Perempuan asing yang melakukan penyerangan menggunakan asap, duduk berlutut di geladak. Wajah mungilnya yang manis terlihat ketakutan ketika Tan berdiri di hadapannya dengan bersedekap. Memandangnya seolah kecoak yang harus di injak seperti ke tiga rekannya.
Sementara itu Tan dalam hatinya banyak menyumpah. Kenapa dirinya harus menangani perempuan berpakaian minim di hadapannya. Lihat saja, baju model apa itu yang dipakainya? Bajunya memang panjang hingga lutut, tapi bagian sampingnya sama sekali tidak dijahit, dibiarkan terbuka hingga pinggul. Seolah sengaja ingin memperlihatkan bagian yang harusnya tertutup dan terlindung. Bagian depan bajunya terbelah dan harus di kancing untuk membuatnya tertutup hingga ke pinggul yang terbuka lebar. Oh... ya ampun... Kain itu tidak layak di sebut pakaian. Dari bajunya yang tak berlengan itu, mengintip hampir separo kelebihan dirinya yang mekar luar biasa.
Cil datang membawa sebuah kain ketika Tan sedang banyak mengeluh. "Pak cik ini bajunya."
"Terimakasih." Katanya dengan senyuman penuh sayang karena Cil sudah mengikuti permintaannya untuk mengambilkan sebuah baju di kamarnya. Kemudian pada perempuan tadi Tan melemparkan bajunya dan berkata dengan memerintah. "Pakai itu!"
Perempuan asing itu memahami perkataan Tan untuk segera mungkin memakai baju yang diberikan padanya. Perempuan itu mengangguk, membuka kancing baju lalu melepas bajunya...
"APA YANG KAMU LAKUKAN?!" Tan berseru sambil menutup mata Cil dengan tangannya yang besar. Sementara Tan sendiri memalingkan kepala, melihat jauh ke garis langit. "Di hadapan seorang laki-laki dan anak kecil!"
"Bukankah Tuan menyuruh saya mengganti baju?" tanya perempuan itu dengan polosnya dan membuat kelebihan tubuhnya yang mekarnya belum seberapa itu hampir terpampang sangat jelas.
"Oh, ya Tuhan! Ya ampun...! Apa salah saya? CEPAT PAKAI BAJU ITU!" teriak Tan.
Cil yang mendengar Tan sepertinya sedang kesal, berusaha merenggangkan jari-jari Tan yang menutupi matanya. "Kenapa pak cik dari tadi marah-marah?"
Tan melihat pada Cil, memperhatikannya dari sela jarinya dengan penuh tanda tanya. Kenapa memarahi perempuan itu? Tan berlutut, menyentuh wajah Cil dengan ke dua tangannya. "Oh... Tuanku sayang... pak cik bukan marah. Hanya saja perbuatan perempuan itu sungguh salah. Tidak baik seorang perempuan berpakaian terbuka. Lebih lagi memperlihatkan yang tak boleh sembarang orang melihatnya dan harus dia jaga baik. Tuan mungkin belum paham, tapi tuan harus tahu itu tidak baik!"
"Baik pak cik, Cil mengerti."
"Maafkan saya!" ucap perempuan tadi menyela pembicaraan, ia telah memakai baju pemberian Tan meski sangaaat... kebesaran. Tapi itu jauh lebih baik.
Tan menarik nafas lega. Duduk di geladak bersama Cil, berhadapan dengan perempuan tadi. Berjarak sekitar dua meter.
Akhirnya Tan menanyai perempuan itu ketika Nahkoda Hamid dan prajurit baru yang sebelumnya di tugaskan menjadi pengasuh Cil, masih sibuk membaringkan ABK, prajurit serta Datuk Laksamana di geladak kapal perang karena belum sadar dari bius.
"Katakan siapa kamu? Dari mana kamu dan ke tiga orang tadi berasal? Dan apa tujuan kalian?"
"Maaf tuan. Saya tidak begitu memahami bahasa yang tuan ucapkan kalau terlalu cepat."
Tan mulai banyak mengeluh, merasa dipermainkan. "Oh... ya ampun... saya harus banyak bersabar menghadapai perempuan satu ini." gumam Tan setengah berbisik.
Cil yang duduk di kanan Tan, kembali memperhatikan laki-laki itu yang banyak mengeluh sejak tadi.
"Sudah jawab apa saja yang kamu dengar tadi!"
Perempuan itu mengangguk karena Tan mulai terlihat menakutkan. "Nama saya Yu Jie. Tapi tuan bisa memanggil saya apa saja. Karena ke tiga orang tadi sering memanggil saya jalang atau..."
"Cukup." Tan memotong. Tidak ingin mendengar yang tak berhubungan dengan masalah penyerangan yang di lakukan perempuan itu dan komplotannya.
"Saya berasal dari daratan Tiongkok. Dari masih sangat kecil saya sudah berlayar bersama ke tiga orang tadi yang tak lain adalah paman dan sepupu saya. Mereka dulunya adalah anggota perompak. Tapi setelah kematian orang tua saya karena sakit, yang juga kepala perompak, akhirnya mereka memutuskan pensiun dan ingin kembali ke tanah leluhur.
Beberapa hari yang lalu ketika kapal kami melintasi laut ini terjadi badai. Kapal kami karam dan banyak yang tidak selamat. Kami terombang ambing di laut selama hampir seminggu. Sampai akhirnya siang ini sebuah kapal patroli menemukan perahu yang kami tumpangi. Awalnya kami hanya ingin minta tolong, tapi paman saya yang pada dasarnya adalah seorang perompak. Tidak tahu terimakasih, justru berusaha ingin merampas kapal patroli. Saya terpaksa membantunya karena saya tidak punya pilihan. Membantunya atau di buang ke laut. Maafkan saya tuan!" perempuan itu bersujud dan terdengar suara terisak.
"Saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk menentukan nasibmu. Saya akan menunggu Nahkoda Hamid dan Datuk Laksemana sebagai pemimpin tertinggi. Untuk sekarang, kamu akan saya masukkan ke dalam sel hingga keputusan dapat di ambil."
Perempuan yang masih bersujud itu berulang-ulang mengatakan terimakasih dalam tangisnya.
***
Esok harinya. Pagi menjelang siang. Satu persatu semua awak kapal patroli yang hanya berjumlah sepuluh orang terbangun. Setelah di beri minuman mengandung ramuan obat, pemberian perempuan asing untuk menghilangkan sisa efek obat tidur dan kembali merasa segar, barulah para awak kapal patroli itu membantu Tan, Nahkoda Hamid dan seorang prajurit baru.
Di dalam anjungan kapal perang, Nahkoda Aliasak yang merupakan nahkoda dari kapal patroli menceritakan semuanya sebelum mereka dilumpuhkan. Sama seperti keterangan yang dikatakan Yu Jie. Nahkoda menolong tiga orang yang terkatung-katung di laut. Membawa mereka naik, memberi minum dan makan lalu terjadilah pembiusan menggunakan asap yang mengandung obat bius.
"Jadi benar apa yang dikatakan si aneh itu?"
Nahkoda Hamid dan Nahkoda Aliasak segera memperhatikan Tan, yang bersedekap sambil tangan kirinya mengusap rahangnya yang memar.
"Aneh?" ucap ke dua nahkoda itu.
"Ya. Tak lihatkah pak cik berdua. Bajunya yang aneh?"
"Bukankah kamu yang memberinya baju? Tubuhnya kecil, tentu saja aneh memakai baju laki-laki yang kebesaran." sahut Nahkoda Hamid tidak memahami maksud Tan.
"Bukan itu maksud saya. Apa pak cik berdua tak sadar pakaian aneh serba terbuka yang dia pakai sebelumnya?"
"Oh..." Nahkoda Hamid dan Nahkoda Aliasak baru ingat. "Saya sudah menanyai perempuan itu di sel pagi ini. Katanya sepupunya dan temannya sering memperlakukan gadis itu sangat tidak baik. Bahkan gadis itu sering menjadi pelampiasan hasrat sepupunya bersama temannya itu. Pamannya tidak bisa melarang karena sudah tua dan tidak bisa melawan untuk membela. Jadi... itulah kenapa bajunya jadi serba terbuka. Ketika dia dipaksa, lengan bajunya terlepas dan roknya jadi ikut terkoyak. Hampir tidak bisa dikatakan baju."
Tan terdiam mendengar penjelasan Nahkoda Hamid. Tan juga teringat bagaimana ketakutannya perempuan itu saat mereka berhadapan. Perempuan itu pasti trauma dan ketakutan mengira Tan yang bertubuh tinggi akan menyakiti dan memaksanya.