Chereads / Raja Kecil / Chapter 23 - Tak Bisa Di Makan? Kenapa?

Chapter 23 - Tak Bisa Di Makan? Kenapa?

Setelah tidur hampir tiga jam lamanya, akhirnya Cil bangun dengan sedikit merengek. Untung Datuk Laksamana sudah kembali ke kamar dan menunggunya tidur, jadi anak itu tidak menangis lama. Hanya terisak beberapa saat.

Datuk Laksamana memeluknya penuh sayang. "Ada apa? Kenapa nangis?"

"Cil tadi mimpi ibu. Pas bangun tak ada ibu, pak cik Madi pun tak ada, Cil jadi takut."

"Sudah tak apa. Ada atuk kan?"

Cil mengangguk dalam pelukan Datuk Laksamana yang mengusap rambut dan punggungnya.

Anak itu masih belum terbiasa tanpa ibu dan Madi, orang yang mengasuhnya sejak kecil seperti ayah sendiri. Datuk Laksamana maklum akan hal itu. Di umurnya yang masih sangat muda, harus terpisah dari pelukan hangat sang ibu yang sangat menyayangi dan memanjakannya dengan kasih sayang.

Sejak pertama berpisah dari sang ibu, ini adalah pertamanya Cil menangis dan sangat kehilangan. Itu juga karena terbawa mimpi. Jadi hal inilah yang di maksud Madi dengan 'Cil anak yang kuat.'

"Ayo kita keluar. Sudah tiga jam kamu tidur saja."

"Cil malas keluar. Di sini saja sama atuk." Cil memposisikan tubuhnya senyaman mungkin untuk tiduran di pangkuan Datuk Laksamana.

Datuk Laksamana hanya tersenyum sambil mengusap-ngusap rambut Cil yang sangat halus. Anak itu sudah dirawat sangat baik selama ini. Kulitnya putih bersih dan sangat lembut. Bintik-bintik merah terbakar matahari karena naik kapal kecil sudah hilang berkat perawatan dari Uwannya.

"Oh iya, apa Cil mau mampir ke tempat pak cik Tan? Rumahnya ada di dekat sini."

Cil duduk dengan cepat. "Mau atuk! Ayo kita pergi ke rumah pak cik Tan, atuk."

"Baiklah. Ayo bersiap-siap dulu."

"Cil bawa tas saja."

Datuk Laksamana tertawa melihat bagaimana semangatnya Cil. Menjangkau tas kesayangannya yang berisi mainan, sebuah buku lengkap dengan kuas. "Tapi kamu perlu baju ganti di sana. Atuk harus menyuruh seseorang untuk mengemasinya, setidaknya dua baju ganti. Selain itu kamu juga harus mandi dulu sebelum ke sana."

***

Kota itu hanya sebuah kota kecil yang makmur. Penduduknya mayoritas berpenghasilan sebagai pengrajin tembikar berkualitas.

Selain itu kota kecil itu juga terkenal dengan tambang timahnya. Membuat kota kecil itu cukup terkenal dan tak jarang dulunya diserang perompak.

Sejak Datuk Laksamana sang penguasa lautan dengan armada kapal perang terbesar kerajaan rutin patroli, msmbuat para perompak tidak berani menyerang kota itu.

Di kota itulah kastil keluarga Tan berdiri. Kastilnya jauh berdiri dari laut. Tidak seperti kastil Datuk Laksamana yang dibangun di tebing dekat laut sebagai raja penguasa laut.

Sebuah kereta besar sepanjang dua setengah meter, dengan atap melengkung selayaknya atap rumah dan panjangnya hampir empat meter. Melindungi kusir dan bagian belakang dari panas dan hujan. Kereta besar itu di tarik dua ekor kuda bertubuh tinggi besar. Kuda-kuda itu peninggalan kuda perang bangsa Portugis yang di kembangan biakan.

Menggunakan kereta itulah Datuk Laksemana, Nahkoda Hamid, Cil, prajurit yang mengasuhnya dan Yu Jie akan ke kastil keluarga Tan.

Kastil itu berdiri di tengah hutan yang tidak begitu luas. Bangunan utamanya merupakan bangunan berlantai dua dengan beberapa paviliun di kiri kanan dan belakang. Di setiap sisinya masing-masing ada dua paviliun.

Antara bangunan utama kastil dan setiap paviliun terhubung dengan jembatan kayu. Itu karena paviliun di bangun di atas kolam besar yang mengelilingi bangunan utama kastil.

Tidak ada benteng kokoh dengan meriam. Yang ada hanya kolam sebagai pengganti benteng.

Kereta kuda berhenti di halaman depan kastil. Setelah semua penumpangnya turun, kereta itu segera kembali ke istal.

Para tamu disambut keramahan ibunda Tan, Niza saudara perempuan Tan yang masih empat belas tahun serta para pejabat pemerintahan daerah.

Tan mendekati adiknya. "Bisa kamu pinjami baju untuk Yu Jie?"

Niza memperhatikan Yu Jie yang masih memakai baju laki. Roknya yang terbelah hingga pinggul masih memperlihatkan separo pahanya, sementara dadanya. Niza menghela nafas. "Baju saya tak kan muat untuknya."

"Eh, kenapa?"

"Kenapa?!" Niza menggeram lalu berbisik. "Perempuan itu mempunyai dada yang besar..."

Tan berdehem. Baru paham maksud adiknya. Dirinya tidak pernah mengerti tentang perempuan yang seolah misteri.

Ketika Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid sibuk melayani sambutan sebelum menyampaikan maksud membawa Yu Jie, Cil terpesona melihat kastil cantik dengan kolam besar yang mengelilingi hampir sebagian wilayah sekitarnya.

Cil menarik ujung lengan baju Tan. "Pak cik."

Tan menundukkan tubuhnya. "Ada apa Tuanku?"

"Apa banyak ikan di dalam kolam?"

"Oh ya... ada banyak dan gemuk-gemuk. Buaya juga ada."

Cil langsung memeluk kaki Tan, sembunyi karena takut dengan buaya. Melihat begitu polosnya Cil yang berhasil ditakuti, Tan tertawa seolah tak bersalah.

"Tan..." panggil ibundanya. "Kamu itu sudah dewasa jangan suka menakut-nakuti."

Tan tertawa seolah tak bersalah sudah membuat Cil merasa takut karena percaya dengan adanya buaya. "Apa Tuanku mau makan ikan?"

"Cil mau."

"Dengarkan bu? Tuan Cil tidak mudah tersinggung apalagi merajuk walau manja." Puji Tan sambil mengusap rambut Cil yang masih memeluk kakinya dan tersenyum manja. Membuat ibu Tan ingin memeluk dan menggendongnya. "Kenapa ibu senyum-senyum saja?"

"Kamu kapan beri ibu cucu yang comel? Seperti Tuanku, cucu Datuk Laksamana?"

Tan terbatuk mendengar keterus terangan ibunya. Membuat hampir semua yang mendengarnya menjadi tertawa. Umurnya memang sudah dua puluh enam, tak terpaut jauh dengan Madi yang berjarak beberapa bulan. 'Apa salahnya jika menikah di umur tiga puluh tahun untuk seorang laki-laki.' Tan ingin mengatakan itu, terlebih sebenarnya Tan ingin mendampingi Cil selama mungkin.

"Oh ya, Cil." Panggil Datuk Laksamana. "Atuk nanti mau bicara sama pak cik Tan, ibunya, atuk Nahkoda dan Yu Jie. Apa Cil mau ikut?"

Cil menggeleng cepat. "Cil mau lihat kolam, bolehkah atuk?"

"Kalau begitu, biar acik temani. Mau?" Niza menawarkan diri yang diangguki Cil dengan semangat.

"Mau."

"Kalau saya juga ikut, bolehkah?" Yu Jie segera berdiri di antara Cil dan Niza.

Niza dan Yu Jie umurnya tidak terpaut jauh. Yu Jie yang berumur enam belas tahun berharap bisa akrab dengan Niza, tapi entah kenapa Niza terlihat tidak menyukainya. "Ayo Tuanku, kami pergi dulu Datuk, tuan Nahkoda." Ucapnya tanpa peduli sedikit pun pada Yu Jie.

"Kamu ikut kami saja." Ajak Tan merasa kasihan melihat Yu Jie ditinggal begitu saja.

***

Cil dan Niza berlari-lari kecil di jembatan penghubung kastil dan paviliun. Dengan semangat Cil mengikuti Niza yang menjelaskan setiap fungsi paviliun.

Selain itu hal yang paling disukai Cil tentu saja momen ketika ia diajak memberi makan ikan yang ada di dalam kolam besar itu. Ikan yang jumlahnya ribuan bermunculan ketika makanannya di tebar. Cil bersorak gembira melihat begitu banyaknya ikan.

"Di tempat Datuk ada kolam juga kan?"

"Ada. Tapi cuma kolam kecil. Ikan tak bisa dimakan."

"Tak bisa dimakan? Kenapa?"

"Sayang kalau dimakan. Ikan atuk cantik-cantik warnanya."

Niza langsung tertawa terbahak-bahak karena anak kecil, teman barunya itu polos sekali. Jika sudah lebih dewasa lagi, mungkin gadis itu tidak akan bisa tertawa sembarangan. Ibunya selalu memintanya menjaga tingkah laku agar jangan seperti anak-anak terus karena umurnya sudah masuk empat belas tahun.

"Oh iya Tuanku. Siapa perempuan asing berbaju tak sopan tadi?" Niza berharap Cil mengerti maksudnya.

"Yu Jie namanya acik. Dia seorang perompak."

"Perompak?!" serunya. "Apa Tuanku tahu apa itu perompak?"

Cil diam sesaat, mencoba mengingat artinya. Tapi akhirnya menggeleng.

"Perompak itu orang jahat. Suka menjarah dan juga membunuh! Pantas saja saya merasa tidak menyukainya. Kita harus hati-hati dengan dia tuan! Bisa saja dia terlihat baik hanya sandiwara."

Cil mengangguk sebagai jawaban.

"Apa Tuanku tidak takut padanya?"

"Sama pak cik Tan, Cil tak boleh dekat-dekat Yu Jie."

"Nah itu... Berarti abang ada curiga sama perempuan itu!"