bangkit untuk menaruh mug di tangannya dan segera berlari menuju kamar tidurnya untuk bersembunyi di balik selimut.

"Cepat tidur Alde, cepat lewati malam ini untuk segera kembali beraktifitas besok."

Setelah mengatakan itu Alde segera memejamkan matanya, membiarkan kesadarannya menghilang sedikit demi sedikit karna rasa kantuk.