Chereads / Bintang Senja / Chapter 3 - Kalapnya Bintang

Chapter 3 - Kalapnya Bintang

"APA LO BILANG?", laki-laki yang sedang memegang rokok itu berteriak.

"HASNA PERGI? KATAKAN SEKALI LAGI DAN HABIS LO MAY," tekan Bintang dengan sorot mata menajam dan murka.

"Bintang, de-dengerin gue dulu. Gue gak tau apa-apa suer." Maya berusaha menjelaskan setenang mungkin walau seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. "Se-semalam Hasna ke rumah gue. Dan paginya dia bilang bakal ke Bandung tinggal sama bokapnya. Gue udah berusaha ngelarang tapi percuma, dia sudah bulat dengan tekadnya."

"Lo harusnya lebih gigih lagi t*lol," tangannya menunjuk-nunjuk Maya yang masih ciut ketakutan. Kemudian ia membuang rokoknya yang masih setengahnya dan menginjaknya sembarangan.

"Hasna, Hasna apa sih yang lo pikirin," ia mengacak rambut dengan potongan undercut dan diwarnai ash blonde itu prustasi. "Kenapa lo sulit dihubungi sih?" Racaunya lagi.

"Mana nomor Hasna yang baru?" Todongnya pada Maya.

"Hasna gak punya nomor baru,"

"Jangan bohong lo!" tuduhnya nyalang, ia kemudian mengambil botol minuman berenergi yang ia minum bersama teman-nya tadi dan melemparkannya dengan keras ke dinding basecamp-nya.

Maya semakin ketakutan dan hampir saja ia menangis.

"Woy tenang bro," Dion berusaha menenangkan sambil berjalan mendekati Bintang dan menepuk pelan pundaknya. Ia tidak mau isi ruangan ini porak poranda gara-gara macan mengamuk.

"Gue temenin lo nyusul Hasna ke Bandung."

"Gue juga," kata satu temannya lagi Vion yang sedang duduk di sopa yang ada di ruangan tersebut.

"Sekarang lo tenangin diri lo dulu," Dion kemudian melirik Vion supaya mengamankan minuman beralkohol yang baru kemarin mereka beli dengan harga yang lumayan dan belum sempat mereka cicipi sebelum semuanya raib dihancurkan si pemarah Bintang.

"LO BILANG TENANG? HASNA PERGI GOB*OK PERGI," raungnya lagi sambil menarik kerah baju Dion.

"Bung, Hasna cuma pindah bukan ninggalin lo!" Dion mulai tersulut. "Dan lo bisa nyusul dia," tangannya melepaskan paksa cengkraman Bintang. "Lagian dari sini ke Bandung gak sampe 12 jam a*jing."

"Udah-udah" Vion mengambil ancang-ancang. Di antara mereka bertiga memang Vionlah yang memiliki pembawaan lebih tenang dan tidak gampang tersulut emosi. Ia sengaja berdiri di tengah tengah antara Bintang dan Dion takut mereka benar-benar adu jotos.

"May lo tau kan alamat bokapnya Hasna?" Matanya melirik pada Maya.

Sementara Maya yang masih berdiri ketakutan hanya menggelengkan kepalanya.

"A*jing lo ya," Bintang mulai bereaksi lagi dan menunjuk-nunjuk Maya lagi.

"Ok, oke tenang Tang, gue bakalan cari tahu alamat bokapnya Hasna, dan secepatnya kita susul dia. Gue janji." Vion berusaha meyakinkan Bintang dengan kesungguhan lewat sorot matanya.

Setelah melihat kesungguhan dari Vion barulah Bintang mulai melunak. Dan ia nyelonong pergi begitu saja.

***

Bintang Altair Mahesa lelaki dengan wajah oriental khas peranakan. Lelaki berjiwa bebas dan serampangan yang begitu menggilai Hasna.

Lelaki urakan yang selalu menyelesaikan masalah dengan otot. Lelaki yang meski selalu dibilang berandalan oleh semua guru, namun banyak digandrungi para kaum hawa.

Maklum, wajahnya yang rupawan dan kulitnya yang cerah bak oppa-oppa Korea adalah satu hal yang menjadi nilai plusnya dan ia pun bangga karena telah dianugrahi ketampanan tersebut. Karena setiap kali ia bertingkah, para perempuan di sekelilingnya selalu berkata "Meski nakal, karena wajahmu tampan dan kaya maka tingkah lakumu bisa dimaklumi" dan pada dasarnya begitulah realitanya sebuah kehidupan.

Sekarang, sitampan yang dielu-elukan banyak kaum hawa itu kini tengah berjalan di gelapnya malam, tangan kiri ia masukan ke saku celana jeans dan yang kanan memegang sebatang rokok.

Ia terus berjalan dan sekali-kali menendang krikil di hadapannya. "Lo gak tau gue sangat peduli sama lo," racaunya. "Tapi, lo tega ninggalin gue gini Hasna," helaan nafas kasar ia keluarkan. Sesekali ia juga menyesap rokoknya hingga kemudian menghembuskan asap nikotin dari mulutnya dengan kasar. Hingga ketika sipuntung telah mengecil karena terbakar, dengan cepat ia menggantinya dengan yang baru. Sampai tak terasa sebungkus rokok yang ia miliki raib dibakarnya. Sadar karena rokoknya habis, ia kembali mengumpat. Segala macam umpatan ia keluarkan. Semua nama binatang ia sebutkan. Tangannya mengepal, amarahnya semakin besar. Sementara malam semakin larut, jalanan semakin sepi, hanya ada dirinya sendiri yang terus mengumpat dan melampiaskan kemarahannya pada apa yang ada di sekitarnya.

Terengah-engah ia bernafas. Fasilitas umum yang ada di sekitarnya telah rusak. Porak poranda tak berbentuk. Pandangannya menghunus tajam entah pada siapa. Masih terengah-engah ia bergumam, "Tunggu gue Hasna, gue pastiin akan seret lo ke deket gue dan ngikat lo sampe lo nggak bisa ke mana-mana."

....