Madi yang masih dalam perawatan karena luka-lukanya hanya bisa berbaring dan duduk dalam waktu singkat. Dua rusuk kanan dan bahu kanannya patah dan kepalanya juga terluka.
Ramuan obat yang dibuat Cil membuat lukanya cepat kering, sehingga tidak menimbulkan infeksi yang bisa berakibat fatal.
"Ayo, aaam..." ucap Tan menyodorkan sendok berisi bubur dengan irisan ayam kepada Madi.
"Berhentilah mengatakan itu!"
"Ayolah. Jangan manja. Kamu bukan bayi. Cil saja lebih kuat dari engkau. Dia sudah merawatmu dan membuatkan obat luka meski dia sendiri sedang demam saat itu untuk menolongmu!"
"Cil yang menolong dan membuatkan obat untuk luka saya?!"
"Ya benar. Karena itu cepatlah makan agar tenagamu lekas kembali dan sehat untuk berterimakasih padanya."
Madi mengangguk pelan. Akhirnya menerima bubur yang disuapkan Tan untuknya.
***
Siang yang sangat cerah. Kediaman Datuk Laksamana menjadi lebih ceria dari sebelumnya dengan kehadiran para tamunya. Mereka berkumpul di dalam ruang makan yang besar. Dua jendela besarnya terbuka lebar, membawa masuk udara segar berbau laut.
Para pelayan mondar-mandir beberapa kali membawa makanan dan minuman. Ruang makan itu lantai kayunya beralaskan permadani yang lembut dan indah. Di atas dua meja rendah yang dirapatkan, makanan telah terhidang.
Di situlah mereka berkumpul, duduk bersila, makan bersama. Membuat si Kekar dan si Botak kerjanya hanya makan dan tidur.
"Kami bisa jadi pemalas dan berlemak kalau terus dimanjakan hidup enak seperti ini Datuk." Seru si Kekar suatu hari ketika makan siang bersama Datuk Laksamana dan beberapa orang kepercayaan Datuk Laksamana.
Datuk Laksamana berkeinginan mengundang para Laksamana lain, namun mengurungkan niatnya. Kesibukan di kastilnya bisa mengundang perhatian Sultan yang sedang berkuasa. Meski pengaruh sang sultan tidak berarti apa-apa di wilayah Datuk Laksamana. Mereka harus berhati-hati agar keberadaan Cil tetap tidak diketahui seperti selama tujuh tahun umur anak itu.
Jadi yang menghadiri jamuan makan siang itu hanya Nahkoda Hamid, sahabat baik Datuk Laksamana yang menjadi nahkoda kapal perang Datuk Laksamana. Ayah Tan, Datuk Ghani seorang bangsawan yang menguasai wilayah kecil dan berbatasan dengan wilayah Datuk Laksemana. Merupakan sekutu yang sangat setia. Yang menjadi Panglima perang angkatan darat Datuk Laksamana.
"Itulah sebab kami lebih suka menjadi nelayan, Datuk. Selain itu, kami berdua siap memberikan informasi dan bantuan apa pun!"
"Terimakasih saja rasanya tidak cukup saya sampaikan pada tuan-tuan berdua. Tuan berdua sudah banyak membantu dari dulu. Kalau bukan karena informasi yang tuan-tuan berikan, anak saya tak kan bisa bertahan dari kejaran si raja zalim!" Datuk Laksamana menundukkan sedikit kepalanya kepada si Botak dan si Kekar.
"Janganlah begitu Datuk." Si Kekar merasa tidak enak melihat Datuk Laksamana menundukkan kepala kepadanya.
"Benar Datuk. Kami tak enak rasanya, Datuk begitu." Si Botak membenarkan sambil menundukkan kepalanya lebih dalam.
Datuk Laksamana mengangkat kepalanya bersamaan dengan si Botak dan si Kekar. "Berkat jasa tuan-tuan, juga Tan, cucu saya bisa kembali ke tempat saya dengan aman. Meski ada sedikit halangan, tapi itu kehendak Tuhan mengirimkan badai atau tidaknya."
"Jadi, bagaimana keadaannya sekarang Datuk?" Nahkoda Hamid bertanya.
"Alhamdulillah.... panasnya sudah turun dan tadi pagi sudah bisa bangun."
Datuk Ghani mengangguk pelan. "Kenapa tak di bawa makan bersama Datuk?"
"Katanya masih pusing. Jadi saya tak tega memaksanya makan siang bersama."
"Tak apalah Datuk. Jangan dipaksakan kalau masih sakit."
***
Karena masih sedikit demam Cil tidak boleh jalan-jalan keluar. Padahal biasanya di hari yang secerah itu, Cil selalu menyelinap keluar untuk bermain di anak sungai bersama Yunus. Membuat Cil rindu dengan teman baiknya itu.
Cil berjalan ke arah jendela kamar yang terbuka. Melihat apa yang ada di luar. Taman yang sangat luas dengan kolam ikan hias. Bunga-bunga yang cantik, pohon-pohon rindang dan... Cil terkejut menyadari di mana dirinya berada.
Tempatnya berada saat itu sangat tinggi. Cil melihat pohon terdekat. Dahan pohon itu bisa saja terjangkau dan bisa digunakan untuk menyelinap keluar andai saja dirinya sedikit lebih dewasa lagi.
Di tempat Cil berada saat itu, tepat di bawahnya ada dua buah jendela lain. Di atasnya tidak ada jendela, hanya langsung atap. Itu berarti ia ada di bangunan tiga lantai. Jiwa petualangnya langsung membara.
Melihat seisi kamar. Mencari keberadaan tas serut sandangnya yang di buat Madi dari kulit macan kumbang. Sebuah meja yang ada di sudut ruangan dekat pintu, di atas meja itu terlihat tasnya serta kain songket pemberian Tan. Tapi...
Kain songket berwarna hitam pemberian Tan sudah berubah bentuk. Bukan lagi sebuah kain dengan panjang tiga setengah meter dan panjang satu meter. Kain tenun songket itu sudah di jahit membentuk dua jubah yang sempurna.
Cil memakai jubah yang panjang hingga batas lututnya. Sempurna. Cil menyukainya.
Lalu yang satu lagi... Cil membentangkan jubah itu di lantai kayu beralaskan permadani. Ukurannya besar, hanya bisa dipakai orang dewasa. Cil melipat lagi jubah besar itu walau lipatannya tidak rapi.
Setelah itu Cil menyandang tasnya. Cil tersenyum bangga. Merasa penampilan dirinya sangatlah sempurna dengan ke dua benda itu.
Pertama-tama yang ingin dilakukannya adalah mencari ruang kamar Madi. Sudah hampir tiga hari Cil belum bertemu dan berbicara dengan Madi yang sudah seperti ayahnya sendiri.
Perlahan Cil membuka pintu kamarnya. Melihat adakah yang menjaga dari luar. Sepi. Lorong tempat kamar ia tidur sangat sepi dan luas. Tepat di kanan kamarnya, Cil melihat pintu ruang kamar lain. Cil segera bergerak mendekati pintu itu.
Membuka perlahan. Sedikit demi sedikit. Terlihat Madi tertidur dalam ruang kamar itu. Tubuhnya di tutup selimut hingga batas dada. Terlihat perban menutup luka pada bahunya karena Madi tidak mengenakan baju untuk mempermudah mengobati lukanya.
Cil masuk dan menutup pintu perlahan. Dalam diam Cil duduk di sisi kanan Madi. Memperhatikan luka di dahi dan bahunya.
Mata Madi tiba-tiba terbuka dan bibirnya menampakkan senyuman. Madi sengaja membuat kejutan. Tentu saja Cil terkejut dan langsung memeluknya.
"Pak cik..." Cil menangis sambil terus memeluk Madi. Ia sangat takut saat Madi tidak juga bergerak waktu mereka terdampar.
"Sudah-sudah... Jangan menangis lagi. Pak cik kan sudah tak apa-apa berkat obat yang kamu buat." Bujuk Madi sambil mengusap kepala Cil dengan tangan kiri agar Cil tidak menangis.
"Sungguh, pak cik sudah tak apa?" Cil melepaskan pelukkannya. Biasanya ketika Madi asik bermalas-malasan dengan tiduran, Cil yang minta ajak main akan langsung menduduki perutnya agar cepat bangun lalu mengajaknya berkeliling. Kali ini pun Cil menduduki perut Madi dan menekan luka di bahu Madi dengan telunjuk kecilnya. "Ayo kita keluar."
"Akh... ampun! Jangan begitu. Pak cik masih sakit." Madi meringis kesakitan diiringi tawa. Membuat Cil menjadi kesal.
Cil tidak melepaskan Madi begitu saja. "Pak cik, tak baik suka bohong! Kalau pak cik dah sehat kenapa tak bangun? Cil mau jalan-jalan." Rengeknya manja.
"Benar. Ampun... ayo turun dan jangan ditekan lagi. Sungguh, luka pak cik masih sakit!"
Cil akhirnya melepaskan Madi begitu melihat Madi terbatuk dan meringis kesakitan. "Benar, pak cik masih sakit?" Cil duduk dengan manis.
Madi menunjuk luka-lukanya sambil menjelaskan langsung. "Tulang rusuk pak cik ada yang patah, dua. Di kanan. Bahu juga dan kepala bocor kena hantam perahu. Tapi pak cik senang, kamu tak luka sedikit pun. Hari itu kalau kamu tak membuat ramuan obat darurat, mungkin pak cik tak kan bertahan sampai sekarang!"
"Jadi pak cik tak bisa temani jalan-jalan?"
"Pak cik sungguh menyesal! Lain waktu pasti pak cik temani. Kamu mau ke mana?"
"Taman di bawah. Bolehkah Cil pergi jalan sendiri pak cik?"
"Ti-dak-bo-leh!"
Cil langsung kehilangan semangat.
"Tidak boleh sendirian." Madi tersenyum karena berhasil menggoda anak itu. "Mintalah pak cik Tan temani."
Cil tersenyum lebih lebar lagi dan ia langsung berdiri penuh semangat. "Sungguh pak cik?"
"Ya. Pergilah."
"Makasih pak cik." Seru Cil sudah berlari keluar dan hampir lupa menutup pintu jika tidak diingatkan Madi.
Begitu pintu tertutup Madi segera tersadar. Tempat mereka tinggal saat itu bukanlah rumah Encik Muar di Temasek, melainkan kastilnya Datuk Lakamana yang ada di Johor.
"Ya tuhan... Bagaimana bisa lupa kalau sekarang sedang di tempat Datuk." Madi menghela nafas dalam perlahan agar tidak menyakiti luka pada rusuknya.
Madi tahu betul kastil Datuk Laksamana sangat besar. Hampir menyamai istana kerajaan yang ditinggali Sultan. Dan lagi, Tan berkata jika mereka akan melakukan pertemuan di ruang makan. Jadi sangat tidak mungkin Cil tahu di mana keberadaan ruang makan. Kecuali...
"Dia anak yang pintar. Sedikit banyak, dia sudah bisa menjaga diri. Dia mampu bertahan setelah terdampar dan menolongku. Pasti akan baik-baik saja kalau hanya bermain di taman."