Chereads / Raja Kecil / Chapter 21 - Perompak Malang ll

Chapter 21 - Perompak Malang ll

Cil duduk di pinggir pembaringan Datuk Laksamana di dalam kamarnya. Datuk Laksamana masih belum sadar. Untuk mengisi waktu selama menunggu, Cil memainkan gasingnya yang hanya di putar dengan tangan.

Gasing yang diputar, mengenai salah satu keris Datuk Laksamana yang di letakkan di sisi kanan kepala. Cil jadi tertarik untuk menyentuhnya. Senjata itu seolah menyuruh untuk menyentuhnya. Terutama yang sarung dan gagangnya berwarna hitam. Yang biasanya selalu terselip di pinggang Datuk Laksamana.

Dengan ragu-ragu Cil ingin menyentuh keris itu. Perlahan tangannya bergerak, ditarik lagi karena takut. Akhirnya Cil memantapkan diri mengambil keris dan membawanya ke jendela.

Matanya berbinar melihat keris itu. Cil tidak melepas sarung keris, hanya melihat dengan membolak balik keris. Penasaran, karena sudah sejak lama ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh keris. Cil pernah memintanya kepada Madi hanya untuk dipegang saja. Tapi Madi tidak pernah mengizinkan.

Madi pernah berkata. "Keris itu ibarat jati diri pemiliknya! Pemiliknya tidak akan meminjamkan keris yang merupakan bagian dari dirinya."

Rasanya tidak terlalu berat seperti pedang. Cil berdiri, mencoba meletakkan keris di pinggang. Keris itu terlihat seperti pedang untuk tubuhnya yang masih kecil.

"Cil..." terdengar suara Datuk Laksamana memanggil pelan.

Cil terkejut bukan main. Meletakkan keris di tempat semula. Segera duduk bersimpuh di hadapan Datuk Laksamana yang baru saja terbangun. "Maaf atuk..."

Datuk Laksamana diam memperhatikan Cil. Senyum perlahan mengembang dari wajah Datuk Laksamana saat Cil diam tertunduk. Sungguh karakter yang jauh berbeda dari sang ayah. "Kamu suka keris itu?"

Cil diam, merasa sangat bersalah sudah lancang memainkan keris milik Datuk Laksamana. Meski atuknya sendiri, tetap saja harus meminta izin.

"Tak apa. Atuk tak marah." Datuk Laksamana duduk perlahan. "Bisa tolong Atuk ambilkan minum?"

Cil mengangguk. Mengambil gelas berisi ramuan obat yang sudah disiapkan di atas meja. Memberikan langsung ke tangan Datuk Laksamana yang segera meminumnya.

"Air apa ini Cil?" Datuk Laksamana merasakan yang aneh dari air minumnya.

"Itu obat atuk. Kata pak cik Tan, biar atuk cepat sembuh."

"Um... begitu." Datuk Laksamana menghabiskan sisa obatnya. Setelah itu memberikan gelas itu kembali pada Cil.

Dengan sigap Cil meletakkan gelas ke atas meja yang ada di sudut kamar. Duduk kembali di hadapan Datuk Laksamana.

"Ah... ya. Atuk baru ingat. Kemarin petang ada yang menyerang kapal kita! Kamu tak apa Cil?!" kecemasan langsung melingkupi Datuk Laksamana. Memegang ke dua pundak Cil, memastikan apakah ada yang luka.

"Cil tak apa-apa atuk. Pak cik Tan sama atuk Nahkoda Hamid menjaga Cil."

Datuk Laksamana menghela nafas lega. "Syukurlah kamu tak apa-apa. Atuk sangat takut terjadi sesuatu sama kamu."

"Atuk." Panggil Cil.

"Ya. Ada apa?"

"Tadi pak cik Tan berpesan. 'Kalau atuk bangun katakan, ada yang mau dibicarakan'."

"Oh... baiklah. Atuk akan segera ke... ke mana pesannya Cil?"

"Anjungan atuk."

"Kamu tunggu di sini. Atuk mau cuci muka sekejap."

Cil mengangguk sebagai jawaban ketika Datuk Laksamana bergerak keluar dari kamar. Setelah kepergian Datuk Laksamana, keris hitam tadi masih tergeletak di tempat terakhir Cil meletakkannya.

Menatap lama keris itu membuat Cil merasa takut sendiri, walau awalnya sangat tertarik ingin menyentuh. Cil merangkak ke arah pintu karena merasakan aura yang aneh dari keris itu.

"Atuk masih lama kah?" gumam Cil ketika Datuk Laksamana baru pergi beberapa menit. Tidak mau menunggu, akhirnya Cil keluar dari kamar dan langsung mendapat pertanyaan dari prajurit yang menjaga di luar.

"Tuanku mau ke mana?"

"Saya mau ke tempat atuk."

"Silahkan tuan." Prajurit itu memberi Cil jalan.

Cil berjalan ke arah yang dipersilahkan lewat oleh prajurit yang berjaga di depan pintu. Jalan koridor itu hanya satu, berbelok ke kanan lalu...

"Dua cabang?" Cil belum pernah menjelajahi kapal itu karena insiden penyerangan kemarin. Baru tahu jalan menuju kamar, anjungan dan ke kamar mandi.

Jalan bercabang yang satunya belum pernah dilalui. Ke mana arahnya? Cil yang mudah penasaran itu tanpa berpikir panjang langsung melangkah dengan santainya.

Lorong itu ternyata menuju ke sebuah pintu besi besar dengan lubang berjeruji pada bagian atasnya. Tidak ada prajurit yang berjaga, kemungkinan besar karena prajurit dan ABK kapal itu masih belum sadar dari pengaruh obat bius.

Cil membuka pintu besi dengan sedikit kesulitan karena berat dan besar. Terbuka sedikit pas tubuhnya untuk lolos, Cil memasuki ruangan dengan pencahayaan yang kurang. Di dalam ruangan dengan pintu besi itu, terdapat banyak jeruji-jeruji yang membentuk sekat-sekat kecil menjadi delapan ruangan terpisah jeruji.

Di ujung ruangan ada sebuah jendela kecil sebagai sumber cahaya. Di ujung ruangan itu juga terlihat oleh Cil sosok Tan berdiri dalam ke remangan ruangan. Menatap ke dalam ruangan terakhir.

"Maaf kalau saya sempat membuat takut. Saya tidak ada maksud akan..."

"Pak cik Tan." Panggil Cil dari ambang pintu.

Tan segera melihat ke arah sumber suara yang sangat dikenalnya. Melambaikan tangan kanannya memanggil Cil. Anak kecil itu cepat mengikuti panggilannya. "Apa kamu tak takut masuk ke sini?"

Cil hanya menggelang karena tinggal di kamar Datuk Laksamana dengan keris beraura aneh, lebih menakutkan untuknya.

Perempuan asing bernama Yu Jie terlihat duduk di sudut ruang sel. Melihat ke hadiran Cil senyum mulai melebar di wajahnya yang cantik.

"Apa kamu tak takut lagi?" Tan merasa heran melihat Yu Jie tersenyum.

Yu Jie melihat Tan sesaat. Tertunduk lagi sebelum berbicara. "Awalnya saya memang takut. Tapi... setelah dipikir-pikir untuk apa saya takut? Saya sudah berkali-kali diperkosa kakak sepupu saya dan temannya. Saya sudah tercemar! Tidak ada lagi dari diri saya yang harus dilindungi."

"Jadi itu kenapa dengan santainya kamu membuka baju? Ah... keterlaluan! Kalau kamu merasa tidak ada lagi dari dirimu yang harus dilindungi lalu kenapa kamu lebih memilih mengikuti saudara gilamu untuk merampas kapal dibanding mati karena dibuangnya ke laut?!"

Yu Jie terdiam mendengar kemarahan Tan.

"Kamu belum ingin matikan? Kalau benar, itulah hidupmu yang harus kamu lindungi! Seorang penjahat kejam sekali pun akan di beri pengampunan jika bersungguh ingin berubah. Dan untukmu yang hanya menjadi korban, tentunya akan ada kesempatan ke dua. Lebih hargailah dirimu sendiri!"

"Benarkah masih ada kesempatan ke dua untukku?"

"Ya, benar!"

Tiba-tiba air mata tampak mengalir membasahi wajah, Yu Jie segera menghapusnya, dengan senyuman ia lalu berkata. "Saya mau punya anak seperti... anak manis itu."

Tan melihat Cil yang berdiri bersamanya. Menepuk-nepuk pundak Cil sambil merapatkan ke tubuhnya. "Tentu saja kamu bisa. Akan ada laki-laki baik yang menerimamu apa adanya."

"Kalau begitu apakah tuan mau menerima saya?"

"Apa?! Tidak. Saya bukan orang yang baik. Kamu akan kami bebaskan jadi, carilah laki-laki lain..." jawab Tan sambil melihat ke arah pintu besi yang di buka lebar Datuk Laksamana.

Datuk Laksamana berhenti di ambang pintu, bersandar di dinding mendengar pembicaraan Tan dan Yu Jie.

"Tapi saya merasa, dada saya berdebar setiap melihat tuan. Terutama saat tuan menatap langsung mata saya!"

"Pasti ada yang salah!"

"Benar tuan."

"Kamu harus diperiksa seorang tabib. Pasti ada masalah dengan jantungmu!"

"Benar tuan. Jantung saya memang ada masalah. Masalahnya adalah selalu berdebar ketika melihat tuan."

"Oh... ya ampun..."

Datuk Laksamana menahan tawa melihat adegan di depannya. Seorang Tan, calon panglima perangnya kesulitan menghadapi seorang perempuan. 'Apakah bisa dia memimpin ribuan pasukan, sementara menghadapi seorang perempuan saja kewalahan.' Mengingat hal itu, Datuk Laksamana menjadi tertawa lepas. Tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Kenapa atuk tertawa?" Cil menghampiri Datuk Laksamana.

"Ini urusan orang dewasa. Ayo kita pergi Cil." Datuk Laksamana masih saja tertawa. Menggandeng tangan Cil untuk keluar.

Tan menghampiri Datuk Laksamana yang beranjak pergi. "Datuk... jangan begitu... Tolonglah saya bicara."

"Tuan. Jangan pergi. Bagaimana tuan?" Yu Jie berlari ke arah jeruji besi yang membatasinya.

Pintu besi tertutup, menghasilkan suara berdentam keras. Suara tawa Datuk Laksamana terdengar dan semakin menjadi-jadi menertawai Tan yang meminta bantuannya.

Yu Jie tersenyum sambil menghela nafas lega. "Sepertinya tuan itu pemalu."