2 tahun lalu.
"Pukul saja aku! Pukul ayo pukul!" Tantangnya dengan mata berapi. "Ibu memang selama ini kan suka memukul. Pukul hingga aku mati bu, PUKUL!" teriaknya dengan lantang dan mata memerah penuh amarah.
"Aku lelah, lelah menghadapi anak pembangkang sepertimu, kamu memang bebal," balas si ibu tak kalah murka.
Sedangkan si anak, tanpa rasa takut membalas tatapan ibunya tak kalah sengit.
"Keluarga Se*an!" Hardiknya. "Cuihh," ludahnya dengan seringai kecil namun masih dengan sorot mata yang sama, murka dan penuh kemarahan. "Kenapa gak bunuh aku aja sih waktu kecil hah? Daripada sekarang... lihat sekarang bu keluarga kita hancur, hancur bu" nada suaranya mulai melemah, sekuat tenaga ia menahan air matanya yang terus melesak ingin keluar.
Sedang si ibu kembali meraung dengan tangis yang semakin pilu. Ia tahu keluarga yang ia bentuk bukan seperti keluarga normal lainnya. Ia sadar ia terlalu banyak menorehkan luka pada putrinya.
Ia lirik putrinya yang sudah beranjak dewasa dengan pendangan nanar dan perasaan bersalah yang besar. Andaikan ia bisa memilih ia pasti tak akan memilih jalan yang ia lalui kini. Tapi, ia juga sadar ia tak bisa memilih. Ini takdirnya. Ini jalan hidupnya.
Masih dengan dipenuhi suara pilu sang ibu, gadis itu beranjak dan berlalu dengan membanting pintu sekuat tenaga.
Ia pergi, pergi tanpa tahu akan ke mana.
Si ibu hanya bisa menatap nanar pada pintu, kemudian kembali terisak dalam kesunyian.
Ia menyesal sungguh menyesal. Kenapa ia tak bisa menahan tangannya untuk tak memberikan pukulan pada putri semata wayangnya.
Namun, penyesalan hanyalah penyesalan semuanya telah terjadi dan selalu terjadi seperti itu.
***
Waktu menunjukan pukul 22.30, sedangkan ia masih luntang lantung di jalanan tak tentu arah. Tak tau harus ke mana, tak tau harus bagaimana.
Gelapnya malam menyembunyikan air matanya yang tak berhenti mengalir. Sekuat tenaga ia tahan, tapi matanya memang tak dapat diajak kompromi dengan baik.
"Aku harus ke mana?" Lirihnya dalam hati. Sedangkan ia tak mungkin pulang. Pantang bagainya pulang setelah bertengkar hebat dengan ibunya.
Kemudian ia meraba-raba saku jaket denim belelnya. Ia menemukan uang pecahan duapuluh ribu 3 lembar dan satu benda penting lainnya yaitu handphone. Ya handphone-nya. Ia harus segera menghubungi salah satu temannya untuk ditumpanginya menginap malam ini. Ia mencari nama sesorang di kontak whatsapp-nya.
"May gue nginep di rumah lo ya mlm ini."
Tak butuh beberapa lama untuk menunggu balasan wa-nya.
"Rumah gue slalu terbuka utk lo"
Rambut pendek gadis itu acak-acakan tertepa angin malam. Ia berjalan santai tanpa repot-repot merapihkan rambutnya.
Dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku jaketnya, rambut acak-acakan tertepa angin, sepatu kets belel dan kotor serta pandangan dingin yang menusuk. Setiap orang yang melihatnya pastilah ketakutan. Ia seperti psikopat yang siap memangsa.
Hingga langkahnya terhenti di dekat sebuah tikungan jalan besar yang ia lalui tadi. Tepat dekat tikungan itu, masuk sedikit ke dalam gang yang hanya berukuran kurang dari 1 meter itu rumah temannya. Rumah sederhana tanpa pagar, tanpa teras. Hanya halaman yang ditumbuhi rumput liar dengan ukuran lebih dari satu meter.
Ia berjalan ke arah pintu dan mengetuk pintu tua di depannya. "May" panggilnya.
Sayup-sayup terdengar sahutan dari dalam. Pintupun terbuka dan muncul perempuan seusia dengannya dengan rambut panjang tebal yang terurai hingga pinggangnya.
"Masuk Na" sambut Maya. Teman yang tadi dia hubungi.
Hassna menyelonong masuk. Ia melepaskan jaket denim belelnya itu. Dan duduk di kursi ruang tamu.
"Berantem lagi?" Tanya Maya.
"Menurut loh?"
Mendengar jawaban Hasna maya tergelak. "Gak bosen apa berantem terus?"
"Tanya aja tuh sama perempuan tua itu."
"Husss gitu-gitu juga itu ibu loh," Maya berlalu ke dapur dan setelahnya ia bertanya dengan sedikit berteriak, menawarkan air minum kepada Hassna.
"Nih air dingin, supaya kepala loh nggak ngeluarin asap lagi," candanya. Hassna langsung meminum habis air itu sekali tegukan. Setelahnya ia bergesa ke kamar Maya, "ke kamar duluan ya, capek banget."
***
Pagi yang cerah, telah terusik oleh dua gadis yang tengah berdebat hebat. Pagi yang damai, pagi yang tenang telah tiada.
"Yang bener aja sih lo Na." Tanya maya. Kemudian ia bangkit dari posisi duduknya di ranjang. Maya menatap Hassna dengan nyalang. "Lo serius?" Tanyanya lagi memastikan.
"Gue serius May, ini udah gue rencanain sejak lama. Dan sepertinya ini waktu yang tepat."
"Terus gimana sama kuliah lo? Bukannya kita mau daftar kuliah bareng di sini?"
"Gue nggak jadi kuliah di sini. Gue udah minta didaftarin sama bokap gue di Bandung."
"Hey, na coba pikirin lagi matang-matang. Lo mau tinggal sama istri pertama bokap lo yang kata lo kaya nenek sihir?"
"Ya mau gimana lagi. Lagian mau di sini atau sama bokap gue sama aja udah kaya di neraka."
"Terus gimana sama Bintang? Dia udah tau lo bakal pergi?"
Hasna terdiam, dari raut wajahnya, Maya tau Hasna tidak memberitahu kepergiannya kepada lelaki itu.
"Na, gimanapun Bintang care banget sama elo."
"Gue sama Bintang gak ada apa-apa jadi gak masalah," jawabnya asal.
"Kalau dia tau lo bakal pergi dia pasti ngamuk Na. Dan lo tau kan kalau Bintang udah marah kaya gimana!"
"Iya gue tau," kemudian Hasna terdiam dengan raut wajah yang sulit diartikan. Maya yang menyadari raut wajah Hassna mulai berubah berusaha mengalihkan topik.
"Jadi, jam berapa lo berangkat?"
"Jam 11," Hasna melirik jam di atas nakas pinggir ranjang Maya, "jam sembilan ibu gue udah berangkat kerja, nanti gue balik dulu ambil baju."
"Lo nggak kasian sama ibu lo hah?" Sekali lagi Maya bertanya memastikan akan keputusan Hasna.
"Catat! Tiap hari gue adu mulut sama dia May," Hasna bangkit dari ranjang dan pergi nyelonong ke kamar mandi.
***
Pukul 10.00 ia sampai di rumahnya. Ia mengambil kunci rumah yang biasa ibunya simpan di bawah pot bunga lili yang mereka tanam. Halaman rumahnya ditumbuhi banyak bunga-bunga yang indah, hanya saja keindahan itu tak tercermin dalam kehidupan mereka. Hasna tinggal berdua di rumah ini sejak kecil dengan ibunya.
Dulu, sebelum ia mengerti akan perihal orang dewasa, ia berpikir semua ayah di dunia ini wajar jika hanya pulang sesekali ke rumah. Semakin ia tumbuh dewasa ia mengerti kondisi keluarganya tidak sama dengan kondisi keluarga teman-temannya yang lain.
Ibunya yang juga merupakan wanita karier terlalu sibuk dan kerap kali pulang larut. Hingga perhatian yang ia harapkan dari keluarganya tidak ada. Tak dari ibunya apalagi ayahnya yang hanya akan ada di rumah sehari dalam sebulan.
Tanpa pikir panjang ia mengambil kunci tersebut dan membuka pintu rumahnya. Secepat kilat ia menuju kamarnya dan mengambil tas ransel dengan ukurun cukup besar yang biasa ia gunakan untuk travelling bersama teman-teman bebasnya.
Ia memasukan beberapa potong baju kaos dan hoodie andalannya. Tak lupa dengan celana jeans dan 1 hotpans. Kemudian ia memilah beberapa underware yang akan ia bawa. Satu set skincare, beberapa buku yang ia rasa perlu serta buku tabungan ia masukan dengan rapi ke dalam tasnya.
Setelah selesai, dengan tergesa ia keluar dan mengunci kembali pintu rumahnya. Tak lupa ia simpan kunci di tempat biasa.
Ia kembali melirik ke bunga lili putih itu, hingga air matanya mengalir tak terbendung. Hasna teringat ketika ia dan ibunya menanam bunga lili bersama-sama 5 tahun silam. Meski pakaian dan tangannya kotor, tapi ia bahagia. Ia bahagia karena disela kesibukan ibunya, setiap kali weekend mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Tertawa bersama, berbagi cerita bersama. Namun semuanya telah berubah. Semuanya telah sirna, hingga yang tersisa hanya amarah dan rasa benci belaka.
Tak ingin terlarut, ia hapus dengan kasar air mata yang masih menyeruak meminta keluar. Ia dongakan kepalanya berharap air mata yang menurutnya dengan kurang ajar keluar akan berhenti.
Tanpa pikir panjang dan tak ingin sampai tekadnya goyah lagi, ia melangkahkan kakinya tanpa menoleh kembali. Ia pergi.
Menjauh dari dunianya ini. Pergi dan entah kapan akan kembali. Pergi dengan menyisakan luka baik itu untuk dirinya maupun ibunya.
(22-04-2020)