Rey sudah membuat janji bertemu Lola. Rey akan mencari tau tentang PTSD yang dimiliki Rara.
"Kau berada dimana, aku sudah sampai di tempat yang kau tentukan." suara di seberang telepon terdengar riuh. Orang-orang yang berbicara, bahkan terdengar tawa dari mereka. Jelas saja karena ini adalah jam istirahat, dimana mereka akan makan siang.
"Aku akan berada disana dalam 8 menit. Jika kau mau, kau bisa pesan lebih dulu." Rey menutup sambungan telepon dan buru-buru keluar kantor. Rey meninggalkan pesan pada Raditya untuk tidak menunggunya makan siang.
Setelah berlari-lari kecil keluar kantor, Rey segera menuju sebuah restoran Asia yang tidak jauh dari kantornya. Dengan setengah berlari Rey menuju kesana. Dirinya tidak enak membuat Lola menunggu, karena Rey lah yang meminta untuk bertemu dengan Lola.
Sesampainya di restoran Asia itu, Rey segera masuk dan mencari keberadaan Lola. Namun sepertinya Lola sudah melihat Rey, karena dirinya melambai-lambai pada Rey.
"Maaf, aku membuat mu menunggu." Rey menarik kursi di depan Lola dan mengambil buku menu yang ada di atas meja.
"Kau sudah pesan?" Rey bertanya pada Lola namun Lola hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa aku mengganggu waktu libur mu hari ini?" Rey melihat Lola yang terkejut. Mungkin Lola berpikir, darimana Rey bisa tau tentang dirinya yang libur.
"Ah, aku tadi menghubungi Beno, untuk mengizinkan aku bertemu dengan mu."
"Sebagai bos dan karyawan tentunya. Katanya kau libur hari ini." Rey buru-buru menambahkan kalimat itu. Rey tau bahwa sejujurnya tak ada hubungan antara Lola dan Beno. Lola akan merasa aneh jika Rey meminta izin pada Beno untuk bertemu dengannya padahal itu tak perlu dilakukan. Tentu Rey berbohong mengatakan atas dasar hubungan antar bos dan karyawan. Karena bagaimanapun Rey memahami perasaan Beno yang menaruh rasa pada Lola. Dan jika Rey meminta untuk bertemu Lola tanpa sepengetahuan Beno, itu hanya akan menjadi kesalahpahaman.
"Tidak. Lagian aku juga bersedia menemui mu." Lola acuh tak acuh.
Rey hendak berbicara namun ternyata pesanannya sudah datang. Dirinya kemudian mengucapkan terima kasih dan waitress itu segera berlalu.
"Jadi bagaimana kalau kau langsung saja ceritakan tentang PTSD Rara." Rey menyesap pelan kopinya.
"Sebelum aku bercerita, aku ingin meminta sesuatu padamu. Jika saat kau sedang bersama Rara, aku tak ingin kau membiarkannya ada di dalam ruangan yang gelap, ataupun melihat pajangan foto di dinding. Karena itu adalah hal yang memicu traumanya." Lola berbicara pelan namun serius.
"Baiklah. Aku bisa melakukannya." Rey memberikan kepastian bahwa dirinya bisa mengabulkan permintaan Lola.
"Aku adalah teman satu perguruan tinggi dengan Rara. Kami memang tidak satu jurusan namun berada di satu organisasi kampus yang sama. Saat itu, kami lumayan dekat sebagai sesama anggota organisasi. Namun tidak cukup dekat sebagai teman. Diluar organisasi, Aku sejujurnya mencoba untuk mendekatinya, namun itu kelihatan sulit karena teman-teman Rara yang pada saat itu terus berada di sampingnya." Lola diam sejenak mengatur napasnya. Selang berapa detik kemudian, Lola sudah melanjutkan ceritanya.
"Aku juga saat itu tengah mengalami kesulitan keuangan, hingga aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Lalu sebagai tanda perpisahan dengan anggota organisasi, aku menemui mereka untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun saat itu aku tidak melihat Rara. Awalnya aku berpikir bahwa Rara sedang sibuk dan tak bisa bertemu dengannya." Lola tersenyum pedih, sepertinya Ia menahan tangisnya. Lama sekali Rey menunggu Lola yang sedang menahan tangisnya untuk melanjutkan ceritanya.
"Setelah aku bertanya pada anggota lainnya. Barulah aku tau bahwa Rara tengah mengalami musibah. Kedua orang tuanya meninggal dalam keadaan yang mengerikan. Aku pun saat itu langsung meminta alamat rumahnya. Namun aku baru menemui Rara setelah beberapa hari berperang batin."'
"Saat pertama kali aku menemuinya. Dirinya mengalami depresi parah. Dan itu diakibatkan oleh kematian kedua orang tua nya. Ketika Rara melihat ku, dia langsung mengusir ku. Dia tak ingin bertemu dengan ku. Aku saat itu juga menyadari bahwa Rara hanya sendirian, tak ada seorang pun yang menemaninya. Bahkan temannya pun tak ada disampingnya. Setelah aku cari tau mengapa teman-temannya seperti itu, karena Rara yang sudah tak punya apa-apa lagi."
"Kemudian aku terus datang sampai beberapa hari lamanya. Saat itu benar-benar waktu yang sulit bagi Rara. Aku pun meyakinkan dirinya, bahwa aku hanya ingin membantunya, ingin ada disisinya di waktu yang sulit ini. Dan pada akhirnya Rara pun menerima ku. Namun, rumah milik kedua orang tua Rara kemudian diambil alih oleh orang yang kata Rara dekat dengan keluarganya." Lola hendak melanjutkan lagi, namun Rey menyela.
"Apa yang kau maksud itu adalah Rara diusir?" Lola mengangguk.
"Kau benar, Rara diusir. Melihat keadaannya yang menyedihkan itu, aku pun menawarkan untuk tinggal di rumah ku sementara. Dan dia menerimanya."
"Sejujurnya saat itu Rara mengatakan padaku bahwa dirinya punya simpanan yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, sehingga dia mau mengontrak rumah sendiri. Namun aku mencegahnya, aku tak ingin dia merasa lebih sendirian lagi. Pada akhirnya, Rara menggunakan uang itu untuk melanjutkan kuliahnya." Lola menyesap habis jus mangga nya.
"Waktu pertama kali aku mengetahui tentang PTSD nya itu, kejadiannya sama dengan yang terjadi di rumah malam itu. Saat itu, ayah dan ibuku sedang keluar dan aku belum pulang kerja. Rara sendirian dirumah dan saat itu lah pemadaman listrik terjadi. Beruntung aku sampai lebih dulu, dan sangat kaget melihat kondisi Rara yang jauh lebih mengerikan dari malam itu."
"Butuh waktu sangat lama bagi Rara untuk bisa tenang, bahkan saat listrik sudah menyala, dirinya masih saja ketakutan. Aku saat itu sampai menangis melihat keadaannya. Dan setelah beberapa minggu berlalu dari kejadian itu, Rara baru menceritakan semuanya pada ku. Bahwa dirinya memiliki gangguan PTSD dan dia harus melakukan konsultasi ke Psikolog."
"Tidak mudah Rey bagi Rara melewati itu semua. Walaupun sudah konsultasi namun tak ada perkembangan berarti. Namun aku tetap berada disampingnya. Dan saat dia sudah menamatkan pendidikannya. Rara ingin tinggal sendiri. Aku pun menyetujuinya, walaupun agak berat. Alasan kenapa dia ingin tinggal sendiri, dia mengatakan padaku bahwa Ia mendapatkan pekerjaan." Lola berhenti sejenak dan memanggil seorang waitress meminta untuk dibuatkan jus mangga lagi. Sepertinya tenggorokannya menjadi kering.
"Ibuku sangat menyayanginya Rey. Namun aku menduga bukan karena dirinya mendapatkan pekerjaan saja sampai Ia harus pindah. Tapi juga karena Ia selalu melihat aku dan ibu ku yang terus-menerus dipukuli oleh ayah ku. Membuatnya tak tahan dan memutuskan untuk pergi." Lola menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya. Lalu membuka nya kembali seraya mengipas-ngipaskan mata nya yang merah. Bahkan Rey bisa melihat air mata sudah berada di pelupuk matanya.
"Pada akhirnya Rara juga meminta ku untuk tinggal sendiri, namun aku mengatakan padanya aku tak bisa meninggalkan ibu ku sendirian. Rara saat itu sampai menangis melihat aku dan ibu ku disiksa. Namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak tau apakah Ia pernah menyalahkan dirinya karena tak bisa membela aku dan ibu ku. Kuharap Ia tak melakukannya Rey." Lola mengambil tisu dan mengusap air mata yang sudah jatuh itu.
"Walaupun Ia tinggal sendiri, namun aku sering menginap menemani dirinya. Aku masih khawatir jika PTSD nya kambuh. Bahkan dirinya juga mengkonsumsi obat anti depresan. Itu membuat dada ku terasa sesak Rey. Dan Tak terasa Rara sudah tinggal sendiri selama 3 tahun, namun dirinya sudah bekerja di banyak perusahaan berbeda. Pernah suatu waktu dirinya kambuh di perusahaan dan menghancurkan komputer perusahaan, tentu saja berakhir dengan pemutusan hubungan kerja." Lola menghela napas panjang.
"Pernah juga saat aku sedang menginap, Rara menangis sendiri di tengah-tengah malam. Saat aku mendengarnya menangis, aku ingin memberikan pelukan padanya. Aku ingin mengatakan padanya bahwa semua baik-baik saja. Namun ternyata Rara mampu menutupi semua itu dari ku Rey."
"Lalu aku mendapatkan pekerjaan baru di Cafe milk Beno, saat baru berdiri aku sudah bekerja di cafe itu dan karena rumah kedua orang tua ku yang jauh dari cafe, aku pun memutuskan untuk mengontrak rumah. Aku pun juga menceritakannya pada Rara dan meminta Rara untuk tinggal bersama ku. Tapi Ia tak bisa melakukannya karena tempat kerjanya yang jauh dari rumah kontrakannya. Namun Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan pindah bersama ku."
"Rara juga sama seperti ku Rey, dirinya juga sering kekurangan uang dan itu baru ku ketahui setelah dia pindah bersama ku. Ternyata kehidupan itu benar-benar sulit ya. Selama 2 tahun terakhir ini Ia tinggal bersama ku namun Ia jarang sekali mengeluh bahkan tak pernah. Rara hanya kerja, kerja dan kerja, bahkan kadang Ia membantu ku melunasi hutang orang tua ku."
"Dan sudah hampir 4 bulan terakhir ini Ia menganggur, sepertinya Rara sangat menyadari bahwa gaji ku tak cukup untuk menghidupi 2 orang. Ketika Ia mendengar peluang untuk mendonorkan ginjal kepada kakek mu, Ia bertekad untuk mengambilnya. Dan ternyata Rara tak mengubah keputusannya Rey. Benar-benar Ia melakukannya. Sampailah Ia bertemu dengan mu."
Lola tiba-tiba tertawa, seperti menertawakan hal lucu yang tiba-tiba muncul dalam ingatannya.
"Rey aku ingin menceritakan tentang seorang pria yang hampir menikah dengan Rara pada mu. Namun aku akan menahannya, aku ingin Rara sendiri yang menceritakannya pada mu. Dan juga aku akan membiarkan Rara yang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tua nya sampai membuatnya memiliki gangguan PTSD."
Rey mengerutkan alisnya.
"Jadi aku bukan pria pertama yang dekat dengannya?" Rey bertanya bingung, dirinya selama ini mengira bahwa Rara belum pernah dekat dengan pria mana pun, karena Ia yang selalu menjaga jarak dan menutup dirinya.
"Sayangnya bukan Rey." Lola tertawa.
"Rara sudah pernah jatuh cinta pada orang lain. Namun sekarang Ia menutup dirinya karena trauma akan pria itu Rey." Lola menjelaskan mengapa Rara begitu menutup dirinya. Dan akhirnya Rey tau bahwa itulah alasannya.
"Baiklah, aku rasa aku sudah menceritakan semua pada mu. Sisa yang belum itu, biar Rara yang menjelaskan pada mu."
"Baiklah, terima kasih karena sudah mau menceritakannya pada ku." Rey berkata pelan
Lola menggeleng pelan
"Tidak Rey. Itu karena aku percaya pada mu, kau akan menjaga Rara dengan baik. Jadi mohon bantuannya ya." Lola tersenyum senang. Rey hanya diam saja, mengapa Lola bisa begitu percaya padanya. Rey benar-benar tak mengerti.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Lola beranjak dari kursinya. Rey pun ikut beranjak dari kursi
"Biar aku yang membayar ini." Rey memanggil waitress dan meminta struk pesanannya.
Namun tiba-tiba dering ponsel memecahkan keheningan diantara keduanya. Dering ponsel Rey. Rey segera mengeluarkannya dari saku jasnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Alex. Rey mengangkat panggilan itu dan seketika membeku mendengar apa yang Alex katakan.
"Rey, Rara sudah sadar. Ia mencari mu Rey, kau segeralah kesini." Rey segera mematikan ponselnya. Lola yang melihat Rey membeku segera menyadarkan Rey.
"Ada apa Rey." Rey melihat Lola dan berkata pelan.
"Rara sudah sadar." Lola seketika lemas mendengar apa yang dikatakan Rey dan terduduk lagi di kursinya. Tangannya membekap mulutnya dan matanya mulai menangis.
Waitress itu bingung melihat Lola yang menangis. Rey segera membayarnya dan mengatakan bahwa uang lebihnya tak perlu dikembalikan.
"Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang."
oh sial Rey baru teringat. Dirinya tak membawa mobil sewaktu menuju restoran. Segera Rey menghubungi Raditya untuk mengantarkan mobilnya.
Lola yang sudah tak lagi menangis itu pun beranjak dari kursinya.
"Ayo kita pergi."
"Aku sudah meminta sekretaris ku untuk membawa mobil ku kesini. Sebaiknya kita tunggu saja diluar." Bibir Rey bergetar, dirinya sudah tak bisa lagi menahan ingin segera bertemu Rara.
Rey dan Lola segera keluar dari restoran. Ketika Raditya sampai mereka tak membuang waktu lagi.
"Ayo kita ke rumah sakit."