Chereads / Bintang Senja / Chapter 5 - Tentang Senja

Chapter 5 - Tentang Senja

Setelah menempuh jarak yang cukup melelahkan, akhirnya Senja sampai juga di rumahnya. Bagaimana tidak melelahkan, jarak antara kampus dan rumahnya kurang lebih sekitar 30 menit itupun jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan dengan catatan tidak terjebak macet."Assalamualaikum," Senja mengucap salam sambil membuka pintu rumahnya. Kemudian ia masuk dan mengendarkan pandangannya mencari-cari sosok yang etah perlu atau tidak, butuh atau tidak, memang selalu satu sosok itulah yang selalu dicari dan ditanyakan. Yap dialah seorang ibu.

Sementara itu, di ruang tengah seorang laki-laki paruh baya tengah asik menonton acara berita sore sembari menikmati secangkir kopi hangatnya.

"Yah, Bunda mana?" Tanya Senja pada laki-laki paruh baya tersebut.

"Emangnya kenapa nyari Bunda?" Tanpa menoleh sang ayah menjawab.

"Ya nggak pa pa sih," ucapnya sambil salim kepada ayahnya.

"Yah salam Senja tadi belum dijawab," Senja mengingatkan.

"Lah emang adek ucap salam ya?" Timpal lelaki paruh baya lagi, sementara matanya masih tetap fokus melihat berita sore yang menurutnya lebih menarik daripada keberadaan sianak.

"Alasan! Tadi kan Se-" belum selesai Senja menjawab sudah terlebih dulu ayahnya memotong perkataanya "diam dulu dek ini berita penting. Ayah nggak mau ketinggalan."

Sedangkan Senja hanya bisa mencebik. "Yah Bunda mana?" Daripada ia yang dihiraukan oleh ayahnya, lebih baik ia mencari bundanya saja, yang sudah jelas tak akan pernah mengabaikannya.

"Mau ngapain? Kan kamu udah nggak mimi lagi."

Senja menghela nafas atas jawaban aneh dari ayahnya tersebut. "Emang kalau nanyain Bunda harus mau mimi terus apa..." jawab Senja yang mulai kesal. "Lagian ya yah, ayah belum jawab salam Senja. Ayah kalau ada yang mengucap salam itu harus dijawab, wajib hukumnya!"

"Iya iya waalaikum salam warahmatullah hiwabarakatu pak ustaz Aldian Rizkullah Senja." Jawabnya dengan senyum mengejek pada Senja.

Karena ayahnya yang tak kunjung menjawab Senja memlilih beranjak mencari sendiri keberadaan bundanya. Karena pasti sampai berjam-jampun ayahnya tak akan menjawab prihal di mana bundanya.

"Bun, Bunda di mana?" teriak Senja. "Bun, Senja udah pulang nih..." teriaknya lagi.

"BUNDA DI DAPUR NAK," kali ini teriakannya membuahkan hasil, bahkan lebih membahana dari teriakannya tadi. Tanpa ba-bi-bu ia langsung menuju ke asal suara.

"Assalamualaikum Bun, Senja udah pulang nih." Ia memberikan senyum terbaiknya sambil menyalami bundanya.

"Waalaikum salam bujangku yang tampan dan salih," senyum yang tak kalah lebar ia suguhkan kepada anaknya.

"Bun, lagi buat apa sih?" Ia longkokan kepalanya hingga melewati bahu sang bunda guna melihat apa yang tengah dikerjakan bundanya tersebut.

"Bunda buat kue cuhcur nih." Farida menjawab di tengah aktivitasnya memasukan adonan kue cuhcur yang tinggal sedikit itu lagi ke dalam minyak panas.

"Loh bun, kok tumben buat kue cuhcur?" Tanya Senja heran. Pasalnya bundanya ini jarang sekali membuat kue cuhcur, kecuali jika ada acara atau biasanya akan kedatangan orang yang tidak pernah Senja harapkan kedatanganya ke rumah ini.

"Iya Nak, besok kan Kak Bintang mau ke sini," jawab Farida ringan. Sementara Senja yang mendengar jawaban bundanya barusan sedikit terkejut dan kembali bertanya untuk memastikan. "Kakak mau ke sini?"

Farida yang tahu pasti akan seperti apa reaksi anaknya ini. Ia kemudian melanjutkan menuangkan adonan terakhir ke dalam wajan. "Iya, Oma Marisa dua hari yang lalu ngabarin ke ayah. Katanya Kakak mau tinggal sama kita."

Setelah mendengar penuturan bundanya, raut wajah Senja berubah sedikit agak masam. Sementara itu, bundanya yang super peka langsung menoleh dan mencoba memberikan pengertian lewat senyuman kepada anaknya. "Gak pa-pa, siapa tau Kakak udah berubah. Iya kan?"

Biasanya senyum sang bunda adalah senyuman yang paling ampuh untuk mengatasi segala macam perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Namun kali ini, sepertinya senyuman tersebut tidak begitu ampuh. "Bunda nggak nggak apa-apa?" Tanya Senja mencoba untuk bernegosiasi dengan sang bunda.

"Justru bunda yang harusnya tanya seperti itu ke Senja."

"Senja nggak yakin bun." Wajahnya yang masam kini berubah menjadi tak terbaca. Ia sendiri bingung, sikap apa yang harus ia ambil nanti jika berhadapan kembali dengan kakanya.

"Pas diberitahu kabar ini, ayah seneng banget loh." Farida memberitahu.

"Kayaknya Kakak nggak cocok sama kita bun."

Farida mematikan kompornya dan memusatkan seluruh atensinya kepada Senja. Ia memperhatikan anaknya dengan wajah herannya. "Nggak cocok bagaimana?" Tanyanya dengan lembut.

"Kakak sama kita beda bun," sengaja ia menjeda ucapannya, untuk melihat bagaimana reaksi dari bundanya itu. Dan bundanya masih menampilkan raut yang sama. "Kakak orang yang bebas. Kita nggak. Banyak hal yang nggak bakalan cocok dengan kita. Termasuk..." Senja kembali terdiam. Ia ragu apakah harus ia menyebutkannya.

"Termasuk apa?"

"Keyakinannya," lanjut Senja dengan suara mencicit.

"Kita tidak bisa menolak nak. Bagaimana pun Kakak anak ayah. Yang berarti anaknya bunda juga dan Kakaknya Senja."

"Senja nggak yakin bisa seirama."

Farida mengambil kedua tangan anaknya tersebut dan menggenggamnya dengan lembut "Nak, kita tidak harus seirama hanya untuk tinggal bersama." Ia memejamkan matanya sebentar dan kembali memberikan senyum menenangkan andalannya. "Lagi pula aktu itu Kakak hanya anak remaja yang tengah mencari jati dirinya," lanjutnya.

"Terus bagaimana dengan yang Kakak lakukan tahun lalu?" Senja mengingatkan kekacauan yang dilakukan Bintang tahun lalu.

"Itu karena Kakak lagi kacau. Kita maklumi ya," bujuk Farida supaya anak semata wayangnya ini bisa menerima kehadiran kakaknya besok.

"Senja masih nggak yakin bun," ia menjawab masih dengan ketidakyakinan yang sama dalam dirinya. Bagaimanapun bundanya meyakinkan kepada dirinya kalau kakaknya melakukan hal tersebut pasti karena ada alasan tertentu, tapi tetap saja ia tidak bisa menerimanya begitu saja.

"Yaudah, sekarang Senja mandi dulu, badannya asem banget nihh." Ia mengendus badan Senja "Sekalian siap-siap ke masjid. Tuh sebentar lagi azan." Tunjuknya pada jam yang telah menunjukan pukul 6 tepat.

Dengan enggan, Senja pun bergegas ke kamarnya. sebelum ke kamarnya, ia sempatkan untuk tersenyum kepada bundanya. Meski senyum tersebut terlihat sekali sangat dipaksakan.