Bintang tengah menyendiri di gazebo kamarnya dengan pikiran semrawut. Ia apit sebatang rokok di tangan kanannya dan sekaleng bir di tangan kirinya. Meski baginya ketika keadaan seperti sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mabuk-mabukan, hanya saja seperinya malam ini ia bertekad untuk tetap pada kewarasannya. Meski Bintang memang tipikal orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol sehingga beberapa teguk alkohol saja tidak akan mudah membuatnya mabuk.
Beberapa jam yang lalu, kedua sahabatnya yakni Dion dan Vion mengajaknya untuk happy-happy di bar yang biasa mereka kunjungi. Mereka tahu jika Bintang sedang kacauan, ah sepertinya kata kacau memang tak pernah lepas dari hidup Bintang, ya cara satu-satunya untuk memperbaiki moodnya supaya setidaknya sedikit lebih baik yaitu dengan dugem hingga teler.
Namun, kali ini tanpa berpikir dua kali ia menolak ajakan kedua sahabatnya tersebut dan ia merasa butuh sendiri tanpa bisingnya musik dj serta hingar bingarnya dunia malam. Dan yang terpenting ia bisa terbebas dari racauan "dua marmut" alias Dion dan Vion sebutan itu sengaja Bintang berikan untuk mereka yang memang mulutnya tak pernah bisa diam. Apalagi ketika mabuk, yang akan berisiknya berkali-kali lipat.
Setelah minum beberapa teguk bir dari kalengnya, ia bertanya. "Mom, katakan apakah keputusanku tepat kali ini?" Meski ia tahu pertanyaan tersebut sia-sia, karena bagaimanapun pertanyaan tersebut tak akan pernah dijawab oleh sang ibu.
"Mom, aku pikir Ayah orang yang baik," ia melanjutkan. Ia simpan kaleng bir yang masih tersisa banyak tersebut. Kemudian ia pandangi kaleng yang ia simpan di dekat kakinya yang tengah duduk bersila.
"Mom, si fu*king Senja dulu nonjok aku karena minum bir itu," tunjuknya pada kaleng bir. "Katanya di agama kita nggak boleh minum minuman keras," ia mengernyitkan dahinya hingga setelahnya ia tengadahkan kepalanya ke langit dan menghembuskan asap rokok yang tengah dihisapnya. "Siberengs*k itu memang selalu bicara omong kosong," ia tertawa sumbang.
"Mereka juga rempong banget nanya-nanya apa aku udah salat apa belum setiap aku ke rumah mereka, lagian ngapain kita harus nunduk-nunduk kaya gitu di lantai sih. Mereka sekeluarga aneh mom," rokok yang tengah ia hisap tinggal menyisakan sedikit. Kemudian ia mematikannya dan mengambil yang baru untuk dibakar. Ia kembali mengernyitkan dahinya yang entah sudah keberapa kali ia lakukan kali ini "mom, apa mom juga dulu suka salat seperti mereka?" Pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari bibirnya, yang mana setelah pertanyaan tersebut meluncur, kernyitan di dahinya semakin dalam.
"Aku juga pernah melihat si bin*l Maya salat. Cihhh Bulsh*t, dia pelacurnya Dion, jadi buat apa dia salat!" ia sunggingkan sedikit ujung bibir kanannya, hingga setelahnya ia menghela nafas dalam.
"Tiga bulan yang lalu aku juga ketemu Hasna, dia pake kerudung sekarang mom, pakaiannya juga gede-gede banget, hahahaha aneh banget tu anak," setelah tawa sumbangnya, hening kembali menyelimuti beberapa saat. Kulitnya yang putih agak memucat karena udara malam yang semakin dingin dan sepertinya rokok yang tengah dihisapnya tak memberikan efek hangat sedikitpun di badanya. "di-a, dia menolak aku pegang mom, katanya kita bukan muhrim. Persetan dengan muhram muhrim. Harusnya dia tahu seberapa besar aku merindukannya dan ingin merengkuhnya."
Semakin malam, udara menjadi semakin dingin. Asap rokok masih setia berhembus dari mulutnya. Dinginnya malam tak dapat terelakkan lagi. Ia mengambil kembali keleng bir yang sejak tadi dianggurkannya. Kemudian ia meneguknya berharap mendapatkan kehangatan dari minuman keras yang mengaliri tenggorokannya itu. Ia gunakan tudung hoodynya berharap dapat menghalau dingin yang masuk melalu kedua telinganya.
"Anehnya lagi mom, bahkan dia juga ngajakin aku salat. Katanya kalau orang Islam wajib melaksanakan salat," ia terkekeh lagi. "Padahal dia tahu kalau aku nggak pernah salat," kemudian ia terkekeh kembali. Jika ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti malam ini, mungkin saja mereka sudah mencapnya sebagai orang gila.
"Mom, aku dan mom memeluk agama Islam kan? tapi aku nggak pernah salat. Jadi gimana mom? Jika mom masih ada apa mom akan mengajariku salat? Aku serius nggak pernah salat loh..." sebentar ia merenung entah berpikir apa lagi, "ah... aku lupa. Aku pernah salat mom waktu praktik pelajaran agama di sekolah." "Yah tapi sudah lupa lagi bacaannya," ucapnya memberenggut.
Semakin jauh ia berbicara, maka semakin banyak yang ia pikirkan, semakin dalam pula keingintahuannya.
"Mom kenapa Islam mewajibkan salat? Kenapa juga kita dilarang minum minuman kaya gini?" Ia mengacungkan kaleng bir yang kali ini masih dipegangnya entah pada siapa. "Padahal kan minum minuman kaya gini menambah kenikmatan hidup ya..."
"Terus juga kenapa perempuan harus memakai kerudung seperti Hasna dan mom? Bukankah itu namanya menyembunyikan keindahan? Mom dan Hasna kan indah," sekejap ia membayangkan rupa Hasan yang dengan bebas berlalu lalang di pikirannya dan ibunya yang selalu ia lihat di album foto milik omanya juga di ruang tamu dan keluarga yang dengan jelas terpampang bingkai besar foto keluarga omanya dulu termasuk Victoria yang ketika itu belum menikah dengan Mahesa, namun sudah masuk Islam dan menggunakan hijab. "Kalian adalah wujud dari keindahan yang sesungguhnya!"
"Hasna, Hasna, kenapa kamu pergi?" Bintang semakin tidak jelas. Ia meracau hingga menjadi emosional karena mengingat dua perempuan yang ia sayangi meninggalkannya. "Dan kenapa mom juga pergi, bahkan lebih jahat daripada yang dilakukan Hasna yang hanya pergi ke Bandung."
"Mom pergi bahkan sebelum aku bisa dengan jelas melihat dan mengingat. Belum bisa bicara dan mengerti apapun tentang kehidupan. Belum tahu apapun. Padahal aku ingin aku bisa mengerti tentang ini dan itu karena mom mengajarkan. Ingin tertawa bersama, ingin menangis di mana mom nanti yang memberi ketenangan. Ingin ketika aku berbuat nakal mom memperingatkan dan memberi nasihat. Tak apa jika mom ingin membentak karena aku akan begitu bahagia dengan bentakan mom. Ingin mom khawatir ketika aku membawa kabur Hasna selama seminggu ke puncak."
Meski tak ingin, tak ingin emosional yang berujung air mata menguasainya, tapi ia tak berdaya. Air mata dengan jahat meruak begitu saja. Ia selalu menekankan jika laki-laki sejati itu tidak boleh menangis apapun situasinya. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali butiran kristal yang sama seperti malam ini mengalir dari kedua mata indahnya. Mata yang diwariskan seutuhnya dari Vicotria.
"Aku merindukan kalian."
Hingga pada akhirnya Bintang Altair, bintang yang termasuk ke dalam bintang paling terang itupun kini tunduk pada kenyataan hidupnya. Kalah dari kesempatanya yang selalu penuh harapan.
Menangis terurai dengan kesendirian, berbaur dengan keheningan. Berpelukan dinginnya malam. Yang berbicara pada bayangannya sendiri.
Tbc....