Puan Imah, Cil dan Tan mengantar kepergian si ibu pemetik teh bersama anaknya hingga ke gerbang kastil.
"Terimakasih banyak atas makanan dan kebaikannya Puan." Si ibu pemetik teh menundukkan kepala. Di tangannya ada sebuah kota besar berisi makanan dan dibungkus kain. Si ibu pemetik teh dan ke dua anaknya akhirnya pergi.
Puan Imah, Cil dan Tan pun kembali masuk ke kastil. Setibanya di kastil ke tiga orang itu langsung masuk ke dalam ruang makan. Di ruang makan, Nahkoda Hamid terlihat mencegah Datuk Laksamana dan Datuk Majid langsung mencicipi ramuan obat.
"Bagaimana pun kita harus hati-hati Datuk!"
Tan yang baru duduk bersama Puan Imah berkata. "Hati-hati kenapa tuan Hamid?"
"Ramuan obat ta...di..." Nahkoda Hamid terdiam ketika melihat Cil meminum begitu saja air rebusan obat yang dipikir teh. "Tuanku! Kenapa di minum?!"
"Cil haus..." jawaban polos anak kecil itu.
Para orang dewasa di ruangan itu terdiam mendengar jawab Cil. Saling pandang dalam ketegangan saat Cil mulai makan dengan santainya. Tidak terjadi apa pun.
"Sepertinya saya hanya terlalu khawatir." Nahkoda Hamid menghela nafas lega.
"Uhuk, uhuk..." Cil terbatuk beberapa kali. Ketegangan kembali melingkupi ruang makan.
Datuk Laksamana langsung berlari menghampiri Cil. Memegang ke dua pundak anak itu yang wajahnya terlihat memerah dan matanya tampak berair. "Cil, sayang. Ada apa?! Apa ada yang sakit?!"
"Pedas Atuk..." rengek anak itu.
"Pe, pedas?!" Datuk Laksamana keheranan karena Cil terlihat hampir menangis.
Tan yang ikut berlari tadinya, jadi terduduk. Lututnya lemas dan jantung hampir copot rasanya. Sama halnya dengan yang dirasakan Datuk Majid, Puan Imah, terutama Nahkoda Hamid yang sudah khawatiran dari awal.
"Tuan Cil masih belum kuat makan pedas." Tan menjelaskan sambil bergerak cepat mengambil air minum. "Ini Tuan, minumlah."
Cil segera meminum air pemberian Tan. Kali ini para orang dewasa itu benar-benar bisa bernafas lega. Andai ada Madi, pastilah akan ribut dan sebelum terjadi seperti saat ini Madi akan memastikan kenyamanan untuk Cil.
"Kenapa Tan?" tanya Datuk Laksamana melihat ekspresi Tan yang jadi aneh.
"Saya hanya teringat Madi, Datuk. Kalau ada dia saat ini, saya pasti habis dimarahinya karena tidak memperhatikan apa yang di makan Tuan Cil."
"Oh iya... Madi..." orang-orang yang ada di ruangan itu menahan nafas, tahu persis watak Madi seperti apa.
***
Akhirnya Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid, Tan dan Cil meninggalkan kastil peristirahatan setelah menghabiskan waktu tiga hari lamanya hanya untuk bermalas-malasan.
Waktunya kembali ke wilayah kekuasaan Datuk Laksamana. Dalam waktu dua hari, dua malam berlayar dari Kota Tebing, kapal perang besar itu akan sampai di wilayah kekuasaan Datuk Laksamana.
Sebelum pergi, Datuk Majid banyak memberi oleh-oleh meski Datuk Laksamana menolak dengan halus karena terlalu banyak, namun Datuk Majid berkata sambil berlutut di hadapan Cil dan memegang pundak anak itu. "Anggap saja stok hingga dewasa dari Atuk, ya? Karena Atuk sudah tua, entah akan bisa melihat Tuanku dewasa atau tidak."
Cil yang sedang mengunyah manisan buah jadi terdiam, terutama saat Datuk Majid memeluknya. Cil mengangguk dan menjawab dalam pelukan Datuk Majid. "Iya Atuk."
***
Kapal perang Datuk Laksamana baru berlayar setengah hari saat sebuah kapal penjelajah memberi isyarat ingin meminta bantuan.
Nahkoda Hamid memerintahkan untuk menghentikan kapal, agar kapal penjelajah yang ukurannya tak sampai separuh kapal perang Datuk Laksamana itu bisa mendekat.
Begitu kapal penjelah merapat, anak buah kapal perang segera menurunkan tangga tali ke kapal penjelajah.
Seorang nahkoda tua dan seorang laki-laki awal tiga puluhan, saudagar pemilik kapal penjelajah menaiki kapal perang Datuk Laksamana.
Senyum melebar di wajah ke dua orang itu ketika Nahkoda Hamid dan Datuk Laksamana yang langsung menyambut mereka.
"Terimakasih tuan-tuan sudah mau menerima kami. Kami tidak akan berlama-lama." Si Nahkoda tua kapal penjelajah mengawali pembicaraan.
"Tidak apa-apa. Kami selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan." Sambut Nahkoda Hamid.
"Maaf tuan-tuan..." saudagar pemilik kapal penjelajah bertanya. "Adakah di antara tuan berdua yang bergelar Datuk Laksamana?"
Datuk Laksamana mengangkat tangan kiri, menyentuh dadanya. "Saya orangnya. Ada apa gerangan tuan mencari saya?"
"Kebetulan jika begitu tuan Laksamana. Saya ingin menyampaikan pesan dari seorang teman bernama Nahkoda Malin..."
"Ada apa dengan Nahkoda Malin?" potong Datuk Laksamana cemas.
"Pesan dari Nahkoda Malin?" gumam Nahkoda Hamid.
"Nahkoda Malin tidak apa-apa tuan Laksamana. Beliau hanya berpesan. 'Jika melihat sebuah kapal perang besar berbendera kerajaan Johor-Riau, tolong sampaikan jika beliau akan sedikit terlambat untuk datang.' Kapal beliau butuh sedikit perbaikan setelah diterjang badai besar di daerah timur."
"Begitu. Tapi Nahkoda Malin tidak apa-apakan?"
"Syukurlah alhamdulillah beliau baik-baik saja, tuan."
"Terimakasih banyak sudah menyampaikan pesan dari Nahkoda Malin."
"Tidak apa-apa tuan Laksamana. Kalau begitu kami izin untuk melanjutkan perjalanan kembali, tuan-tuan."
"Kenapa begitu cepat?" Nahkoda Hamid bertanya.
"Maaf tuan, saya harus buru-buru karena dalam bulan ini istri saya akan melahirkan. Jadi saya ingin berada di sisinya sebelum istri saya melahirkan."
"Oh... semoga Allah melancarkan persalinannya nanti." Nahkoda Hamid mendoakan.
"Amin... terimakasih atas doanya. Kami permisi tuan-tuan."
"Baiklah. Hati-hati di jalan."
"Semoga selamat sampai tujuan."
Setelah ke dua orang dari kapal penjelajah itu turun dari kapal perang, Cil datang sambil berlari dengan diikuti Tan. "Siapa orang-orang tadi atuk?" tanya Cil langsung memeluk kaki Datuk Laksamana dengan manjanya.
"Mereka membawa pesan dari Nahkoda Malin."
"Nahkoda Malin?"
"Ya. Orang yang kelak akan menjadi guru baru untuk Cil."
"Guru baru Cil?" gumam Cil sambil membayangkan pelajaran baru yang akan dipelajarinya.
"Apa ada masalah yang terjadi dengan Nahkoda Malin, tuan?" tanya Tan yang baru sampai dan duduk di tangga penghubung haluan dan anjungan bersama Nahkoda Hamid.
"Kapal Nahkoda Malin mengalami sedikit kerusakan akibat badai. Jadi akan datang terlambat ke tempat kita." Jawab Nahkoda Hamid.
***
Kereta kuda yang membawa rombongan kecil berisi Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid, Tan dan Cil berhenti tepat di depan pintu masuk kastil. Ketika turun dari atas kereta, Datuk Laksamana terdiam saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu masuk utama kastil.
Datuk Laksamana tersenyum lebar, melihat putri kecilnya yang meninggalkan rumahnya hampir delapan tahun lamanya setelah menikah dengan almarhum Sultan.
Puan Pong berlari menghampiri ayahandanya, Datuk Laksamana yang segera menggendong Cil. Seperti kebiasaannya dulu, Puan Pong menghambur memeluk Datuk Laksamana dan Cil anaknya.
"Ayah tahu sifat manja siapa yang diikuti Cil." Kata Datuk Laksamana sambil menepuk-nepuk punggung anaknya itu.
Puan Pong tersenyum malu-malu, melepas pelukannya dari Datuk Laksamana.
"Mereka bisa sangat manja karena Datuk Laksamana yang memanjakannya." Terdengar suara Tuan Muar oleh Datuk Laksamana yang masih menggendong Cil.
Puan Pong menghindar ke samping, sehingga terlihatlah oleh Datuk Laksamana sosok Tuan Muar yang berdiri tidak jauh dari hadapannya.
"Oh... Datuk Tumenggung."
"Ya, ini saya, Datuk Laksamana."
"Jangan terlalu serius. Nanti Datuk Tumenggung cepat tua."
"Saya dan Datuk memang sudah tua."
Datuk Laksamana tertawa canggung. Benar-benar tidak bisa diajak bercanda.
Cil yang masih dalam gendongan Datuk Laksamana segera melorot turun lalu segera memeluk ibunya karena merasakan aura yang aneh.
Tan dan Puan Pong menahan tawa melihat Datuk Laksamana dan Tuan Muar. Dua orang petinggi kerajaan itu selalu mengeluarkan aura tenaga dalam berlebihan seolah akan berperang karena perbedaan sifat mereka sangat mencolok.
Datuk Laksamana, seorang Panglima Besar Angkatan Laut bersifat santai. Sebenarnya kekanakan meski telah bercucu. Sementara Tuan Muar, seorang Tumenggung yang tegas dan berdisiplin tinggi, juga seorang guru.
"Pasti selama hampir dua minggu ini Cil sama sekali tidak ada belajar."
Datuk Laksamana tertawa masih dengan canggung, membuat wajahnya terlihat aneh. "Kami sedang jalan-jalan..."
"Itu bukan alasan!"
"Ehem!!!" Nahkoda Hamid menyela. "Sebenarnya Tuanku ada belajar, Datuk Tumenggung. Belajar ilmu pelayaran, belajar peduli kepada orang lain dan belajar meramu obat-obatan."
"Cil diajarkan meramu obat? Apa kalian mau membuatnya jadi seperti almarhum Sultan?!" aura tenaga dalam Tuan Muar kembali meluap. Membuat udara disekitarnya terasa berat.
"Harusnya saya yang berkata seperti itu Datuk Tumenggung." Datuk Laksamana tidak terima dianggap mengajarkan pengetahuan itu. Membuat aura tenaga dalamnya memancar kuat dari sebelumnya.
"Tidak bisakah Datuk berdua tenang? Kalian membuat Cil jadi takut! Kita bisa bertanya pada Madi tentang itu semua." Tan mencoba meredakan ketegangan antara dua petinggi kerajaan itu.
Datuk Laksamana dan Tuan Muar segera teringat Cil. Anak itu ketakutan memeluk Puan Pong.