Tan mengajak Yu Jie bicara empat mata di buritan kapal perang. Sebagai seorang laki-laki yang menepati janji, Yu Jie dilepaskan namun Tan tidak bisa menerima Yu Jie.
"Apa karena saya kotor?"
"Bukan karena itu. Saya mempunyai kewajiban yang harus diutamakan! Kamu masih muda. Pasti akan ada laki-laki baik lain yang menarik perhatianmu kelak. Bukankah kamu ingin kembali ke tanah leluhur?"
Yu Jie menggeleng pelan. Sudah tidak ada keinginan untuk kembali ke tanah leluhurnya. Gadis itu tidak mengenal siapa pun di sana karena pamannya lah yang mengenal sanak saudaranya di tanah leluhur. Kini pamannya tidak lagi ada, untuk apa ia harus kembali dan harus kembali pada siapa. Tidak ada yang di kenal dan tidak pula ada yang mengenalnya. Ia hanyalah orang asing di tanah leluhur.
"Saya tak mengenal siapa pun di sana."
"Bukankah kamu bilang pamanmu memiliki keluarga di sana?"
"Ya. Tapi paman tidak lagi ada. Siapa yang harus dikunjungi dan di mana tinggalnya saya tak tahu."
"Maafkan saya sudah membunuh pamanmu."
Yu Jie menggeleng diiringi senyuman. "Andai paman masih hidup, saya pasti tetap bersamanya. Yang artinya, kakak sepupu saya dan temannya akan terus memperlakukan saya sebagai pemuas nafsu binatang mereka. Berkali-kali saya ingin bunuh diri dulu, tapi..." Yu Jie menghapus air matanya yang kembali terjatuh mengingat bagaimana menderitanya dulu. "Tapi entah kenapa seolah ada yang melarang dan mengatakan akan ada seseorang menolong saya dari semua penderitaan. Ketika melihat tuan menghabisi kakak sepupu saya dan temannya, di saat itulah saya yakin tuanlah orang yang akan menolong saya!"
Tan menarik nafas panjang. Terdiam sesaat karena tidak tahu harus berkata apa. Ingin mengatakan apakah hanya mimpi, rasanya itu sangat tidak sopan. "Baiklah. Kalau begitu dengarkan perkataan saya terlebih dahulu."
Yu Jie mengangguk.
"Kalau kamu tidak ingin kembali, baiklah. Saya akan memberimu satu kesempatan dan sarat!"
Yu Jie mengangguk penuh semangat dan senyuman lebar.
"Pertama. Saya akan memberi kamu pekerjaan sebagai tabib di kastil karena kamu sepertinya bisa meracik obat. Kamu harus tinggal dan melakukan pekerjaan dengan baik. Tentu saja kamu akan dibayar yang layak. Ke dua. Selama saya menjalankan tugas dan kewajiban, jika ada seorang laki-laki baik yang kamu suka dan laki-laki itu juga menyukaimu, maka terimalah! Jangan menunggu saya."
Senyum tampak melebar di wajah Yu Jie. Perasaan yang dari tadi ditahan segera meluap. Yu Jie melompat-lompat girang seperti anak kecil sambil tertawa. Karena begitu senangnya Yu Jie bahkan sampai memeluk Tan. Tapi Tan segera melepaskan pelukan itu.
"Maaf tuan! Saya terlalu gembira." Wajahnya sungguh merona karena begitu senangnya. Orang di hadapannya, adalah orang yang sangat disukainya saat itu.
Semua itu diperhatikan Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid dan Cil yang tidak mengerti apa-apa dari jendela anjungan yang menghadap ke belakang buritan. Dua orang dewasa itu tertawa pelan.
"Enaknya masa muda."
"Ya benar." Sahut Nahkoda Hamid.
Cil menguap karena mengantuk. Menyadarkan dua orang tua yang masih sibuk memperhatikan adegan di bawahnya.
"Cil sudah mengantuk ya? Ayolah tidur siang kalau begitu." Ajak Datuk Laksamana yang diangguki Cil.
***
Sejak pertama menyentuh keris hitam milik Datuk Laksamana, pikiran Cil selalu tertuju pada keris itu. Butuh dua kali untuk mengalihkan perhatian anak itu setiap kali memperhatikan keris.
Beberapa kali Datuk Laksamana melihat Cil memperhatikan kerisnya. "Cil." Panggil Datuk Laksamana dengan mengusap rambut cucu kesayangannya itu ketika mengantar untuk tidur siang.
"Ya atuk." Jawab anak itu setelah panggilan ke dua.
"Atuk tanya sekali lagi. Cil suka keris ini?" Datuk Laksamana menyentuh keris yang terselip pada sabuk di pinggangnya.
"Suka atuk."
"Kenapa suka? Apa yang kamu suka? Apakah bagus?"
"Cil suka karena warnanya hitam, atuk."
Datuk Laksamana terdiam cukup lama mendengar jawaban Cil. Dulu sekali ia pernah mendengar hal yang sama. 'Saya suka karena warnanya hitam'. Datuk Laksamana menarik nafas yang dalam lalu menghembuskan perlahan.
Setelah masuk ke kamar, Datuk Laksamana menarik keris berwarna hitam tadi dari pinggangnya sambil duduk di lantai kayu yang beralas permadani. Menimbang nimbangnya, kemudian membuka sarung keris. Memperlihatkan keris luk sembilan berwarna hitam legam dengan ukiran dari emas yang cantik pada bagian tengah hingga ke gagangnya. Keris tanpa lekukan itu diletakkan di hadapan Cil beserta sarungnya. "Keris ini sebenarnya adalah milik almarhum ayahmu."
"Milik ayah?" ini pertama kalinya Cil melihat sesuatu peninggalan milik ayahnya. Ayah yang tidak pernah dikenalnya.
"Ya. Benar. Madi pengawalmu sebenarnya adalah seorang panglima perang. Satu-satunya orang yang dipercaya ayahmu! Ketika ayahmu meninggal, Madi memberikan keris ini agar atuk menyimpannya untukmu. Keris ini sudah lama menunggu pewarisnya. Itulah mungkin kenapa kamu tertarik padanya. Kamu tadi mengatakan menyukainya karena berwarna hitam. Dulu, ayahmu saat mewarisi dari ayahnya yang juga sudah meninggal mengatakan hal yang sama. Sepertinya sudah saatnya keris ini kembali kepada pemilik sahnya!"
Cil diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa. Selain itu, awalnya Cil memang tertarik dengan warna hitam dari sarung keris. Tapi setelah melihat bilah keris berwarna hitam legam dengan ukiran emas membuatnya merasa tidak nyaman. Ada suatu perasaan aneh yang dirasakan Cil dari keris peninggalan leluhurnya itu.
"Silahkan kalau kamu ingin menyentuhnya. Keris itu milikmu."
"Tapi Cil takut."
"Takut kenapa?"
Cil menggeleng.
"Tak apa. Tak perlu takut." Datuk Laksamana mengangkat keris, menyodorkan gagang keris kepada cucunya. "Silahkan."
Aura gelap semakin kuat dirasakan Cil, walau ada keinginan menyentuh keris leluhurnya itu. Keris itu memang sudah banyak digunakan untuk mendapatkan semua ambisi pemiliknya. Bermula dari generasi pertama penguasa Malaka leluhur Johor. Mungkin itulah yang dirasakan Cil.
"Atuk tak takut dengan keris itu?" Cil mengulur waktu.
"Kalau takut, tak mungkin atuk simpankan keris milikmu ini. Atuk dengar dari Madi, kamu anak yang kuat dan berani. Tapi kenapa kamu takut sama keris ini?"
"Cil takut karena keris itu menakutkan."
"Hanya itu?"
"Keris itu jahat."
Datuk Laksamana membeku seketika. Ia tahu pasti sejarah kelam keris itu. Keris itu sudah banyak memakan nyawa dan orang terakhir adalah Laksamana Megat Sri Rama, yang tewas seketika sesaat setelah Sultan Mahmud Syah ll meninggal akibat tusukan dari Megat tepat di dada.
Tidak ada yang tahu kenapa Megat Sri Rama ikut tewas kala itu. Padahal lukanya hanya tususkan di paha. Apa karena sumpah sang Sultan? Bisa juga karena keris hitam itu beracun atau keris hitam itu memang menginginkan nyawa baru untuk dimakan!
"Ya sudah. Kalau kamu takut. Akan atuk simpankan lagi keris ini sampai kamu siap menerimanya."
"Iya, atuk simpan saja keris itu. Cil tak mau."
Datuk Laksamana tertawa mendengar jawaban Cil. Memasang sarung keris, setelah itu menyelipkan kembali di sabuknya. "Ya sudah, kalau begitu ayo tidur siang dulu."
Cil mengangguk dan bergerak cepat untuk tidur siang di atas alas tidur empuknya yang sudah dibentangkan pengasuhnya.