Panas begitu menyengat, teriknya siang membuat semua orang berjalan cepat ingin segera menghindarinya dan mencari keteduhan dari pohon-pohon di pinggir jalan kampus.
Begitu pun dengan gadis berkerudung dusty pink yang kini tengah berlindung dari terik matahari yang menyengat. Ia berpikir bagaimana caranya agar bisa secepat kilat memasuki pekarangan masjid di kampus yang jaraknya masih sekitar 100 meteran lagi.
"Astagfirullah, capek banget," keluhnya sembari mengusap setitik peluh di dahi putihnya. Wajahnya pun agak memerah karena terlalu lama terpapar sinar matahari.
Ia merilirk jam di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul 11.00 dan masih sekitar 1 jam lagi menuju waktu zuhur.
Setelah beberapa menit melepas lelah, ia kembali melangkahkan kaki mungilnya menuju rumah Allah yang walau di siang yang terik selalu memberikan hawa kesejukan.
Sesampainya di teras depan masjid, ia langsung melepas sepatu pantopelnya dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelahnya, ia mencari-cari tempat kosong yang sekiranya nyaman untuk ia gunakan.
Ia kemudian mengeluarkan mushaf kecil dari tasnya yang selalu ia bawa ke mana-mana. Ia buka mushaf tersebut dan dengan suara lirih ia mulai membaca bait demi bait ayat suci Al-quran. Ketika ia mulai membaca surah Luqman ayat ke 13 suaranya semakin melirih serak hingga kemudian tetesan bening keluar begitu saja dari pelupuk matanya.
Tersedu-sedu ia menuntaskan bacaannya hingga ayat 17. Hingga akhirnya ia mengakhiri bacaannya dan menutup mushafnya kembali. Ia dekap mushaf tersebut dan kembali larut dalam deraian air mata.
Beruntung keadaan masjid sedang sunyi dan mungkin hanya ada dirinya di shaf perempuan. Dengan lesu ia beranjak untuk membasuh wajahnya yang sembap, malu takut ketahuan orang lain karena menangis, sepanjang jalan menuju ke kamar mandi, ia terus menundukan pandangannya.
Bruk, ia menubruk seseorang. "Aduh, maaf, maaf saya nggak sengaja," dengan menegadahkan wajahnya yang sembap ia meminta maaf. Hingga sepersekian detik kemudian ia membulatkan matanya terkejut.
"Ii-iya nggak apa-apa," balas orang yang ditabrak tadi dengan canggung. Bukan apa-apa, hanya saja yang menabraknya adalah seorang perempuan ditambah dengan wajah sembab sehabis menangis.
Karena terlanjur malu, setelah mengucapkan kata maaf, Hasna langsung nyelonong pergi dengan langkah secepat kilat yang ia bisa sembari membawa malu yang sudah tak terbendung lagi. Sesampainya di kamar mandi, ia menghela nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan cepat. Mau taruh di mana mukanya nanti kalau bertemu lagi dengan laki-laki tadi, pikirnya. Kenapa pula ia tak memperhatikan jalan sehingga ia menabrak orang.
Sedangkan sosok laki-laki yang ditabrak Hasna yang tak lain adalah si ketua LDK alias Senja hanya bisa memandang kepergian gadis yang menabraknya tadi dengan tatapan terheran. Sadar ia telah berdiri agak lama di tengah-tengah jalan menuju kamar mandi masjid, ia dengan cepat berjalan dan berputar arah kembali ke kamar mandi khusus laki-laki untuk kembali berwudhu karena pada saat perempuan tadi menabraknya, tak senggaja tangannya bersentuhan dengan tangan si perempuan.
Yah ngomong-ngomong perempuan tadi, ia merasa tidak asing dengan wajah perempuan tersebut. Di tengah kakinya yang terus melangkah, ia mengingat-ingat di mana kiranya ia pernah bertemu dengan perempua itu. Hingga sampai di pintu masuk masjid, ia teringat. Perempuan yang tadi menabraknya adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang HP-nya ketinggalan di gazebo masjid. Dan kalau tidak salah ia juga anggota dari Ldk yang tengah dipimpinnya.
***
"Assalamualaikum warahmatullah" Senja mengucap salam dan memalingkah wajahnya ke sebelah kiri. Untuk siang ini Senja menjadi imam salat zuhur. Memang, setiap kali ia ke masjid kampus, jika imam salat tidak ada atau ada sekalipun ialah yang kerap ditunjuk menjadi imam salat untuk menggantikan sang imam. Tugas tersebut diberikan kepadanya bukan tanpa alasan. Ia kerap ditunjuk sebagi imam karena tak hanya bacaannya yang fasih dan tartil, juga karena suaranya yang indah ketika melantunkan ayat suci Al-quran.
Hal tersebut berawal ketika ia ikut mabit di masjid kampus. Kala itu ia tengah bertadarus secara pribadi, dan qadarullah orang yang duduk di pinggirnya adalah sang imam sekaligus ketua pengurus masjid (DKM). Meski ia bertadarus tidak dengan suara keras, tetap saja orang yang duduk dekat dengannya bisa mendengar suaranya. Hingga akhirnya ia ditawari untuk menggantikannya sebagai imam salat. Hingga sampai saat ini jika ia salat di masjid kampus, ia sering dimintai menggantikan DKM untuk menjadi imam.
Sementara itu, di barisan shaf akhwat, Hasna entah mengapa merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Ia merasa ada getaran yang entah membuatnya tak karuan ketika mendengar suara orang yang tengah melantunkan doa selepas salat jamaah. Yang setau dia imam salat jamaahnya adalah Senja. Dan entah untuk yang keberapa kalinya di hari ini ia menghembuskan nafas. Sembari mengucap istighfar ia mengatur pernafasanya supaya getaran yang ia rasakan bisa hilang perlahan.
***
Matahari semakin merunduk siap untuk kembali dari peraduan. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore lebih 10 menit dan Hasna baru selesai kelasnya. Ia bersama Nayla tengah berjalan ke halte depan kampus untuk menunggu angkutan umum dengan jurusan yang biasa mereka tumpangi. Sesampainya di halte, mereka tepatnya Hassna dipertemukan kembali dengan Senja yang tengah asik berbincang dengan dua laki-laki yang sepertinya temannya.
Senja yang pertama kali menyadari kedatang Hasna dan Nayla memberikan senyum kecil sebagai sapaan kepada dua gadis tersebut yang dibalas dengan pertanyaan ringan dari Nayla.
"Wah ketua sedang menunggu angkot juga ya?" yang Hasna tahu adalah basa basi ringan dari Nayla yang memang selalu ramah pada setiap orang.
"Oh,,, nggak. Ini ikut duduk sambil ngobrol aja di sini."
"Oh begitu ya... Ketua pulang ke arah mana nih?" Nayla sepertinya masih ingin melanjutkan basa basinya.
"Ke arah selatan, Cisaranten teh."
"Ngomong-ngomong ketua tau nggak sama kita?"
Senja terkekeh kecil mendengar pertanyaan Nayla, "tau atuh teh. Kemarin kan teteh yang di sebelah HP nya ketinghalan." Senja melihat Hasna sebentar dan kembali pada Nayla "anggota Nurul Ilmi juga kan!"
"Terus nama kita siapa?" Nayla kembali bertanya masih dengan keramahannya. Sementara Hasna ia hanya bisa diam dan menyimak, meski dalam hati ingin juga ikut hanyut dalam percakapan.
"Duhhh afwan," jawab Senja dengn malu karena tidak tahu nama anggotanya sendiri.
"Saya Nayla dan ini Hasna" Nayla menepuk kecil pundak Hasna.
"Salam kenal ya teh Nayla, teh Hasan. Udah tau belum nama saya?"
"Masa nama ketua sendiri nggak tau," seloroh Nayla. Hingga kemudian tak ada percakapan lagi di antara mereka. Sedangkan Senja kembali ngobrol dengan kedua temannya.
Lima menit kemudian, Senja dan kedua temannya beranjak. Ia pamit kepada Hasna dan Nayla yang masih menunggu angkot yang tak kunjung lewat. Kemudian ia menuju motor matic yang sedari tadi terparkir di depan halte dan mulai mengendarinya. Sementara Hasna dengan pandangannya terus memperhatikan ke mana motor itu melaju dengan pemiliknya hingga tak terlihat lagi oleh pandangannya yang sulit diartikan.
"Na, angkotnya udah datang. Yuk!" Panggil Nayla membuyarkan pemikiran Hasna.
"Ah iya, yuk naik."
Sore itu, dengan senja yang menunjukan semburatnya di langit mengukir rasa yang hanya Sang Pemilik langit dan bumi serta si pemilik rasa yang tahu apa yang tengah mengganggu pikiran dan rasa salah satu makhluknya.