Penyergapan dilakukan pagi ke esokan harinya begitu usai sholat subuh. Sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang berjarak sekitar empat jam berlayar itulah yang menjadi tempat persembunyian sementara para perompak.
Kapal patroli yang di nahkodai, Nahkoda Aliasak mendekati pulau. Membuat kesunyian pagi segera terpecah. Terdengar teriakan dan makian berbahasa asing dari atas kapal perompak.
Beberapa perompak yang memang memanggul senjata api segera menodongkan senjata. Sementara itu perompak lainnya yang tak bersenjata, bersembunyi di balik tiang kapal atau pun barang-barang yang ada di atas geladak.
Nahkoda Aliasak berdiri di atas geladak bersama dua puluh prajurit dari wilayah kekuasaan Datuk Ghani, berbaris dengan senjata api lengkap. Nahkoda Aliasak berseru memberikan peringatan begitu kapalnya sudah berjarak sekitar sepuluh meter dengan kapal perompak.
Yu Jie yang ke dua tangannya di ikat ke depan dan menyisakan sedikit tali sebagai pegangan untuk Tan menarik gadis itu mendekati Nahkoda Aliasak.
"Terjemahkan apa yang dikatakan Nahkoda Ali!" bentak Tan membuat Yu Jie ketakutan segera menerjemahkan perkataan Nahkoda Aliasak.
Yu Jie menatap laki-laki tua berwajah beringas dengan pakaian tradisional tanah leluhurnya. Menerjemahkan apa yang dikatakan Nahkoda Aliasak. "Bàba qǐng nǐ fàngqì!" [ayah tolong menyerahlah!].
"Háizi bù zhīdào xìngyùn! Wǒ bùzàihū! Nǐ wándànle!" [Anak tidak tahu diuntung! Aku tak peduli! Mati saja kau!]
"Apa katanya?!"
"Anak tidak tahu diuntung! Aku tak peduli. Mati saja kau..." jawab Yu Jie menahan air matanya agar tidak jatuh, karena kepala perompak itu adalah ayah kandungnya.
Tan menjadi murka mendengar perkataan Yu Jie.
"Maafkan saya, tuan..." DOR!!! Suara tembakan terdengar, menembus tubuh Yu Jie. Sang pemimpin perompak yang menembak dan di susul tembakan lainnya.
Tan dan Nahkoda Aliasak segera tiarap di lantai geladak ketika aksi saling tembak terjadi. Mereka berdua tidak memiliki senjata api, jadi tidak ada hal lain yang bisa diperbuat selain menyerahkan semuanya pada prajurit Datuk Ghani.
Tidak berselang lama dari suara tembakan senjata api pertama, sebuah tembakan meriam menghantam lambung kapal perompak. Sebuah tembak lagi dari kapal perang Datuk Laksamana tanpa ampun. Dan kapal perompak pun tenggelam.
Datuk Laksamana tidak suka melihat perlawanan perompak itu yang berani menembak kapal patroli miliknya dan orang yang ada di dalamnya. Tanpa ampun lagi Datuk Laksamana menembakkan meriam dari kapal perangnya.
Darah Yu Jie keluar tanpa henti dari luka tembak. Wajah gadis itu mulai tampak pucat. Nahkoda Aliasak dan Tan berlutut di dekatnya.
"Maaf tuan, saya sudah menyerang tuan." Ucap Yu Jie pada Nahkoda Aliasak.
Nahkoda Aliasak mengangguk. "Tidak apa, saya sudah memaafkanmu. Kamu hanya korban di sini."
"Terimakasih banyak tuan Ali. Tuan Tan, terimakasih sudah memberikan perhatian walau sekejap dan seperti mimpi. Baju pemberian ibu tuan sangat cantik, tapi saya sudah merusaknya. Tolong sampaikan maaf saya."
Tan mengangguk sekali.
"Terimakasih sudah membebaskan saya..." Yu Jie tersenyum mencoba menggapai tangan Tan dengan tangannya yang masih terikat.
Tan menggenggam tangan Yu Jie. "Maafkan saya."
Yu Jie tersenyum. Air matanya tampak menetes. Tidak ada lagi binar kehidupan. Tan melepaskan ikatan tangan Yu Jie, melipat ke dua lengannya di dada dan menutup mata gadis yang selama hidupnya hanya merasakan kepedihan. Terlahir dari keluarga perompak yang memperlakukannya sangat tidak baik.
Nahkoda Aliasak yang masih berlutut tampak membaca doa-doa mengantar kepergian Yu Jie.
***
Perjalanan di mulai siang hari itu juga setelah penyerangan kapal perompak. Datuk Ghani meminta kepada Datuk Laksamana tidak perlu mengikuti prosesi pemakaman Yu Jie.
Datuk Ghani beralasan bahwa anaknya, Tan sedikit terguncang melihat kematian Yu Jie. Karena itulah Tan perlu di hibur untuk melupakan tentang Yu Jie.
Memang terlihat jelas perubahan sifat Tan setelah kematian Yu Jie. Biasanya Tan ceria sama seperti adiknya, Niza. Kali ini Tan hanya diam saja.
"Kita mau jalan ke mana lagi Atuk?" Cil bertanya penasaran dan penuh semangat seperti biasa.
"Kita akan ke Kota Tebing."
"Kota Tebing?" Cil langsung membayangkan Kota Tebing itu seperti apa. Apakah kota di atas tebing. Bukit batu yang terjal, juga bisa dikatakan tebing. "Maksud atuk bukit?"
Datuk Laksamana tertawa kecil sambil mengusap rambut Cil yang tertiup angin ketika mereka berdiri melihat pemandangan laut dari haluan. "Kurang tepat. Kota Tebing itu dulunya adalah sebuah tempat persinggahan para perantau dari Riau yang hendak berdagang ke Johor. Bentuknya memang tebing-tebing karang yang tinggi menjulang. Di bawahnya itulah dulu para perantau merapatkan perahu atau kapal kecil untuk istirahat, karena laut di sana sangat tenang. Lama kelamaan tempat itu menjadi ramai dan tersebutlah namanya menjadi Kota Tebing. Apalagi sekarang berdiri kota dagang kecil di atas tebing."
Cil mengangguk mengerti. "Jadi kita mau ke sana, ya? Apa pak cik Tan ikut?"
Datuk Laksamana berlutut di hadapan cucunya itu. "Cil mau ajak?"
"Iya atuk."
"Kalau begitu ajaklah. Bangunkan entah bagaimana caranya!"
"Siap atuk!" Cil memberi hormat menirukan gaya prajurit, setelah itu langsung berlari masuk ke dalam kapal.
Kamar Tan yang ada di sebelah kamar Datuk Laksamana itu pintunya tiba-tiba terbuka lebar dan kembali tertutup rapat.
Cil segera melompat ke atas perut Tan yang sedang tertidur. "Bangun pak cik! Ayo kita siap-siap ke Kota Tinggi! Cil mau ke sana! Ayo bangun!"
"Aduh duh..." keluh Tan pura-pura merasa sangat menderita kesakitan meski hanya terkejut saja.
Cil tidak peduli karena sudah tahu Tan hanya pura-pura, sama seperti kebiasaan Madi yang sering pura-pura sakit. "Ayo pak cik..."
"Aduh... iya iya. Ampun! Pak cik akan bangun!" jawab Tan sambil memeluk Cil dengan ke dua tangannya lalu berguling-guling di lantai sambil memeluk Cil. Misi berhasil!
Suara tawa Cil dan Tan yang sedang bermain di dalam kamar terdengar hingga keluar oleh dua orang prajurit yang bertugas menjaga di antar tiga kamar petinggi itu. Membuat dua prajurit itu tersenyum mendengarnya.
Tan kembali ceria seperti biasa dengan sekali rayuan. Ah... bukan rayuan, lebih tepatnya paksaan. Masih kecil saja sudah bisa menaklukkan orang dewasa. Bagaimana besarnya?
Tidak sampai setengah jam. Cil membawa Tan ke hadapan Datuk Laksamana yang duduk di antara tiga anak tangga haluan dan geladak. Dengan tertawa riang Cil berkata. "Cil sudah bawa pak cik, atuk!" bangganya seolah seorang kesatria yang berhasil menangkap buronan kelas satu.
"Kita apakan ya, baiknya orang yang suka meratap?" Datuk Laksamana berpikir sambil mengusap dagunya dengan tangan kanan.
"Eh... apa maksudnya?" Tan bingung sendiri.
Nahkoda Hamid datang mendekat lalu memberi sebuah ide. "Bagaimana kalau kita lempar ke laut dan suruh berenang sampai tujuan!"
"Ide yang bagus. Benarkan Cil?"
"Yeeiiii... berenang!"
Datuk Laksamana segera menahan ke dua tangan Tan lalu Nahkoda Hamid mengangkat kaki Tan.
"Cuma bercandakan?" Tan menggeliat seperti ulat.
"Ya, cuma bercanda." Jawab Nahkoda Hamid memamerkan senyum terbaiknya.
"Maksud saya, tidak seriuskan?"
Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid hanya tertawa, di dukung tawa serta sorakan Cil dan prajurit yang melihat.
Tanpa perlawanan berarti Tan di lempar ke laut oleh Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid.
"HUAAA!!! KENAPA JADI BENARAN?!!" BYUURRR!!!
"Ayo cepat jalakan kapalnya!" perintah Nahkoda Hamid.
Cil tertawa riang melihat lemparan dan pendaratan mulus Tan di air laut. Tidak berselang lama Tan muncul dan Cil langsung melambaikan tangan. "Jangan sedih lagi pak cik!"
Tan terdiam mendengar perkataan Cil. Anak kecil itu memahami perasaannya dan sudah berusaha menghiburnya untuk tidak bersedih. Setelah terdiam dan merenung sesaat, akhirnya Tan baru sadar kapal itu benar-benar bergerak meninggalkannya. "Oh...tidak, tidak! Mereka tidak mungkin seriuskan?!"
"Berjuanglah!" seru Datuk Laksamana melambaikan tangan bersama Nahkoda Hamid dan Cil.
"Semoga tidak ada hiu yang menemani!" tambah Nahkoda Hamid menahan tawanya.
Mendengar kata hiu, Tan bergegas berenang mengejar kapal yang sudah bergerak. "Dasar dua atuk-atuk itu!"
Tentu saja bukan Tan namanya jika tidak bisa mengejar. Terutama kapal yang baru mulai bergerak beberapa puluh meter. Hanya sesaat saja Tan sudah mengejar kapal. Karena kemenangannya sebelum seratus meter, tangga tali diturunkan dan Tan bisa naik kembali ke kapal.
"Saya tidak menyangka, Datuk dan Nahkoda Hamid bekerja sama! Curang, memanfaatkan anak kecil polos!" keluhnya langsung berbaring di lantai geladak.
"Lebih baikkan? Dan kepalamu juga sudah dinginkan?" sahut Datuk Laksamana yang sudah duduk di anak tangga bersama Nahkoda Hamid.
Cil menghampiri Tan, duduk di sisi kiri kepala Tan. Merapikan rambut Tan yang sedikit panjang itu jadi berantakan.
Tan hanya diam. Memperhatikan anak kecil yang sangat perhatian di hadapannya. Tan ingat betul perkataan Cil sebelumnya 'jangan sedih lagi pak cik' dan perkataan Datuk Laksamana barusan. Tan bukannya meratap sedih, hanya saja ia merasa bersalah karena tidak mempercayai Yu Jie walau gadis itu sudah berkata jujur.
Perlahan tangan Tan menjangkau wajah mungil Cil dengan tangannya yang besar dan kokoh. "Maaf ya, pak cik sudah buat Cil khawatir?"
"Tapi jyangan pawakai di ubiit..." ke dua pipi Cil di tarik Tan, membuat suaranya terdengar aneh.
Tan tertawa usil masih menarik-narik ke dua pipi Cil. "Karena kalau sudah besar, tak kan ada lagi kesempatan ke dua untuk melakukannya. Benarkan Datuk?"
"Kamu bisa menangis melakukannya kalau Cil sudah dewasa!"
Tan nyengir mendengar jawaban Datuk Laksamana yang pasti di dukung Nahkoda Hamid, sahabatnya.
"Sudahlah, kamu mandi sana! Jangan menggoda Cil terus."
"Siap Datuk!" Tan duduk dengan cepat setelah melepaskan Cil. "Pak cik mandi dulu ya. Setelah ini kita jalan-jalan!"
"Yeiii... jalan-jalan!" Cil bersorak menghampiri Nahkoda Hamid dan Datuk Laksamana.