Sebuah kapal penjelajah dengan bendera Kerajaan Pagaruyung terlihat dari teleskop oleh Nahkoda Hamid. Senyumnya melebar mengetahui milik siapa kapal penjelajah yang mendekat.
Datuk Laksamana memasuki anjungan dengan langkah panjang. "Siapa yang berani mendekat dalam situasi seperti sekarang?!"
"Lihatlah." Nahkoda Hamid memberikan teleskop pada Datuk Laksamana diiringi senyuman. Membuat Datuk Laksamana bertanya-tanya.
"Bendera itu?" gumam Datuk Laksamana begitu mengenali bendera dari kapal penjelajah. Menurunkan teleskopnya dan melihat Nahkoda Hamid penuh senyum. "Nahkoda Malin!"
"Ya. Kita hanya terbawa suasana karena keadaan Tuan Cil. Siapa yang berani menyerang kapal ini yang dilengkapi meriam-meriam besar dan siap menghancurkan apa saja!"
"Syukurlah akhirnya Nahkoda Malin datang di waktu yang tepat. Cil memang harus segera di bawa ke tempat yang jauh dari jangkauan Johor-Riau. Yam Tuan Muda Abdul Jalil IV pasti sudah mendapatkan berita jika Cil mewarisi kemampuan sama seperti Sultan lainnya. Dia akan melakukan berbagai macam cara jika racun tidak bisa menaklukkan seorang anak kecil!"
"Ya, benar sekali Datuk."
***
Seorang laki-laki awal empat puluhan bertubuh sedang, menaiki tangga tali yang diturunkan anak buah kapal perang Datuk Laksamana. Wajahnya keras dan tegas. Itulah Nahkoda Malin, seorang saudagar dari Kerajaan Pagaruyung.
Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid menyambut kedatangan Nahkoda Malin dengan hangat. Layaknya saudara yang lama tak bertemu.
"Kami dapat kabar belum lama ini kapal tuan mengalami kerusakan akibat badai. Tapi cepat betul nampaknya?" tanya Nahkoda Hamid saat menjabat Nahkoda Malin.
"Iya, itu benar tuan Hamid. Kebetulan hasil kerja orang-orang timur sangat cepat! Dan mereka memiliki kayu yang kuat untuk tiang utama kapal saya."
"Wah... bagus sekali jika begitu." Sahut Datuk Laksamana. "Saya akan pesan kayu dari orang timur jika membuatkan kapal untuk Cil kelak."
"Cil? Cucu Datuk?" Nahkoda Malin terlihat sangat antusias.
"Benar. Dia ada di dalam. Sedang istirahat." Jawab Datuk Laksamana tersenyum lebar.
"Boleh saya lihat cucunya, Datuk?"
"Tentu saja. Mari."
Nahkoda Malin mengikuti Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid dengan semangat. Nahkoda Malin sebelumnya baru mendengar jika cucu Datuk Laksamana sangat mirip dengan almarhum Sultan Mahmud Syah II yang pernah ditemuinya beberapa kali setiap melawat ke Johor.
'Anak itu pasti sangat manis dan lucu.' Nahkoda Malin benar-benar tidak sabar.
Pintu kamar itu dibuka perlahan oleh Datuk Laksamana. Terlihat Tuan Muar yang masih menjaga Cil segera berpaling melihat ke arah pintu.
"Jadi kapal siapa tadi Datuk?" tanya Tuan Muar tanpa basa basi.
Datuk Laksamana masuk bersama Nahkoda Hamid lalu menyusul Nahkoda Malin yang berdiri di tengah. "Tebaklah."
Dahi Tuan Muar sedikit mengerut mendengar candaan Datuk Laksamana. "Saya tidak tahu, siapa gerangan tuan itu?"
Datuk Laksamana merangkul Nahkoda Malin yang berdiri di kanannya. "Inilah Nahkoda Malin dari Kerajaan Pagaruyung! Yang akan menjadi guru baru Cil."
"Oh..." Tuan Muar hendak berdiri untuk menjabat Nahkoda Malin, tetapi Nahkoda Malin bergerak cepat menghampiri Tuan Muar.
Tuan Muar menerima jabatan tangan Nahkoda Malin di saat ke dua orang itu saling memperkenalkan diri.
Nahkoda Malin mencondongkan dirinya ke samping, melihat anak kecil yang terlindung tubuh Tuan Muar. Duduk di atas tempat tidur dan menyandarkan punggungnya pada dinding kamar. "Apa dia, Cil?"
Tuan Muar menggeser duduknya. Membiarkan Nahkoda Malin berkenalan dengan Cil. "Benar."
"Waah... anak yang tampan!" Nahkoda Malin mendekati Cil. "Kenapa hanya diam di kamar? Ngantuk?"
Cil menggeleng sekali.
"Ada sedikit musibah yang baru saja terjadi pagi ini." Datuk Laksamana menyusul duduk bersama Nahkoda Hamid. "Cil dan teman sepermainannya tidak sengaja memakan tanaman yang mengandung racun!"
"Apa? Racun?!" Nahkoda Malin langsung memperhatikan Cil kembali.
"Teman-temannya tidak ada yang selamat! Tapi Cil beruntung mewarisi kemampuan menetralisir racun yang masuk ke tubuhnya. Sama halnya seperti para Sultan Johor-Riau keturunan Malaka!" Jelas Tuan Muar.
"Jadi kemampuan itu bukan hanya mitos yang dibesar-besarkan?!" Nahkoda Malin jelas sangat terkagum.
***
Istana Kesultanan, Kota Tinggi, Johor.
"Ampun Tuanku!"
Sultan Abdul Jalil IV memukul sandaran tangan kanan singgasana yang terbuat dari emas. Berita yang di bawa oleh orang yang berlutut di hadapannya benar-benar membuatnya murka.
'Anak itu selamat dari racun karena kemampuan keturunan murni para Sultan Johor-Riau!' Sultan Abdul Jalil IV terdiam. Memikirkan apa yang akan dilakukan terhadap anak berdarah keturunan murni.
Dari awal dirinya sudah merampas hak anak itu. Membuatnya dalam pelarian sejak dalam kandungan. Apa yang akan dilakukan para petinggi kerajaan lainnya jika mengetahui siapa anak itu sebenarnya dengan segala kelebihannya.
Datuk Laksamana sang kakek adalah seorang bangsawan besar dan sangat berpengaruh! Sementara Tuan Muar adalah Tumenggung dan paman almarhum Sultan Mahmud Syah II. Andai ke dua orang besar kerajaan itu tidak terikat sumpah, sudah lama dirinya tersingkir. Dua orang pembesar kerajaan itu hanya tinggal menunggu waktu sang pewaris mengambil keputusan.
Sultan Abdul Jalil IV menarik nafas yang dalam perlahan. Harus tenang, jangan terburu-buru. Setelah cukup tenang, orang yang masih berlutut itu pun di suruh pergi.
***
Ketika kondisi Cil sudah membaik dua hari kemudian. Pelabuhan di daerah kekuasaan Datuk Laksamana memperlihatkan kesibukan kecil.
Puan Pong yang baru saja bertemu lagi dengan anaknya beberapa hari, sekarang harus merelakan lagi anaknya pergi. Keputusan Datuk Laksamana sudah bulat dan tak bisa lagi dirubah.
Cil harus segera diungsikan ke tempat yang aman. Jauh dari jangkauan kekuasaan Johor-Riau.
Puan Pong berlutut di hadapan anaknya. Memegang ke dua pundaknya. "Cil jangan nakal ya, sama Tuan Nahkoda Malin? Turuti perkataannya seperti perkataan atuk sendiri."
"Iya ibu." Cil mengangguk.
"Dan jangan merepotkan pak cik Madi!" tambah Puan Pong.
"Cil anak yang baik, Puan jangan khawatir." ucap Madi yang berdiri di belakang Cil. Keris pemberian almarhum Sultan Mahmud Syah II tampak terselip di pinggang kiri Madi.
Datuk Laksamana menepuk pelan pundak Puan Pong. "Kamu harus kuat! Jangan sedih. Cil akan pergi ke tempat yang aman bersama Nahkoda Malin."
"Iya ayah." Puan Pong mengangguk.
Cil memeluk Puan Pong. "Cil sayang ibu!"
"Ibu juga sayang sekali sama Cil!" Puan Pong memeluk erat anaknya seolah tak mau melepaskannya.
Ketika masih dalam pelukan Puan Pong yang belum melepaskannya, Cil langsung menatap Yunus yang berdiri bersama Tuan Muar. "Jaga ibuku dan jangan mencurinya dariku!"
Para orang dewasa tertawa mendengar perkataan Cil. Mereka tahu anak itu hanya bercanda.
"Ya, tentu saja aku akan menjaga Puan! Kamu tenang saja dan belajar yang sungguh-sungguh di sana."
"Kamu juga." balas Cil.
Akhirnya kapal penjelajah milik Nahkoda Malin mulai bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan.
Puan Pong tak bisa lagi menahan tangisnya melihat anak kesayangannya kembali pergi dari pelukannya. Datuk Laksamana merangkul Puan Pong agar tetap kuat melihat kepergian anaknya yang melambaikan tangan dari atas kapal penjelajah bersama Madi, Nahkoda Malin dan... Tan.
"Apa yang kamu lakukan di atas kapal ini?" Madi melihat keberadaan seseorang di dekatnya.
"Datuk Laksamana mengutus saya untuk mengawal kapal ini selama perjalanan ke Kerajaan Pagaruyung, karena kamu belum terlalu sehat! Setelah itu barulah saya kembali ke Johor."
Madi mengehela nafas.
"Kenapa? Apa kamu tak senang saya temani?"