Prajurit yang berjaga di gebang kastil menghentikan si ibu pemetik teh. Cil yang sudah berjalan masuk ke dalam gerbang beberapa langkah, berhenti memperhatikan apa yang terjadi.
"Ada perlu apa?" salah satu prajurit menghentikan si pemetik teh dan anaknya.
"Tidak sembarangan orang boleh masuk!" tambah prajurit yang seorang lagi.
Cil mendekati dua prajurit. "Kenapa mak cik itu tak boleh masuk?"
Prajurit pertama berkata penuh hormat pada Cil. "Maaf tuan, tapi ini perintah dari Datuk untuk keselamatan tuan juga."
"Tapi... saya dari luar baik-baik saja bersama mereka." Ucap Cil yang membuat dua prajurit itu jadi ragu untuk membiarkan orang lain untuk masuk.
Dari arah dalam kastil terlihat Tan berlari mendekati gerbang. Begitu sampai di gerbang Tan langsung berlutut, memegang ke dua pundak Cil. Memeriksa apakah ada yang terluka atau berkurang.
"Syukurlah... tuan baik-baik! Saya cemas sekali tuan pergi jalan-jalan sendirian!"
"Pak cik, dibangunkan tak mau bangun. Tidur macam orang mati! Cil sama mak cik itu sudah buat obat untuk atuk."
"Oh ya, jadi benar tuan keluar mencari tanaman obat." Tan melirik sekilas ibu dan anak pemetik teh.
Cil mengangguk cepat.
"Baiklah. Ayo masuk mak cik." Ajak Tan ramah.
Ibu dan anak pemetik teh ragu mengikuti perkataan Tan karena dua prajurit yang menjaga gerbang sempat melarang mereka.
"Tak apa. Ayo masuk saja."
Dua prajurit tadi mundur selangkah, memberikan jalan untuk si ibu pemetik daun teh beserta dua anaknya. Si ibu pemetik teh maklum karena dua prajurit itu hanya menjalankan tugas.
***
Di ruang tamu kastil peristirahatan khas bangsawan Melayu yang luas, lantai beralaskan permadani yang indah, jendela-jendela besar terbuka lebar membawa kesejukan di dalam ruangan.
Datuk Majid duduk bersama istrinya Puan Imah, beserta tamunya, Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid, Tan dan si ibu pemetik teh dengan ke dua anaknya.
Karena hari itu sudah waktunya makan siang, si ibu pemetik daun teh beserta anaknya di ajak makan siang bersama oleh Puan Imah.
Tapi si ibu pemetik teh menolak dengan sopan kebaikan hati tuan rumah. Karena merasa bukan tempatnya.
"Kalau begitu dibungkus saja. Mau ya?" Puan Imah menawar.
"Terimakasih Puan!" si ibu pemetik teh yang duduk bersama ke dua anaknya menunduk lebih rendah lagi di ruang tamu kastil.
Puan Imah lalu pergi bersama seorang pelayan yang membawa bahan-bahan ramuan obat yang belum di olah.
"Jadi obat yang sudah siap ini hanya tinggal kami minum saja?" tanya Datuk Majid melihat pelayan yang sedang menyalin ramuan obat dari tembikar usang ke dalam panci masak dari kuningan.
"Benar Datuk. Tapi akan lebih terasa enak di tubuh jika ramuannya dalam keadaan panas, karena sekalian menghangatkan tubuh."
Datuk Majid mengangguk mengerti. Lalu kepada pelayannya Datuk Majid berkata. "Kamu dengar ucapan mak cik itu?"
Pelayan perempuan muda itu mengangguk. "Dengar Datuk. Akan segera saya panaskan!" ucapnya lalu segera undur diri.
Selagi menunggu Puan Imah membungkuskan makanan, Datuk Majid dan Nahkoda Hamid menanyai si ibu pemetik teh. Sementara ke dua anaknya asik menikmati aneka kue yang dihidangkan bersama Cil.
Datuk Laksamana dan Tan asik memperhatikan Cil yang baru mereka ketahui ternyata Cil sangat perhatian. Bukan hanya dengan orang terdekat saja. Mudah beradaptasi dan tidak membedakan status sosial. Itu sebuah modal utama yang harus di miliki seorang pemimpin.
Lalu hal yang paling mengejutkan adalah kemampuan meracik obat Cil, meski dibantu si ibu pemetik teh, tapi sepertinya itu turunan dari sang ayah. Anak itu hanya memiliki modal dasar mengobati luka yang diajari sahabatnya.
Tetapi meracik obat lainnya, itu sudah pasti salah satu kemampuan turunan yang hanya dimiliki penerus Sultan yang sah. Terutama almarhum Sultan Mahmud Syah ll. Yang terkenal kejam karena tidak segan-segan memberikan racun pada saingannya dari kemampuan meracik obat yang di salah gunakan.
Datuk Laksamana menoleh pada Tan yang juga melihatnya. "Kita harus bertanya pada Madi. Bagaimana dia membesarkan Cil."
"Benar Datuk." Jawab Tan setengah berbisik.
***
Sementara itu di tempat lain yang bermil-mil jauhnya. Madi yang duduk di atas tempat tidur ketika perban di bahunya sedang di ganti, tiba-tiba merasa merinding dan memegang tengkuknya.
"Apa ada yang sakit tuan?" si tabib yang sedang merawat Madi menghentikan kegiatannya sesaat karena Madi bereaksi aneh.
"Tidak, tidak ada apa-apa."
Tabib itu bekerja lebih hati-hati lagi memasangkan perban pada luka Madi. Setelah pekerjaannya beres, tabib itu dimintai tolong oleh Madi membantunya memakai baju. Sebelum kain untuk menggendong tangannya di pasang.
"Terimakasih."
"Tidak apa-apa tuan. Kalau begitu saya permisi. Silahkan istirahat kembali tuan."
"Ya." Jawaban malas Madi.
Tabib pun segera undur diri.
Setelah pintu tertutup rapat, Madi berdiri perlahan. Berjalan ke sebuah lemari kecil di sudut ruang kamar. Perlahan Madi berlutut di hadapan lemari yang hanya setinggi pinggang.
Membuka ke dua pintunya. Madi menarik nafas pelan, melihat sebuah baju serba hitam lengkap dengan kain sampin, jubah dan tanjak serba hitam dengan sulaman benang emas.
Di dekat baju itu terlihat sebuah keris, pedang dan beberapa buku. Semua itu adalah milik Madi yang ia tanggalkan dan tinggalkan di kamarnya yang di siapkan khusus oleh Datuk Laksamana sejak lama.
Baju serba hitam itu adalah baju kebesarannya sebagai seorang Panglima Perang Johor-Riau di masa Sultan Mahmud Syah ll. Sementara keris dan pedang itu adalah hadiah dari sang junjungan Sultan Mahmud Syah ll.
Madi menyentuh pedangnya. Pandangannya membayang karena air mata. Madi tertunduk, membuat butiran air mata berjatuhan. Dirinya teramat merindukan sang junjungan yang pergi begitu cepat. Meninggalkan anak yang bahkan belum terlahir untuk merasakan kasih sayang seorang ayah.
Teringat Cil yang sudah hampir satu minggu tidak bersamanya, Madi segera menghapus air mata. Mengangkat kepala. Duduk tegap tanpa menghiraukan rasa sakit dari luka-lukanya. "Saya bersumpah akan menjaga dan melindunginya! Apa pun yang terjadi!" ucapnya tegas seolah sang junjungan yang telah tiada hadir dihadapannya.
TOK! TOK! TOK!!! Suara pintu di ketuk. Pastinya bukan pengawal yang ingin menemuinya, karena jika pengawal akan menyusul suara meminta izin untuk masuk. Datuk Laksamana atau Tan sedang tidak ada. Lalu siapa?
Madi mengeluarkan kerisnya lalu berpaling menghadap pintu. "Masuk!" perintahnya dengan suara yang tetap tenang.
Pintu terbuka perlahan. Seorang wanita muda, cantik, anggun dan berkulit putih memakai baju layaknya seorang putri, menyanggul rambut khas Melayu dengan dua hiasan rambut yang indah masuk di susul seorang anak kecil dan seorang lagi laki-laki akhir empat puluhan yang segera menutup pintu begitu memasuki ruangan.
"Puan?! Yunus, Datuk Tumenggung?!" seru Madi begitu mengenali sosok yang memasuki kamarnya. "Bagaimana bisa? Apa Puan, Datuk dan Yunus baik-baik saja?"
"Tenanglah Madi. Kami baik-baik saja. Satu-satunya orang yang tidak baik-baik saja diruangan ini, hanya dirimu seorang." Sahut Tuan Muar dengan senyuman lebar.
Madi tertunduk malu dan semakin malu ketika Yunus ikut tertawa.
"Tuan Madi bisa malu ju... um..." mulut Yunus cepat di tutup Puan Pong sambil menahan tawa. Tidak tega melihat seorang Panglima seperti Madi tertunduk malu karena terlalu mengkhawatirkan mereka bertiga.
"Jangan begitu Yunus..." bisik Puan Pong sambil menurunkan tangannya dari mulut Yunus.
"Baik Puan."
"Kami sudah mendengar semuanya dari istri Datuk Laksamana. Bagaimana kamu bisa terluka, tentang Cil yang menolongmu dan ke mana sekarang Cil, Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid dan Tan pergi. Kami berlayar langsung dari Temasek ke sini dengan kapal rombongan penari. Kamu pasti tahu?"
Madi berpikir cepat mendengar kata penari. Apakah perasaan merinding sebelumnya pertanda dari yang dikatakan Tuan Muar? Jika benar maka... "Maksud Datuk Tumenggung..." belum sempat Madi menyelesaikan perkataannya, pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar.
Seorang wanita muda yang tak kalah cantik dari Puan Pong terlihat di ambang pintu. Selain cantik, perempuan muda itu juga memiliki lekuk tubuh yang indah dan dada yang mekar sempurna.
Perempuan muda itu menutup pintu lalu berjalan dengan lenggokkan pinggul yang aduhai. Selendang yang tersandang di leher berayun mengikuti gerakannya. Membuat setiap lelaki menahan nafas melihatnya tanpa terkecuali. Dialah Encik Dahlia.
Encik Dahlia berhenti tepat di hadapan Madi yang terdiam lalu duduk bersimpuh. Dengan tangan kanannya Encik Dahlia memegang dagu Madi, memperhatikan luka di dahi Madi.
Madi menepis tangan Encik Dahlia, tetapi Encik Dahlia menangkap tangan Madi.
"Jadilah anak manis sekali-sekali tuan Panglima!" Encik Dahli menarik satu dari dua tusuk rambutnya yang ternyata adalah sebuah pisau. Dengan pisau kecil itu Encik Dahlia menyerang Madi yang menahan serangan Encik Dahlia dengan keris di tangan kiri.
"Masih punya tenaga ternyata?"
Madi tidak berkomentar sedikit pun. Walau hanya satu tangan tentu saja dirinya mampu. Madi sudah cukup terbiasa di serang oleh kenalannya sebagai bentuk melepas rasa rindu sudah lama tidak bertemu. Terutama Encik Dahlia yang agresif.
Encik Dahlia mengeluarkan pisaunya yang satu lagi. Dengan ke dua pisau di ke dua tangan, Encik Dahlia menyerang Madi yang tetap bertahan dalam posisi berlutut.
Sementara itu Tuan Muar hanya tersenyum sambil mengusap dagu, menyadari jika janggut tipisnya yang sengaja dipelihara di Temasek sebagai penyamaran sudah di cukur Tuan Muar menurunkan tangannya. Kagum akan kemampuan tempur Madi. Meski terluka namun tetap mampu menahan semua serangan. Luar biasa! Tidak salah almarhum Sultan Mahmud Syah ll memilihnya sebagai orang kepercayaan dan sekaligus Panglima Perang.
"Ehem!!!" akhirnya Tuan Muar menyela agar Madi tidak terus 'di serang'.
Encik Dahlia menurunkan pisaunya, tersenyum sinis namun menatap dengan tatapan menggoda. Mundur lalu duduk bersama Puan Pong.
Madi bergerak untuk mengembalikan kerisnya kembali ke dalam lemari ketika Puan Pong menyadari sesuatu.
"Ah... Keris itu!"
Madi menghentikan gerakannya. Melihat keris di tangannya. Tanpa membalik tubuh Madi berkata. "Puan ingat dengan keris ini?"
"Ya, ingat. Sangat ingat! Karena saat itu adalah awal perkenalan kita berempat. Almarhum Sultan, saya, Tuan Madi dan Tuan Tan."