Di ruang makan masih duduk bersama Datuk Laksemana, Datuk Ghani, Tan, si Kekar dan si Botak. Mereka berdiskusi, makan kemudian berdiskusi lagi. Bagaimana menjaga keamanan dan keberadaan Cil. Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Hingga saat ini sultan tidak mengetahui pasti keberadaan Cil. Memang kala itu sudah diketahui banyak para petinggi kerajaan, jika Pong hamil. Lima bulan. Tapi setelah Tumenggung Muar dan Madi mengamankannya di Temasek, tak ada seorang pun yang yang tahu, apa anak dalam kandungan Pong lahir dengan selamat atau tidak. Laki-laki atau perempuan yang lahir juga tidak diketahui. Itulah sebab hingga saat ini Cil tetap aman."
"Meski menurut laporan Tan, ketika baru tiba subuh. Di kediaman Tumenggung Muar, pada siang hari sebelumnya diserang oleh mata-mata utusan Sultan. Namun semua mata-mata itu sudah dibersihkan..."
"TIDAK BOLEH!" tiba-tiba terdengar seruan suara anak-anak memotong perkataan Datuk Laksamana.
Dari jendela yang terbuka ke empat orang dewasa itu memperhatikan sekumpulan anak-anak sedang bermain di bawah pohon. Mereka adalah anak-anak dari beberapa prajurit yang tinggal tidak jauh dari kastil, namun sering bermain di kastil.
Selain itu juga ada dua anak bangsawan yang orang tuanya bekerja untuk Datuk Laksemana. Anak-anak bangsawan biasa datang ke kastil untuk belajar memanah dan berpedang.
Hanya saja bagian bangunan utama kastil tidak boleh dimasuki. Anak-anak itu mengerti. Tetapi apa yang membuat mereka begitu ribut kali ini dan sampai memasuki wilayah kastil yang di larang?
Datuk Laksemana tertawa kecil mendengar keributan kecil khas anak-anak. Teringat akan cucunya yang pasti akan senang dapat bermain kembali setelah demamnya turun.
"Tidak boleh ke sini!" terdengar lagi suara. Suara seorang anak perempuan. "Tuan Tan bisa marah!"
Yang ada di dalam ruang makan itu segera memperhatikan Tan. Menatap seolah Tan sering memarahi anak-anak yang datang bermain di kastil.
"Kenapa? Saya tak pernah memarahi anak-anak itu. Saya hanya sekali pernah meneriaki mereka yang berkelahi di dekat taman. Persis seperti saat ini."
"Itulah kenapa kamu di cap pemarah!" sahut Datuk Ghani, ayah Tan.
Datuk Laksemana hanya tertawa mendengar pembelaan Tan.
"Ah..." seru si Kekar yang mencari tahu sumber keributan anak-anak. Si Kekar berdiri tepat di depan jendela yang terbuka.
Delapan orang anak dengan usia mulai enam tahun sampai sembilan tahun berkumpul di bawah pohon, tidak jauh di luar dari ruang makan. Ke delapan anak itu segera terdiam mendengar suara si Kekar, terutama ketika melihat sosoknya yang terlihat seperti raksasa bagi mereka. Sangat menakutkan!
"Lari...! Ada gergasi!" teriak anak-anak itu yang langsung lari tunggang langgang.
"Tunggu. Jangan lari." Cil berlari mengikuti teman-teman barunya.
"Hahhh... engkau menakuti mereka." Si Botak jadi kasihan melihat si Kekar yang terdiam, mematung setelah dikatakan gergasi.
"Seperti suara Tuan Cil?" Tan berdiri mencari tahu. Setelah sampai di depan jendela, Tan melihat bagian punggung seorang anak yang dikenalnya sedang berlari bersama anak-anak lainnya. "Cil!" seru Tan yang memegang daun jendela dan langsung melompat keluar.
"Ya. Tadi saya lihat. Karena itu saya sedikit terkejut, tapi... malah dikatai gergasi..." si Kekar memasang wajah memelas mendengar suara Tan, walau Tan tidak bicara padanya.
"Apa?! Cil ada di luar?!" Datuk Laksemana berseru hampir bersamaan dengan Datuk Ghani.
Di saat bersamaan pula, terdengar suara seorang prajurit yang berjaga tepat dibagian pintu luar ruang makan. "Maaf Datuk. Ada yang mau bicara dengan Datuk sebentar."
"Ada perlu apa?" tanya Datuk Laksemana.
"Pak cik Ikhsan, yang mengajari anak-anak memanah dan menggunakan pedang datang hendak melapor perihal Tuan Cil. Datuk." Masih suara saja yang terdengar dari balik pintu.
"Suruh masuk." Jawab Datuk Laksemana cepat.
Pintu terbuka perlahan. Seorang prajurit, yang dari tadi terdengar hanya suaranya terlihat meminta izin dengan menundukkan kepala kepada orang yang ada dalam ruangan. "Silahkan masuk pak cik." Katanya.
Ikhsan segera masuk. Hanya tiga langkah di depan pintu lalu berlutut. "Maaf Datuk. Saat saya mengajar anak-anak di tempat biasa. Ada seorang anak yang masih asing bagi saya. Anak itu bernama Cil, ibundanya bernama Encik Pong dan atuknya adalah Datuk Laksemana. Apakah itu benar Datuk?"
Datuk Laksemana menarik nafas lega lalu mengangguk beberapa kali. Ternyata tidak salah apa yang tadi di lihat si Kekar dan sedang di kejar Tan. "Ya benar. Dia anak Pong dan cucu saya. Bagaimana dia bisa bersama anak-anak yang lain?"
"Tuan Cil berkata ingin meminta izin kepada Datuk atau Tuan Tan untuk bermain. Tapi karena tidak menemukan seorang pun di lantai dua kastil, akhirnya tuan Cil keluar seorang diri, Datuk."
"Baiklah. Silahkan kembali. Tan sudah menjemput Cil saat ini."
"Baik Datuk." Ucap Ikhsan dan keluar dengan berjalan mundur.
Semua yang ada di dalam ruangan itu mengangguk mengerti. Tentu saja Cil tidak akan menemukan siapa pun di lantai dua kastil hari itu. Mereka sedang berkumpul di ruang makan.
***
Beberapa saat sebelumnya setelah Cil keluar dari kamar Madi, mencari Tan untuk menemani main. Tidak ada satu orang pun ditemukan di lantai dua kastil.
Ketika masih di lantai dua, Cil melihat ke arah jendela yang terbuka di lorong lantai dua. Dari luar terlihat sekelompok anak-anak seusia Cil sedang berjalan bersama menuju bangunan lain di sisi kiri kastil.
Cil penasaran dan ingin tahu apa yang akan dilakukan anak-anak itu. Tentunya juga karena ingin bermain bersama. Tanpa pikir panjang, Cil segera berlari. Melupakan niatnya mencari Tan.
Turun dari tangga dan membuka pintu keluar. Cil langsung berlari menyeberangi taman. Menuju bangunan lain di sisi kiri kastil.
Tidak ada satu orang prajurit jaga yang menyadari kemunculan Cil dari dalam kastil. Prajurit yang melihat sekilas, hanya mengira Cil anggota anak-anak yang baru mengambil peralatan latihan.
Begitu sampai di tempat rombongan anak-anak tadi, Cil segera jadi bahan perhatian. Anak yang baru pertama terlihat. Pakaiannya juga bagus.
"Kamu siapa?" tanya anak perempuan yang paling besar berumur sekitar delapan tahun.
Seorang anak laki-laki yang berumur sekitar sembilan tahun menarik tangan kiri Cil ke arahnya. "Kamu mau ikut latihan bersama? Kami baru saja bersiap latihan."
"Betul boleh?"
"Betul. Ayo ikut." Anak laki-laki itu membawa Cil ke bawah pohon yang sangat besar. Mungkin sekitar sepuluh atau lebih dekapan orang dewasa untuk menjangkau pohon itu.
Di bawah pohon itulah anak laki-laki tadi membawa Cil untuk mengambil sebuah pedang kayu. "Siapa namamu?" tanya anak itu menyodorkan pedang kayu.
"Cil."
"Saya Amin." Katanya
Cil tersenyum lebar menerima pedang kayu. Melepaskan jubah dan tasnya, meletakkan tepat di bawah pohon.
"Ayo. Pak cik Ikhsan sudah datang." Kata Amin ketika melihat seorang laki-laki dewasa awal tiga puluhan mendekat.
Ikhsan, seorang prajurit yang bertugas menjadi guru, meminta anak-anak berbaris dua saf di bawah pohon. Terlindung dari panas saat latihan. Melihat kehadiran Cil, Ikhsan hanya tersenyum. Anggotanya lengkap jadi delapan orang.
Selagi mengajari anak-anak, mata Ikhsan tak lepas memperhatikan Cil. Meski baru pertama ikut latihan, namun anak baru itu mampu mengikuti gerakan apa pun yang diajarkan.
Begitu juga ketika setiap anak diminta berpasangan untuk berlatih. Cil mampu bertahan, mengelakan semua serangan dengan mudahnya.
"Kamu sudah pernah belajar menggunakan pedang sebelumnya?" tanya Ikhsan ketika istirahat.
"Sudah pernah guru."
"Kenapa kamu hanya menghindar?"
"Karena kata pak cik Madi, saya tak boleh menyerang yang lebih lemah."
bersambung...