Cil yang sudah siap mandi dan berpakaian dibantu seorang prajurit baru yang ditugaskan untuk mengasuhnya, berjalan menyusuri koridor kapal untuk kembali ke anjungan. Ketika sudah separuh jalan terlihat Tan berjalan terburu-buru.
"Pak cik, ayo ke tempat atuk." Cil berlari menghampiri Tan, membuat koridor sempit itu dipenuhi bau segarnya yang habis mandi.
Tan membungkuk, mengendus baunya sambil tersenyum mengusap rambut Cil. "Jadi ingin punya anak sendiri."
Prajurit baru yang bertugas mengasuh Cil menjadi tertawa mendengar perkataan Tan.
"Kenapa? Tak pantaskah?"
"Bukan begitu, Tuan Tan sudah sangat pantas menjadi orang tua walau tak bisa mengasuh anak. Apalagi mengasuh bayi."
Tan tertunduk mendengar perkataan prajurit baru itu.
***
Kapal perang besar itu sudah hampir memutari kapal patroli, ketika terlihat sebuah perahu merapat di lambung kapal. Perahu itu pun ternyata kosong dengan layar yang sudah tak berbentuk.
Datuk Laksamana mengumpulkan semua prajurit yang hanya lima belas orang dan ABK sebanyak dua puluh orang. Hanya sedikit saja, karena rencana awal adalah berlayar untuk berjalan-jalan. Bukan untuk berperang. Dan sisanya tetap ada di dalam kapal, mempertahankan arah dan laju kapal.
Mereka semua berkumpul di geladak. Delapan orang prajurit yang di bagi menjadi dua tim akan diturunkan untuk memeriksa kapal patroli. Sisanya akan bersiaga untuk segala kemungkinan yang akan terjadi.
Dua buah papan panjang yang masing-masing di pegang dua orang prajurit bersiap untuk diletakkan pada kapal patroli. Begitu kapal merapat, papan segera di seberangkan dan ke delapan prajurit yang berbekal pedang dan keris langsung meluncur menuruni papan itu seolah naik perosotan.
Ke delapan prajurit itu segera menyebar dalam dua tim, memeriksa anjungan dan bagian dalam kapal patroli.
Sementara itu dari atas kapal perang, berbaris para prajurit dengan mengarahkan moncong bedil [senapan] ke arah kapal. Bersiap memberi perlindungan.
Bedil-bedil itu hasil sitaan Datuk Laksamana dari bangsa Portugis yang sering melakukan perdagangan senjata api ilegal di perairannya.
Layar utama kapal patroli tiba-tiba terkembang. Beberapa botol kaca ukuran kecil ikut berjatuhan, yang begitu menyentuh permukaan keras langsung pecah dan menciptakan asap yang sangat pekat. Menghalangi pandangan prajurit yang ada di atas kapal perang.
Sosok perempuan bermasker, bertubuh mungil dengan baju merah terlihat melompat dengan lincah dari atas tiang layar. Sesaat setelah mendaratkan tubuhnya dengan berlutut, kemudian berguling secepat kilat sambil melemparkan dua buah botol kaca kecil ke atas kapal perang.
Geladak kapal perang itu segera di selimuti asap tebal. Efek asap itu sangat kuat. Hanya sekejap, setiap orang yang menghirupnya terbatuk lalu jatuh tertidur tanpa perlawanan.
Delapan orang prajurit yang turun ke kapal patroli, ABK kapal perang dan prajuritnya serta Datuk Laksamana yang ada di geladak jatuh bergelimpangan tak sadarkan diri efek asap yang mengandung obat bius.
Hanya Nahkoda Hamid, Tan, Cil dan seorang prajurit baru yang masih bertahan karena berada dalam ruang anjungan.
Sosok perempuan tadi kembali melompat. Dalam dua kali lompatan, perempuan itu sudah menjejakkan kaki di atas geladak kapal perang. Melemparkan dua botol kecil lain masuk ke dalam pintu yang menuju lambung kapal.
Suara siulan kencang seperti burung terdengar. Perempuan itu yang membunyikan. Setelah suara siulan menggema, muncul dari dalam kapal patroli tiga orang laki-laki.
Ke tiga laki-laki itu tertawa terbahak memperhatikan perkerjaan si perempuan. Dengan berlari, ke tiga laki-laki itu menghampiri si perempuan. Dalam bahasa asing orang-orang itu berbicara.
Perempuan tadi menunjuk ke arah anjungan. Memberitahu jika masih ada yang bertahan.
Salah satu laki-laki menjambak dengan kasar rambut perempuan itu yang di ikat ekor kuda. Membuat perempuan itu meringis kesakitan. Tidak sampai di situ saja, seorang laki-laki lain bertubuh bongsor, menampar si perempuan hingga membuatnya jatuh tersungkur.
Sudah dipastikan dua orang itu marah besar, karena si perempuan itu tidak menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu dua laki-laki tadi juga memaki-maki perempuan itu.
Seorang laki-laki lainnya tampak lebih tua, mengambil pedang dari prajurit terdekat yang pingsan. Memberikan pada dua rekannya, menunjuk ke arah anjungan. Sepertinya mengingatkan untuk menghabisi terlebih dahulu orang yang ada di dalam anjungan.
***
Sementara itu di anjungan.
Tan menyembunyikan Cil di bawah meja kemudi kapal. Asap yang membius mulai menyelinap masuk dari sela-sela pintu dan ventilasi.
Nahkoda Hamid merobek sebuah alas meja dengan keris. Membagi menjadi empat bagian. "Pakai ini untuk melindungi dari terhirup asap itu!" perintahnya cepat kepada Tan dan prajurit baru.
Setelah memakai kain untuk diri sendiri, Nahkoda Hamid memakaikan potongan kain lainnya pada Cil. "Tetaplah di sini Tuanku!"
Cil mengangguk dalam persembunyiannya.
Yakin Cil akan baik-baik saja selama dalam anjungan, Nahkoda Hamid segera keluar. Tidak mau menunggu untuk diserang. Terutama orang-orang itu tega melukai rekan sendiri.
Nahkoda Hamid keluar dari dalam anjungan diikuti Tan dan seorang prajurit baru. Melihat tiga orang asing yang berani memasuki teritorinya, hingga melumpuhkan ABK yang hanya dua puluh orang, lima belas orang prajurit. Terutama sahabat baiknya yang telah seperti saudara, Datuk Laksamana tidak berdaya membuat Nahkoda Hamid mengamuk.
Meski kerisnya tidak sepanjang jangkauan pedang yang diayunkan laki-laki asing bertubuh bongsor yang seolah ingin memotong tubuhnya menjadi dua bagian, Nahkoda Hamid berguling ke samping sambil menusukkan kerisnya di pangkal paha berlemak si bongsor.
Si bongsor tertawa terbahak-bahak. Tusukan Nahkoda Hamid hanya seolah tusukan lidi baginya.
"Ahahaha... pak cik. Saya akan segera membantu." Tan ikut tertawa melihat adegan itu.
Nahkoda Hamid memutar mata sambil menghela nafas. "Cepatlah kalau begitu!"
Tan tertawa mendengarnya. Karena sadar kerisnya juga tidak akan mampu menjangkau, maka Tan menarik nafas yang dalam sekali tarikan. Memusatkan tenaganya pada kaki, lalu...
BRAKKK!!! Tan menendang musuh yang berlari sambil mengayunkan pedang padanya seolah mendobrak pintu lapuk. Laki-laki asing yang sudah tua itu terpental jauh. Jatuh di geladak. Untungnya tidak menimpa tubuh prajurit atau ABK yang tidak sadarkan diri karena bius.
Perempuan yang menyebarkan asap bius dan sedang menunggu di geladak, terkejut melihat salah satu anggotanya jatuh dari atas anjungan.
Tan yang melihat perempuan itu, menunjuknya dengan keris yang masih bersarung. Membuat perempuan itu menjadi menggigil ketakutan. "Kamu tak kan bisa lari!"
Karena begitu ketakutannya, perempuan asing itu jatuh terduduk. Kakinya bergetar dan dadanya berdebar kencang.
Laki-laki yang seorang lagi, melihat Tan tidak menggunakan keris akhirnya menjatuhkan pedangnya. Binar matanya tampak tertarik melihat kemampuan Tan. Laki-laki asing itu mengepalkan ke dua tangan, mengangkat setinggi dada. Menggeser kakinya dengan gerakan aneh.
Tan memperhatikan setiap inchi pergerakan tangan, bahu, lutut dan kaki laki-laki asing di hadapannya. Mencoba membaca dan mempelajari gerakan lawan.
Sebuah ayunan tangan kanan terlihat dari pergerakan bahu. Tan menghindar cepat, kepalan tangan itu tetap mengenai pinggir pelipis. Rasanya cukup panas. Andai Tan tidak melihat gerakan itu, sudah pasti Tan akan tumbang dengan sekali serangan.
Sekali lagi serangan sama. Di sertai ayunan kaki. Tan mampu menghindari serangan pertama dengan menangkis pukulannya, tapi tidak dengan gerakan kaki.
Kaki laki-laki asing itu bergerak cepat menendang paha bawah yang hampir mendekati lutut. Tan tetap bertahan, konsentrasi kekuatannya masih berpusat di kaki. Tidak akan mudah menjatuhkannya. Namun...
Berselang sedetik kemudian hantaman lain dari kaki kiri laki-laki asing tadi masuk, mengenai rahang Tan.
Tan jatuh, tubuhnya menabrak tidak sengaja punggung si bongsor yang sedang berhadapan dengan Nahkoda Hamid. Si bongsor terjatuh berhimpitan dengan Tan.
"Ah... empuk juga." Tan merasa jatuhnya cukup enak karena tubuh si bongsor menjadi landasannya.
Si bongsor mengutuk-ngutuk tertindih oleh Tan yang bertubuh tinggi dan terhitung berat. Sementara itu rekannya yang melihat kejadian itu justru tertawa. Membuat si bongsor semakin marah.
Sambil berdiri Tan mengusap rahangnya. Cukup sakit dan agak berdenyut. Sumpah serapah si bongsor yang sama sekali tidak dipahami membuat Tan emosi.
Sebuah hentakan kaki kiri seolah menginjak kecoak di arahkan Tan pada leher si bongsor yang langsung terdiam.
Nahkoda Hamid menghela nafas. Tan yang sebenarnya humoris itu akan sedikit menggila jika wajahnya terluka. Itulah sebabnya si bongsor jadi pelampiasan pertama.
Sementara itu, rekan si bongsor menjadi geram melihat Tan yang sudah dua kali menghabisi rekannya hanya dengan sekali hentakan. Laki-laki asing itu menjadi waspada terhadap kaki Tan.
Tan tidak mau menunggu lagi. Ia sedang kesal, rahangnya terasa sakit dan pasti akan meninggalkan memar. Tidak ada yang bisa menyentuh wajahnya selain Madi selama hidupnya. Kalau Madi melihatnya ia akan ditertawakan tanpa henti.
Laki-laki asing itu mengayunkan dua kali tinjuan dikombinasikan dengan tendangan. Tan menahan semua tinjuan, namun tidak dengan tendangannya. Tan mendahului serangan dengan kepalan tangan kanannya tepat di bagian luar lutut lelaki asing.
Laki-laki asing itu terseok mundur. Mencoba berdiri sempurna sambil menggerakkan kakinya yang baru saja diserang Tan.
Tidak memberi waktu, Tan langsung saja menyapu kaki lelaki asing itu dan sebelum tubuhnya mendarat, Tan memasukkan tendangan lain tepat di dada lelaki asing tadi. Laki-laki asing itu terpental, menabrak pagar pembatas kapal lalu...
CBURRR!!! Jatuh masuk ke laut.