Dua jam kemudian setelah Cil keluar dari kastil sendirian.
Ruang makan kastil itu menjadi heboh karena Cil meninggalkan kastil sendirian. Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid, Tan dan Datuk Majid duduk bersama mengelilingi sebuah meja rendah persegi empat.
Masing-masing menopang kepala dengan ke dua tangan sendiri dan tertunduk. Berkeluh kesah dan juga menghela nafas.
Seperti kehilangan boneka mainan.
"Dia membangunkan saya yang ketiduran lagi setelah sholat subuh. Mengajak jalan-jalan pagi. Tapi... saya katakan setelah sarapan..." Datuk Laksamana menghela nafas seperti seseorang yang sedang patah hati.
"Tuan Cil juga ke kamar saya. Membangunkan karena ingin jalan-jalan. Tapi karena masih dingin, saya tertidur lagi setelah di bangunkan." Nahkoda Hamid juga berkeluh kesah.
Tan lebih mendrama lagi. Meletakkan kepalanya di meja. "Sama. Tuan Cil juga ke kamar saya. Membangunkan tidur dengan paksa seperti biasa. Tapi entah kenapa bisa tertidur lagi. Apa karena udara di sini enak sekali untuk tidur..."
"Kalian bertiga di ingat untuk dibangunkan. Sementara saya, sama sekali tidak di datangi. Apa saya dilupakan?" keluh Datuk Majid.
Puan Imah memasuki ruang makan, menemukan empat orang laki-laki dewasa yang sedang merasa kehilangan mainan boneka kesayangan. "Kenapa kalian berempat seperti orang patah hati? Tuan Cil kan sudah memberitahukan kepada saya ingin jalan-jalan. Biarkan saja tuan Cil jalan-jalan. Jangan banyak di larang. Saya sudah membawakan makanan juga untuk makan siang, andai tuan terlambat pulang. Datuk dan tuan-tuan tahu kenapa tuan Cil mau pergi sendiri?"
Ke empat laki-laki itu menatap Puan Imah bersama. "Tidak." Jawaban hampir bersamaan.
"Katanya, tuan Cil ingin mencari tanaman yang bisa dijadikan obat untuk menghilangkan sakit pinggang para Datuk. Tuan Cil berani pergi keluar sendiri pastilah punya bekal kemampuan menjaga diri sendiri. Bukankah tuan Cil di asuh Datuk Tumenggung Muar dan Panglima Madi? Jadi jangan terlalu cemas."
Empat orang laki-laki itu akhirnya menghela nafas lega setelah mendengar perkataan Puan Imah.
***
Beberapa pekerja yang akan memetik daun teh dan berpapasan dengan Cil memberi hormat, meski tidak mengenal siapa Cil. Tapi siapa pun yang datang dari kastil, terlebih pakaiannya bagus sudah pasti bukan anak dari keluarga rakyat biasa.
Langkah Cil terhenti ketika melihat dua orang anak seusianya mengikuti para orang dewasa. Cil menghampiri karena ingin tahu. "Kalian sedang apa?"
Para orang dewasa yang melihat kehadirannya, menundukkan kepala sekali.
"Engkau tak tahu? Anak macam apa engkau ini?" seorang anak laki-laki yang dihampiri Cil bukannya menjawab justru memojokkan Cil.
"Pastilah pemalas. Tak pernah bantu emak, abahnya memetik teh!" sambung anak perempuan yang seorang lagi.
Orang dewasa yang mendengar ocehan dua anak itu mendorong pelan tubuh ke dua anak tadi karena asal bicara. "Kalian jangan sembarangan. Anak itu pasti keluarga Datuk!"
Dua anak tadi langsung terdiam. Merasa bersalah sudah asal bicara.
Bibir Cil sedikit manyun mendengar perkataan dua anak tadi. Tentu saja Cil tidak akan tahu, karena di Temasek hanya ada sawah, hutan dan rawa-rawa.
Akhirnya Cil pergi meninggalkan dua anak tadi. Sepertinya dirinya tidak akan bisa bermain dengan dua anak itu yang sedang membantu orangtuanya memetik daun teh.
Cil memang tidak bisa apa-apa karena tidak pernah melakukan tugas lain, selain belajar dan latihan silat. Karena itulah semasa di Temasek, Cil sering di ganggu anak desa jika dirinya jalan-jalan sendiri. Yang kalau kesabarannya habis, Cil akan menghajar anak desa yang suka mengganggunya.
Tapi sejak berteman dengan Yunus, Cil tidak pernah lagi berkelahi. Yunus selalu membelanya bukan takut Cil terluka, tapi sebaliknya. Yunus tidak mau anak-anak desa di hajar Cil!
Cil memperhatikan hutan pinus yang masih beberapa ratus meter lagi dari posisinya berada. Itulah tujuan Cil. Di sana pasti banyak jamur dan tumbuhan lain yang bisa dijadikan obat.
Beberapa kali Cil berhenti berjalan karena melihat hal yang menarik di antara tanaman teh. Terkadang Cil menemukan jamur atau melihat gerombolan pipit yang baru keluar dari sarang karena terkejut ada manusia yang mendekati sarangnya.
Pekerja yang memetik daun teh biasanya tidak peduli dengan sarang pipit di antara pohon teh, tetapi bagi Cil itu semua pengalaman pertamanya berada di luasnya kebun teh.
Baru beberapa langkah Cil meninggalkan tempat sarang pipit, dua anak pemetik teh tadi berlari mendekati Cil. Dua anak itu penasaran Cil mau melakukan apa. Terlebih orang tua ke dua anak itu menyuruh sekalian menjaga Cil agar tidak tersesat.
"Tuan. Tunggu tuan!" seru anak laki-laki pemetik teh sambil berlari.
"Tuan mau ke mana?" tanya anak perempuan pemetik teh begitu berhenti berlari di hadapan Cil.
Cil menunjuk hutan pinus.
"Tuan tak takut sendirian ke sana?"
"Kenapa harus takut?" Cil sedikit bingung, karena dirinya dibesarkan dengan ajaran untuk tidak takut pada apa pun kecuali Sang Pencipta. Menghormati orang tua dan melindungi yang kecil atau yang lemah.
"Kalau begitu, apa kami berdua boleh ikut?"
Cil memperhatikan dua anak pemetik teh bergantian. Tersenyum lebar. "Kalian tak takut?"
"Kan ada tuan..." si anak laki-laki pemetik teh cengengesan karena Cil pasti bisa diandalkan.
Anak perempuan pemetik teh hanya diam menunggu di izinkan untuk ikut.
Cil memperhatikan ke dua anak pemetik teh bergantian. "Baiklah. Ayo ikut."
Senyum langsung melebar di wajah ke dua anak pemetik teh. Mereka segera berjalan mengikuti Cil dari belakang.
Ketika sampai di depan hutan Cil berhenti, membalik badan. Menatap dua teman barunya yang tiba-tiba jadi ketakutan karena Cil berhenti.
"Kenapa berhenti?" si anak perempuan bertanya.
Cil menggeleng. "Kalian masih mau masuk?"
Dua teman baru Cil mengangguk pelan.
"Baiklah. Ayo masuk!" Cil memberi komando. Anak itu sangat tahu dengan situasi hutan dengan sekali lihat dan mencium aroma khas hutan. Hutan yang sedikit lembab, cahaya matahari yang sedikit tidak berdaya menembus dedaunan pinus merupakan tempat tumbuh subur jamur-jamur yang enak.
Hutan pinus itu masih cukup gelap karena matahari pagi masih malu-malu mengeluarkan sinarnya. Walau begitu tidak mengurangi kejelian mata ke tiga anak kecil yang bersemangat ketika melihat banyaknya jamur yang tumbuh tepat di bawah pohon pinus.
"Hebat!" si anak laki-laki pemetik teh berseru ketika mereka menemukan banyak jamur yang tumbuh. "Bagaimana tuan tahu akan banyak jamur yang tumbuh di sini?"
"Mudah saja. Jamur suka tempat yang sedikit lembab. Seperti hutan ini." Jawab Cil sambil mengumpulkan jamur yang belum kembang.
"Tuan suka jamur yang belum kembang, ya?" tanya si anak perempuan pemetik teh.
"Iya."
"Kalau kami suka yang mana saja. Kembang atau tidak rasanya sama enak!"
"Tapi kalau yang belum kembang lebih empuk karena masih muda."
Si anak perempuan pemetik teh mengangguk. Selain lebih empuk, jamur yang belum kembang juga lebih mudah ketika dibersihkan.
Selain mengumpulkan jamur, Cil juga melaksanakan misi utamanya mencari akar tanaman yang bisa di jadikan obat. Dua anak pemetik teh juga membantu mencarikan tanaman lain yang biasa dijadikan obat untuk menghangat tubuh oleh orang tua mereka.
Sebuah tanaman perdu yang hanya setinggi pinggang orang dewasa, dengan permukaan daun kasar dan bagian bawahnya sedikit berbulu di dekati oleh anak laki-laki pemetik teh. "Tuan." Panggil anak itu.
Cil segera mendekat.
"Daun dari tanaman ini juga bisa untuk meringankan sakit pinggang."
"Wah... bagus." Cil membuka kantong kainnya ketika teman barunya itu memetikkan daun tanaman tadi untuknya.
Sebelum jam sembilan ke tiga anak itu sudah keluar dari dalam hutan pinus tanpa kurang satu apa pun. Kantong kain milik Cil sudah dipenuhi jamur dan aneka tanaman obat. Begitu juga dengan dua anak pemetik teh, keranjang kecil yang biasa di isi daun teh telah penuh oleh jamur dan tanaman obat.
Di pondok peristirahatan pekerja pemetik teh, ke tiga anak itu istirahat. Mengeluarkan hasil pencarian untuk bisa di bagi sama banyak.
Ketika ke tiga anak itu sudah membagi pencariannya. Para pekerja pemetik teh juga sudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Ada yang langsung pulang dan ada pula yang istirahat sejenak sebelum pulang. Begitu juga dengan orang tua anak pemetik teh.
"Tuan mau membuat apa?" tanya ibu dari dua anak pemetik teh ketika melihat tanaman obat yang dikumpulkan Cil.
"Saya mau buat obat untuk sakit pinggang mak cik."
"Apa tuan tahu cara membuatnya?" ibu anak pemetik teh kembali bertanya.
"Tahu mak cik. Tapi saya tak tahu cara menghidupkan api..." Cil melirik tungku yang biasa dipakai pekerja untuk memasak air panas di dalam pondok peristirahatan.
Ibu dari anak pemetik teh tertawa kecil. Tentu saja ibu itu mengerti anak seperti Cil tidak tahu apa-apa tentang yang harus dilakukan pada tungku. "Baiklah, kalau begitu akan mak cik bantu membuatkan obat. Mak cik punya sedikit pengetahuan meracik obat. Terutama untuk menghangatkan tubuh dan menghilang pegal-pegal."
"Benar mak cik!" Cil begitu bersemangat sampai melompat dari duduknya mendekati perempuan pemetik teh itu.
"Iya."
Selagi menunggu air yang di rebus dalam tembikar ukuran sedang yang biasa dipakai memasak itu mendidih, ibu dua anak pemetik teh menyeleksi tanaman obat. Memberi tahu kelebihan masing-masing tanaman obat yang telah terkumpul.
Cil menyimak pelajaran singkat itu dengan antusias dan sunguh-sungguh. Setelah pelajaran singkatnya, sambil menunggu ramuan obat masak, Cil mengeluarkan sekotak kue yang dibawakan Puan Imah.
Ibu dan anak pemetik teh, memakan kue itu dengan lahap. Sangat jarang mereka bisa menikmati makanan enak yang di bawa Cil.
Cil tersenyum memperhatikan ibu dan anak pemetik teh sambil minum teh hangat yang mereka suguhkan untuk anak itu, sebagai jamuan dari tiga beranak yang tak memiliki apa-apa.
Setelah ramuan obat siap, si ibu pemetik teh membantu Cil membawakan obat beserta tembikarnya langsung ke kastil.
bersambung...