Pintu kamar itu terbuka lebar, Tan yang membukanya jadi membeku. Mata dan mulutnya terbuka lebar ketika melihat Madi yang duduk di dekat meja, di sudut ruangan kamar sedang makan siang disuapi oleh seorang wanita cantik! Yunus yang makan siang bersama melengkapi prasangka Tan terhadap Madi.
"Apa mereka istri dan anakmu dari Temasek, Madi?!"
Encik Dahlia yang mendengar ocehan Tan tersenyum lebar. Dengan sengaja menggandeng tangan kanan Yunus yang duduk di sisi kirinya dan Madi di sisi kanan. "Kami keluarga bahagia."
"Kami bukan keluarga bahagia." Madi menambahkan dengan senyum terbaiknya.
"Eh... mana yang benar?" Tan masuk dengan cepat dan duduk di hadapan 'keluarga bahagia' itu.
"Oh... Ada Dahlia." Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid masuk ke dalam kamar Madi.
Encik Dahlia segera memberi salam.
Sementara itu, Cil yang masuk belakangan bersama sang ibu ketika melihat Yunus langsung berlari. Ke dua anak itu melompat-lompat girang karena sudah lama tidak bertemu. Membuat orang dewasa yang melihatnya ikut merasa bahagia.
Hanya Tan seorang yang kebingungan, tidak tahu siapa Encik Dahlia. Bahkan Cil sangat akrab dengan Yunus yang ia pikir anak Madi.
"Apa kamu lupa? Dia itu Yunus dari Temasek. Sahabat Tuanku." Madi mengingatkan.
Tan berpikir cepat mendengar perkataan Madi. Setelah mengingat seorang anak kecil ketika dirinya mendatangi rumah persembunyian Tuan Muar di Temasek barulah Tan paham. "Tapi siapa dia? Istrimukan?"
"Bukan." Jawab Encik Dahlia penuh senyuman lalu melanjutkan. "Tapi saya berharap itu jadi kenyataan. Saya hanya seorang penari dan informan Datuk Tumenggung."
Tan akhirnya mengangguk mengerti.
***
Kota Tinggi.
Istana Kesultanan Johor-Riau. Sore hari.
Seorang laki-laki bertubuh sedang, memakai baju biasa berjalan memasuki lorong dalam istana dengan seorang laki-laki berseragam prajurit.
Di depan sebuah pintu besar berdaun dua yang dijaga dua pengawal bersenjatakan tombak dan perisai, dua orang sebelumnya berhenti. Setelah memberitahukan keperluan pada kepala pengawal yang berjaga di dalam ruangan, barulah dua orang tadi diizinkan masuk.
Ruangan tempat singgasana sang Sultan itu begitu luas. Beberapa tiang berukir emas tampak kokoh menyangga langit-langit ruangan. Sebuah karpet merah terbentang dari muka pintu hingga tepat di lima anak tangga singgasana yang terbuat dari emas.
Di bawah lima anak tangga singgasana, berbaris di setiap sisi karpet lima orang pengawal bersenjata lengkap.
Dua orang tadi masuk lalu berhenti sekitar lima meter sebelum tangga. Berlutut dengan tangan kanan menyentuh dada.
"Daulat Tuanku!" salam ke dua orang tadi bersamaan.
"Ada urusan apa gerangan kalian berdua menghadap saya? Jelang saya istirahat."
"Maafkan kami jika mengganggu istirahat Tuanku." laki-laki berbaju biasa membuka suara. "Tapi ini sangat penting Tuanku! Sekitar dua minggu yang lalu hamba melihat Panglima Madi memasuki pelabuhan Kota Tinggi bersama seorang anak kecil."
"Panglima Madi?!"
"Benar Tuanku! Kami sempat kehilangan jejaknya. Tapi dengan inisiatif sendiri kami pergi ke tempat Datuk Laksamana namun di sana tidak ada Panglima Madi. Di sana memang ada seorang anak kecil, tetapi bukan anak yang sama. Selain itu umurnya tidaklah cocok jika mengingat masa tragedi itu. Karena anak itu lebih besar. Sekitar sembilan tahun umurnya."
Sultan Abdul Jalil IV mengangguk mengerti. Dengan tenang lalu berkata "Kalau begitu tetap cari keberadaan Panglima Madi. Dan ingat ini, kalian harus berhati-hati terhadap Datuk Laksamana! Jangan pernah sampai membuatnya curiga! Sekarang pergilah! Cari Panglima Madi dan anak kecil itu!"
"Daulat Tuanku!" ke dua orang itu bergerak mundur masih dalam posisi berlutut hingga beberapa meter.
Di singgasananya Sultan Abdul Jalil IV menahan amarah dengan mengigit kuku ibu jari kanan dan mengepal-ngepalkan tangan kiri. 'Jadi anak itu memang terlahir dengan selamat. Andai tak ada Datuk Laksamana sudahku bumi hanguskan persembunyian anak itu sebelum terlahir ke dunia ini!'
***
Ruang kamar Madi hari itu berubah menjadi tempat untuk berdiskusi, membahas strategi apa yang akan mereka rencanakan menjelang kedatangan Nahkoda Malin.
"Kedatangan kalian bertiga dari Temasek menumpang kapal rombongan penari mungkin tidak akan dicurigai. Tapi... Saya sangat ingin membawa Cil ke makam ayahnya. Walau tidak pernah mengenal sang ayah, setidaknya Cil tahu di mana kubur ayahnya."
"Tapi tempat itu di Kota Tinggi, Datuk Laksamana." Tuan Muar mengingatkan. "Akan sangat mencurigakan jika salah satu diantara kita mendatangi makam almarhum bersama Cil."
"Ya, memang benar, Datuk Tumenggung. Tapi jika kita melakukan penyamaran, pasti akan bisa menyusup masuk ke tempat itu. Saya sudah mengirim informan ke Desa Makam bertepatan saat saya memutuskan Tan untuk menjemput Cil ke Temasek. Menurut informasi yang saya terima, di sekitar tempat itu banyak anak-anak kecil yang sering bermain di halaman kompleks pemakaman para raja. Dan Cil adalah anak yang mudah bersosialisasi..." Datuk Laksamana memperhatikan Cil diikuti setiap orang dewasa yang ada di ruang kamar.
Cil sedang asik makan manisan buah yang dihidangkan dalam mangkok perak dan memilih-milih warna apa yang akan di makan bersama Yunus.
"Kita akan memanfaatkan itu dan keberadaan anak-anak dari Desa Makam. Salah satu dari kita di ruangan ini, kecuali Madi bisa mendampingi Cil dengan menyamar."
"Yunus..." panggil Cil dengan berbisik ketika para orang dewasa sedang berdiskusi.
Yunus balas berbisik. "Ada apa?"
"Ayo kita main. Di kamar sebelah."
"Jangan. Nanti para Atuk bisa marah kita pergi diam-diam. Kamu juga harus ingat apa yang Atuk kata. Orang-orang yang pernah menyerang rumah Atuk guru bisa muncul kapan saja!"
Cil diam tertunduk sesaat sebelum membaringkan tubuhnya di lantai. Cil ingat betul perkataan Tuan Muar saat mereka masih di Temasek, jika dunia baru yang mereka masuki adalah Dunia Para Raja yang penuh persaingan dan kejam.
Awalnya Cil sama sekali tidak mengerti maksud perkataan Tuan Muar. Tapi selama perjalanan yang dilakukannya bersama Datuk Laksamana, Cil mulai memahami sedikit demi sedikit.
Yunus mendekatkan wajahnya pada Cil hingga hanya berjarak sejengkal. "Kamu mengerti? Jadi jangan merencanakan sesuatu yang aneh-aneh."
Cil diam, berguling ke kanan sambil memasukkan manisan buah warna hijau ke mulutnya.
"Hei..." Yunus menuntut jawaban. Merangkak mendekati Cil.
Cil berguling lagi dan karena Cil menghindar, Yunus pun menggelitiki Cil. Membuat para orang dewasa yang sedang serius-seriusnya, melihat keisengan itu jadi tertawa dan geleng-geleng kepala seolah tidak ada beban yang menanti. Sedikit lepas beban ketegangan mereka melihat dua bocah sedang asik bermain.
"Ya sudah, kalau begitu kita istirahat saja dulu. Terlebih Madi butuh banyak istirahat." Ajak Datuk Laksamana lalu kepada Tuan Muar berkata. "Datuk Tumenggung, seperti biasa kamar khusus untuk Datuk siap kapan saja Datuk Tumenggung berkunjung ke kastil saya."
Tuan Muar mengangguk. "Terimakasih sudah menyiapkan secara khusus."
"Itu tidak seberapa dibanding kebaikan Datuk Tumenggung yang sudah menjaga anak saya, Pong selama ini." Datuk Laksamana menundukkan kepala, sama halnya dengan yang dilakukan Tuan Muar sebagai bentuk penghormatan.
***
Desa Makam terletak di pinggiran ibu kota Kesultanan di Kota Tinggi, Johor. Sesuai namanya, Desa Makam adalah tempat bersemayamnya para Sultan yang telah wafat. Salah satunya Sultan Mahmud Syah II.
Di halaman kompleks makam, banyak anak-anak kecil penduduk sekitar asik bermain karena tempat itu luas dan bersih terawat dengan pohon-pohon rindang.
Anak-anak itu ada yang sedang asik bermain lempar gasing dan ada pula yang bermain kejar-kejaran. Hingga bersembunyi ke tiang-tiang bangunan besar yang di dalamnya adalah makam para Sultan.
Penjaga makam masih mengizinkan anak-anak itu bermain hingga ke teras bangunan itu. Tapi tidak untuk masuk ke dalamnya.
Satu dari dua orang prajurit yang biasa bertugas menjaga makam, tersenyum lebar saat melihat dua rekannya datang untuk menggantikan tugasnya.
Makam itu dijaga dua puluh empat jam secara bergantian setiap harinya. Hanya saja hari itu sedikit berbeda. Salah satu prajurit yang baru datang adalah wajah baru.
Prajurit tadi merasa heran kenapa makam saja harus dijaga empat orang bergantian. Tidakkah cukup satu orang petugas kebersihan yang baru saja diganti hampir sebulan lalu untuk menjaga kebersihan kompleks makam. Di sana hanya ada anak-anak kampung yang biasa bermain di halaman kompleks makam yang luas dan bersih.