Tan mengajak ke delapan anak itu ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Tempat itu tidak jauh, hanya sekitar empat ratus meter tepat di belakang kastil.
Tempat itu adalah sebuah pos pemantau yang dapat melihat semua tempat dari atas pos. Dari pos itu terlihat jelas bentuk kastil.
Kastil dengan bangunan utama tiga lantai. Di sisi kiri kastil berdiri bangunan untuk para prajurit menginap. Sementara itu di kanan kastil adalah bangunan tempat dijalankannya semua kegiatan administrasi.
Lalu di belakang kastil berdiri sebuah istal. Tempat semua perawatan kuda.
Dan kastil itu sendiri beserta semua bangunan pendukungnya berdiri di atas tebing. Dilengkapi tembok setinggi tiga meter mengelilingi dan meriam-meriam besar di setiap sudut tembok. Siap memuntahkan pelurunya dari setiap ancaman. Serta untuk melindungi desa yang ada di bawah tebing, andai serangan perompak datang atau musuh dari kerajaan lain.
Amin, Daud dan Jamilah sebagai anak yang lebih besar sibuk bertanya kepada Tan dengan semua ke ingin tahuan mereka. Anak yang lebih kecil, berumur enam tahun hanya memperhatikan apa yang ditanya dan dijelaskan.
Tapi Cil... Sibuk sendiri dengan pikirannya yang lebih tertarik pada kapal perang Datuk Laksamana. Yang tertahan di laut karena tidak bisa merapat di pelabuhan.
Kapal perang besar itu sungguh menarik dari apa pun saat itu bagi Cil. Anak itu seolah tidak sabar untuk menjadi dewasa lalu mengelilingi semua perairan dengan kapal perang besar itu.
***
Ketika pulang kembali ke kastil dan bertemu Datuk Laksamana, Cil langsung mengutarakan keinginannya. "Atuk..." seru Cil sambil berlari dan langsung memeluk Datuk Laksamana.
"Ada apa? Sepertinya kamu ada maunya." sahut Datuk Laksamana, mengusap-ngusap rambut Cil. Datuk Laksamana dapat memahami keinginan cucunya itu karena memiliki kebiasaan yang sama seperti anaknya ketika masih kecil.
"Iya atuk. Cil mau naik kapal punya atuk yang ada di laut!" jawab anak itu dengan polosnya.
Datuk Laksamana tertawa, menggandeng tangan Cil ke arah jendela yang ada di lantai tiga ruang kerjanya. Dari ruangan itu dapat terlihat lautan tanpa terhalang apa pun.
Ada sepuluh armada kapal perang berukuran sedang dan enam kapal patroli yang merapat di pelabuhan. Lalu kapal perang besar milik Datuk Laksamana yang tertahan beberapa ratus meter dari pelabuhan, tidak bisa merapat karena ukurannya sangat besar.
Datuk Laksamana menggendong cucunya. "Mau naik yang mana?"
"Tentu saja yang paling besar itu atuk!"
"Kamu mau naik kapal itu?"
"Iya atuk."
"Tentu saja boleh. Semua kapal itu nanti juga akan jadi kepunyaan kamu begitu dewasa. Atuk juga akan memberikan satu yang baru untukmu kalau sudah besar."
"Sungguh atuk?"
Datuk Laksamana tersenyum lebar memperhatikan anak kecil di gendongnya. Memiliki rasa ingin tahu yang besar dan jiwa petualang Datuk Laksamana. "Ya. Katakan saja, kamu mau kapal perang atau kapal penjelajah? Atuk siapkan begitu kamu dewasa!"
"Ehem..." Uwan [nenek] datang dan langsung masuk ke dalam ruangan menyela pembicaraan. "Jangan memberikan sesuatu yang berbahaya pada anak yang masih kecil."
"Dalam tiga tahun umurnya akan segera masuk sepuluh tahun. Itu sudah umur yang cukup untuk menjelajahi lautan."
"Dan jarang pulang lalu tuan akan kesepian tanpa cucu kesayangan. Apa akan kuat?" Uwan tersenyum usil.
Datuk Laksamana terlihat sedikit merungut. Mengeratkan pelukannya pada Cil. Takut kehilangan. Tidak mau berpisah.
"Sudah sore. Ayo mandi dulu." ajak uwan pada Cil yang keasikan di gendong.
Datuk Laksamana menurunkan Cil. "Ayo mandi dulu."
"Siap atuk." Jawab Cil tegas meniru gaya prajurit lalu kepada uwan, Cil menggenggam tangan kiri uwan yang mengajaknya mandi.
"Oh ya, bagaimana menghilangkan bintik-bintik merah di wajah Cil? Kata Madi itu sebelumnya tidak ada."
Uwan membungkuk memperhatikan wajah Cil yang di sekitar bawah matanya berbintik-bintik kemerahan.
"Ini hanya terbakar matahari. Mungkin karena panas di kapal kecil dalam perjalanan ke sini. Anak-anak bahkan sampai remaja biasa begini. Bisa hilang sendiri. Bisa juga dihilangkan dengan sedikit perawatan."
"Lebih baik dihilangkan saja."
Uwan tersenyum sebagai jawaban sebelum pergi bersama Cil.
***
Sesuai janjinya Datuk Laksamana membawa Cil ke kapal perang miliknya. Atas seizin uwan juga pastinya, karena Datuk Laksamana ingin membawa Cil berlayar selama seminggu.
Perjalanan di mulai pagi-pagi sekali. Begitu usai subuh berjamaah di kastil. Rombongan kecil yang hanya berisi sepuluh orang itu menuruni bukit tempat berdirinya kastil.
Anggota rombongan itu hanya terdiri dari Datuk Laksemana, Nahkoda Hamid, Cil, Tan, empat orang prajurit lalu seorang lagi adalah prajurit baru yang bertugas menjadi pengasuh selama perjalanan.
Tepat jam tujuh pagi rombongan itu sudah menaiki perahu si Kekar dan si Botak. Ke dua orang itu kebetulan akan kembali ke pelabuhan di Kota Tinggi. Madi yang masih sakit ingin ke dua orang itu terus mengawasi pergerakan di Kota Tinggi.
"Selamat bersenang-senang!" Si Kekar melambaikan tangannya setelah mengantar Cil serta rombongannya menaiki kapal perang Datuk Laksamana.
"Sampai bertemu lagi Tuan Kecil!" si Botak juga melambai
"Terimakasih pak cik berdua!" Seru Cil dari atas kapal.
Setelah perahu si Kekar dan si Botak menjauh, barulah kapal perang besar itu berangsur bergerak.
Di anjungan ketika kapal mulai bergerak, Cil langsung diberi pelajaran dasar oleh Nahkoda Hamid. Bagaimana mengarahkan kapal besar itu untuk bergerak. Navigasi berperan sangat penting untuk menjaga arah tujuan.
"Dan yang pasti, jangan buta arah! Tuanku harus tahu arah mata angin. Apa Tuanku tahu bagaimana cara mencari mata angin?"
Cil yang memperhatikan dengan semangat mengangguk cepat. "Pak cik Madi pernah beri tahu dengan melihat bintang."
Nahkoda Hamid bersedekap, memiringkan kepala ke kiri sedikit saat mengetes kemampuan anak kecil di hadapannya. "Benarkah? Bagaimana caranya? Boleh atuk tahu?"
"Jangan terlalu menggoda kesayangan saya, Nahkoda Hamid." Datuk Laksamana sedikit manyun bibirnya.
"Jangan terlalu memanjakannya Datuk." Nahkoda Hamid membalas dengan sengit.
Tan hanya tertawa melihat tingkah dua orang tua di hadapannya itu.
Sementara itu Cil melepaskan tas kesayangannya, meletakkan di lantai lalu mengeluarkan sebuah buku kecil.
Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid dan Tan berjongkok mengelilingi Cil. Ingin tahu apa yang akan dilakukan anak itu.
Halaman itu berisi tulisan tangan yang hanya beberapa titik dan garis sambung-menyambung. Ada sedikit keterangan menyertai. Tulisan tangan orang dewasa. "Kalau malam hari bisa melihat bintang untuk mencari arah mata angin."
"Siapa yang membuatkan ini?" Nahkoda Hamid penasaran.
"Pak cik Madi, atuk Nahkoda."
Datuk Laksamana dan Tan hanya diam, memperhatikan bagaimana tertariknya Cil dengan pengetahuan dasar tentang pelayaran.
"Kita akan ke mana saja atuk?" tanya Cil sambil berdiri setelah mengemasi bukunya.
Nahkoda Hamid memberitahukan rencana perjalan pertama kapal itu. Yang pertama tentu saja mengelilingi wilayah laut Datuk Laksemana. Setelah itu juga akan mengelilingi wilayah laut Datuk Ghani, ayah Tan.
Datuk Laksamana dan Datuk Ghani selain sebagai sekutu, juga saling bertukar peran dalam melindungi sekutu. Datuk Laksamana yang memiliki armada kapal laut terbesar di Johor membantu mengamankan wilayah laut Datuk Ghani.
Sementara itu Datuk Ghani membantu Datuk Laksamana menjaga wilayah perbatasan darat.
***
Pada sore harinya saat memasuki wilayah perbatasan laut Datuk Ghani. Sebuah kapal patroli, milik Datuk Laksamana tampak tidak bergerak.
Seorang ABK yang selalu bertugas mengawasi dari atas tiang menara kapal bergegas turun. Melapor kepada Nahkoda Hamid di anjungan.
"Lapor Tuan. Saya tidak melihat satu aktifitas apa pun di atas kapal patroli itu!"
"Tidak ada?" Datuk Laksamana tidak percaya dengan pendengarannya.
"Bagaimana bisa?" Nahkoda Hamid sama tidak percaya.
ABK itu menunduk yang dalam. "Saya pun tak tahu Datuk dan Tuan Hamid."
Nahkoda Hamid mengambil teleskopnya dari atas meja kemudi. Dengan langkah panjang ia keluar, naik ke atas menara. Dari atas menara Nahkoda Hamid memperhatikan kapal patroli itu. Dan benar, tidak ada satu pergerakan terlihat dari atas kapal patroli.
"Bagaimana?" Datuk Laksamana menghampiri Nahkoda Hamid yang baru turun ke geladak.
"Benar Datuk. Saya juga tidak melihat seorang pun!"
Datuk Laksemana terdiam sesaat, memikirkan tidak mungkin prajuritnya meninggalkan kapal begitu saja. Pasti telah terjadi sesuatu. "Kalau memang begitu, putari dulu kapal patroli itu untuk melihat keadaan!"
Nahkoda Hamid segera memerintahkan wakilnya untuk mengarahkan kapal mereka mengitari kapal patroli.
"Ada apa Datuk?" tanya Tan yang baru kembali menemani Cil mandi bersama prajurit baru yang bertugas mengasuh Cil, melihat ketegangan di geladak.
Datuk Laksamana meminjamkan teleskop agar Tan bisa melihat sendiri.
"Tidak ada orang? Ke mana orang-orangnya?" Tan juga sama hampir tidak percaya kapal patroli itu kosong.
"Tan." Panggil Datuk Laksamana pada Tan yang masih memperhatikan kapal patroli dengan teleskop.
Tan cepat menghadap Datuk Laksamana. "Ya, Datuk."
"Kita tidak tahu apa yang terjadi. Tapi apa pun yang terjadi pada kapal patroli itu, kita akan merapat! Tolong tetaplah bersama Cil."
"Baik Datuk!" Tan segera mundur. Kembali ke kamar Cil.