Dua orang prajurit yang baru datang bergegas berpatroli, sebelum dua prajurit yang tadinya berjaga segera pulang.
Bangunan makam itu sangat besar dan megah untuk ukuran sebuah bangunan makam. Si prajurit baru memperhatikan setiap sudut kompleks makam.
Ada seorang petugas kebersihan sedang mencabut rumput di taman bunga, di samping bangunan utama makam.
Sementara anak-anak bermain di depan dan di halaman samping bangunan makam.
Prajurit jaga senior tertawa melihat anak-anak bermain kejar-kejaran dan sempat berlindung di balik tubuh besarnya. "Awas jatuh! Nanti merengek pula." Si prajurit senior memberikan peringatan.
"Baik pak cik." Sahut tiga orang anak yang asik lari-larian.
"Apa anak-anak itu biasa main di sini?" tanya si prajurit baru bertubuh sedang.
"Ya, awalnya kalau belum terbiasa memang berisik. Tapi kamu akan segera terbiasa. Lebih baik ramai begini dari pada sepi di tengah kuburan!" si prajurit senior tertawa.
Setelah patroli rutin, dua prajurit tadi kembali ke pos depan makam. Prajurit senior mendekati anak-anak yang akan mulai bermain lempar gasing. Menjadi juri atau hanya menonton.
Sementara itu si prajurit baru hanya terdiam. Memperhatikan dari jauh anak-anak yang sedang bermain.
Seorang anak dengan baju hijau yang bahunya terkadang melorot, sedang menggulung tali pada bagian bawah gasing. Bersiap melempar gasing.
Sementara itu lawannya, anak berbaju coklat juga sudah bersiap melempar gasing. Sesuai aba-aba dari prajurit senior tadi, dua anak itu saling melempar gasing. Di awali anak berbaju coklat melemparkan gasing ke tanah, kemudian lawannya melempar gasing tepat di atas gasing anak itu.
Gasing anak berbaju hijau setelah melempar, terpental dan jatuh tertungkup. Tidak bisa lagi bergerak. Kalah telak.
Permainan dimulai lagi. Kali ini anak yang kalah, pertama melemparkan gasing. Anak berbaju coklat melempar gasing dengan kuat setelahnya, tepat di atas gasing lawannya.
TRAKK!!! Suara gasing beradu! Gasing anak berbaju hijau yang sebelumnya kalah, terbelah dua akibat lemparan kuat dari gasing lawan yang masih tetap berputar.
Keributan terjadi. Anak berbaju hijau, yang kalah dua kali menangis dan mengamuk karena gasingnya terbelah dua. Si prajurit senior bergerak menengahi keributan. Tapi karena anak-anak itu ramai dan teman-teman anak yang kalah ikut mengeroyok, si prajurit senior jadi kewalahan.
Prajurit baru ikut membantu seniornya, menenangkan keributan anak-anak.
Di saat keributan itu, seorang petugas kebersihan yang sedang mencabut rumput di taman bunga melangkahkan kaki panjangnya dengan cepat, menarik salah seorang anak dari kerumunan.
"Pak cik..." suara anak itu menghilang karena mulutnya di tutup si petugas kebersihan.
Masih dengan langkah panjang, si petugas kebersihan menggendong anak kecil itu memasuki bangunan makam.
Si petugas kebersihan melihat sekilas ke arah sumber keributan. Memastikan dua prajurit jaga masih ada di sana.
Begitu membuka kunci pintu bangunan makam, si petugas kebersihan bergegas masuk. Menutup pintu dan tersenyum lega. "Terimakasih banyak Yunus!"
Tanpa berlama-lama, si petugas kebersihan membawa anak kecil dalam gendongannya, yang tak lain adalah Cil ke salah satu makam para Sultan.
Makam para Sultan di dalam bangunan itu dibuat besar dan bertingkat. Sesuai status mereka. Begitu pula makam Sultan Mahmud Syah II.
Besar dan tinggi hampir separo badan orang berdiri, karena alas makamnya di buat dua tingkat.
Cil turun melihat makam di hadapannya. Menaiki dua tingkat alas makam yang seperti anak tangga. Memperhatikan bagian atas makam yang ternyata di penuhi taburan bunga mawar putih. Cil mengambil setangkai bunga, memperlihatkan pada si petugas kebersihan makam.
"Almarhum Sultan Mahmud Syah II menyukai bunga mawar putih." Jelas si petugas kebersihan makam.
"Jadi ini makam ayah?" Cil berjinjit mengusap kepala nisan yang berbentuk persegi enam setinggi setengah meter. Terbuat dari batu alam berwarna putih dan terpahat tulisan arab melayu kuno. "Almarhum Sultan Mangkat Dijulang. Sultan Mahmud Syah II." Cil membaca pahatan tulisan itu.
"Benar, Tuanku." Jawab si petugas kebersihan yang sudah bersiap membacakan doa-doa untuk sang almarhum. Duduk di lantai bangunan makam yang dingin.
Melihat petugas kebersihan itu sudah mulai membaca doa-doa, Cil duduk di sampingnya lalu ikut membacakan doa-doa yang sama.
Sementara itu suara di luar bangunan makam sudah mulai tenang. Sepertinya keributan berhasil di tenangkan.
Beberapa saat kemudian petugas kebersihan makam melihat dari sela lubang pintu keadaan di luar. Prajurit tadi sudah kembali bertugas, terutama si prajurit baru.
Bagi si petugas kebersihan, mudah saja untuknya memberikan alasan ke luar masuknya ke dalam bangunan makam. Tapi dengan Cil bersamanya, itu membutuhkan sebuah alasan lebih alami. Caranya hanya satu, menunggu anak-anak itu mendekati teras makam.
Kesempatan itu akhirnya datang setelah menunggu hampir setengah jam lamanya. Petugas kebersihan itu bergerak cepat keluar dari dalam makam sambil menenteng sebuah ember di tangan kiri dan Cil merapat di belakang tubuhnya. "Hei... Kalian tidak boleh masuk!" katanya sambil bergerak cepat ke belakang Cil. Sehingga anak itu kini berada di hadapannya bersama anak-anak yang kebetulan bermain di teras pintu masuk makam.
"Kamu sedang apa dari dalam makam?" si prajurit baru menghampiri si petugas kebersihan.
"Oh, saya menaburkan bunga lalu bersih-bersih sedikit tadinya di dalam." Jawaban si petugas kebersihan.
Si prajurit baru tidak percaya sedikitpun. Memperhatikan wajah anak-anak yang bermain di teras lalu melihat ke dalam makam.
Beberapa anak yang masih di dekat pintu masuk makam, ikut mengintip ke dalam dari sela pintu yang terbuka.
"Eh... sana-sana!" usir si prajurit baru pada anak-anak yang membuatnya kesal karena selalu ribut.
"Jangan marah." Seru si prajurit senior dari kejauhan karena asik menemani anak-anak kampung itu bermain agar tidak bertengkar lagi. Membuat perhatian prajurit baru segera tertuju padanya. "Mereka hanya anak-anak serba mau tahu."
Si prajurit baru hanya diam. Menatap kesal pada anak-anak yang masih bertahan di teras makam.
Sementara itu petugas kebersihan sudah beranjak pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Si prajurit baru masih tidak puas dan curiga dengan si petugas kebersihan. Si prajurit baru lalu memperhatikan lima orang anak yang masih bermain di teras bangunan makam. Satu persatu, setiap inchi ke lima anak itu diperhatikan. 'Kenapa anak kampung satu itu bersih sekali kulit nya?'
"Berapa banyak anak yang biasa bermain di sini?" si prajurit menghampiri rekan seniornya yang masih sibuk mengawasi anak-anak bermain.
Si prajurit senior melirik sekilas rekan barunya yang tampak mulai tertarik dengan para anak-anak. "Biasanya sekitar dua belas anak. Empat anak berumur antara enam dan tujuh tahun. Lalu delapan anak yang sedikit lebih besar, sekitar umur sembilan sampai sebelas tahun."
Si prajurit baru langsung teringat dengan lima anak kecil yang bermain di teras. Sementara itu jumlah anak yang lebih besar bukan delapan anak, melainkan sembilan anak.
"Ada apa?"
"Apa kamu yakin ada dua belas anak? Coba perhatikan. Jumlah mereka lebih dari dua belas."
Si prajurit senior mengikuti perkataan rekan barunya. Memperhatikan anak-anak yang sedang bermain. Di antara anak yang sedikit besar ada satu anak baru yang pertama kali terlihat. Anak itu adalah yang berhasil memecahkan gasing lawannya tadi.
Lalu yang paling mencolok, setelah memperhatikan adalah seorang anak berkulit putih yang baru pertama terlihat. "Ya, biasanya memang ada dua belas anak. Tapi tak terlalu mengherankan jika jumlah mereka terkadang bertambah atau justru berkurang. Karena anak di kampung ini banyak dan tempat bermain bukan hanya di sini kan?"