Rey, Lola dan Raditya sudah memasuki kawasan rumah sakit. Tapi sebelum Raditya sempat memakirkan mobilnya, Rey sudah melompat turun dan berlari masuk menuju kamar Rara.
"Astaga! itu tadi bahaya sekali."
Lola yang melihat Rey langsung melompat turun dari mobil seketika tercengang. Beruntung mobil melaju dengan pelan sehingga Rey tidak perlu terluka.
Rey sudah tak memperdulikan lagi kejadian yang barusan itu, dirinya panik dan jantungnya berdetak kencang. Rey merasa kapan saja jantungnya akan lepas dari rongganya jika berdetak dengan kencang seperti ini. Rey berlari sepanjang lorong rumah sakit, para pasien, dokter hingga perawat langsung menyingkir melihat Rey yang begitu terburu-buru.
Sesampainya di kamar rawat Rara, Rey segera membuka pintunya dengan keras dan sekali hentakan. Membuat mereka yang berada di dalam kamar itu terlonjak kaget. Kakek, Alex dan perawat yang sedang memeriksa Rara, begitu pun Rara yang sangat terkejut melihat kedatangan Rey.
Rey dengan napas yang tersengal-sengal, berjalan cepat menuju Rara. Keringat sudah membahasi pelipisnya. Namun Rey sepertinya tak berniat menyeka keringat itu. Pandangan matanya menatap Rara lurus-lurus.
"Kau mengagetkan semua orang disini Rey." Alex membuka cela karena keadaan yang tiba-tiba menjadi sunyi akibat kedatangan Rey.
Rey hanya diam dan menatap Alex dingin. Rey tak menyukai fakta bahwa orang yang ada disamping Rara waktu dirinya terbangun adalah Alex.
Alex yang ditatap seperti itupun, langsung menciut.
"Sudah-sudah, lebih baik kita berikan waktu agar Rey dan Rara bisa bicara." Kakek segera menengahi keadaan yang menjadi canggung ini. Kakek segera menarik Alex dan meminta perawat itu untuk keluar dari kamar rawat Rara.
ceklek. Suara pintu ditutup dengan pelan. Tinggallah Rey dan Rara diruangan itu. Rey yang merasa gerah pun membuka jas nya, kemudian menyampirkannya ke sofa yang ada disana. Dasinya di longgarkan dan Rey membuka dua kancing teratas kemeja warna putih itu.
Lalu Rey duduk di kursi yang ada di samping ranjang Rara. Ketika melihat Rara, tatapan Rey sudah melembut lagi.
"Bagaimana keadaan mu? Apa kau baik-baik saja?" Rey memulai percakapan.
"Aku baik-baik saja. Hanya saja aku masih perlu dirawat disini seminggu kedepan. Untuk memastikan tidak ada komplikasi setelah transplantasi." Rara menunduk melihat tangannya yang dipasang infus. Kemudian dirinya melanjutkan lagi kata-katanya.
"Dokter Alex mengatakan padaku bahwa aku tidak sadar selama 4 hari sejak operasi hari itu. Dan kakek juga mengatakan padaku bahwa kau terus menunggu ku disini. Bahkan kata kakek, kau juga sempat memarahi Alex karena aku yang tak kunjung sadar." Rara tertawa mengingat hal itu lagi. Tadi kakek mengatakan padanya bahwa Rey memarahi Alex mengapa dirinya belum juga terbangun.
"Aku hanya merasa frustasi. Aku tak tau harus berbuat apa, tak tau bagaimana caranya membuat mu sadar." Rey berkata terus terang. Seketika telinga Rara terasa panas. Mengapa Rey bisa berkata jujur seperti ini. Rey melanjutkan perkataannya
"Jika kau tak juga menyadarkan diri, maka aku pasti akan merasa bersalah padamu. Aku seharusnya mencegah mu untuk mendonorkan ginjal pada kakek, namun aku juga tak ingin kehilangannya."
"Aku-" belum sempat Rey melanjutkan, kalimatnya sudah dipotong Rara.
"Mengapa kau harus merasa bersalah. Ini adalah keputusan ku, maka tidak ada satupun orang yang bisa mencegah ku Rey. Aku tidak kunjung sadar karena perasaan trauma yang menekan ku. Hanya itu saja. Apa Lola ada mengatakan sesuatu tentang itu?" Rara yakin Rey sudah mendengar trauma yang dialaminya dari Lola.
Rey mengangguk mengiyakan.
"Aku yang meminta Lola untuk menceritakannya. Maaf aku melanggar privasi mu, aku hanya ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada mu." Rey menatap Rara lembut dan merasa bersalah.
Tatapan rasa bersalah itu lagi. Rara benci sekali melihatnya.
"Berhenti menatap ku dengan tatapan rasa bersalah itu. Aku tidak menyukainya." Rara menyuarakan apa yang ada dipikirannya. Pelan namun terasa menusuk jantung Rey. Entah mengapa Rey yang mencari informasi pribadi Rara dari Lola membuatnya menjadi tak enak hati dan merasa bersalah. Namun Rey tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Maaf" hanya itu kata yang bisa Rey ucapkan. Rey menunduk memandangi selimut yang menyelimuti tubuhnya. Rey mengepalkan dengan kuat tangan kanan yang berada di saku celananya itu.
Seketika ruangan menjadi hening, hanya terdengar tarikan napas mereka berdua. Lalu tiba-tiba Rey teringat akan luka pada leher dan punggung Rara.
"Bagaimana luka di leher dan punggung mu?"
Rara yang ditanyai hal itupun reflek memegang lehernya.
"Tidak apa-apa Rey. Beruntung di leher tidak terlalu dalam. Kata Dokter Alex tadi, besok aku bisa mengganti perbannya." Rara menjelaskan secara singkat tentang kedua luka itu. Walaupun punggungnya sudah dijahit dan diperban, namun rasa panas dan perih akibat cambukan itu masih tertinggal bahkan tertanam dengan jelas dalam ingatannya.
"Rey, terima kasih karena sudah menunggu ku sampai aku sadar. Dan terima kasih kau sudah menepati janji mu pada ku. Kau datang untuk menyelamatkan ku." Seketika air mata Rara bergulir. Rara sejujurnya masih takut akan apa yang terjadi hari itu.
"Aku sangat takut hari itu Rey. Aku juga takut kau tidak akan datang." tangisan Rara yang semakin menjadi-jadi itu bukti bahwa dirinya masih merasakan ketakutan. Apa yang terjadi malam itu masih tercetak dengan jelas dalam ingatannya. Bagaimana Satria memperlakukannya. Bagaimana Satria mengancam akan membunuh Rey.
Bahkan ingatan saat tangan Satria yang mengelus bibir dan perutnya berkali-kali membuat Rara mual. Rey yang melihat Rara menangis seperti itu ingin mendekapnya dalam pelukan. Namun jika Rey melakukan hal itu, dirinya takut akan semakin menginginkan Rara.
"Aku sudah berjanji pada mu. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti mu."
Pada akhirnya hanya itulah yang Rey bisa katakan. Rey segera beranjak dari kursinya. Rey harus segera pergi dari ruangan ini, Ia tak ingin melanggar kesepakatan dirinya. Jika Rey terus-menerus disini dan melihat Rara yang menangis itu maka bisa dipastikan Rey akan langsung mendekapnya. Dan itu bertentangan dengan apa yang sudah di tetapkannya.
"Aku akan kembali lagi nanti. Aku akan memanggil Lola untuk mu." Rey hanya mengelus pelan kepala Rara, namun Rara yang masih saja menangis itu tak menggubris apa yang dikatakan Rey. Rey berjalan keluar dan menutup pintu itu dengan pelan.
****
Rara hanya bisa melihat kepergian Rey, tanpa bisa menahannya. Dadanya terasa sesak sekali hingga membuatnya kesulitan bernapas. Saat tersadar tadi, Rara juga menangis. Rara bermimpi buruk tentang Rey. Namun segala apapun yang buruk itu tidak boleh diceritakan pada orang lain. Maka dari itu, Rara menahan untuk tidak bercerita tentang mimpi itu pada Rey.
Rara meletakkan kedua tangannya di dada nya yang sesak. Tangannya juga merasakan detak jantungnya yang berdetak dengan kencang itu.
"Mengapa kau menangis? Apa Rey ada mengatakan sesuatu yang jahat pada mu?"
Entah kapan Lola datang, Rara bahkan tak menyadarinya.
"Kau bahkan tak sadar aku masuk ya. Wah, ternyata Rey ini sanggup membuat mu jadi melupakan keberadaan ku." Lola mencoba untuk membuat lelucon, namun Rara hanya tersenyum tipis.
"Oh ternyata tidak lucu ya. Padahal aku mencoba membuat lelucon loh." Lola segera duduk di kursi yang Rey tempati barusan.
"Cih, kau ini. Sudahlah jangan menangis lagi. Aku benar-benar akan memukul wajah Rey jika kau masih menangis." kali ini Rara tertawa namun karena masih menangis Rara langsung tersedak-sedak. Lola segera mengambilkan air putih yang ada di atas meja.
"Kali ini aku benar-benar percaya padanya, Rara.
Rara pun meneguk habis air putih itu. Lalu mengusap pelan air matanya.
"Apa maksudmu?" Rara mengernyitkan dahinya, heran mendengar Lola berbicara begitu. Siapa maksudnya yang dia percayai. Apakah Rey?
"Rey. Aku berbicara tentangnya. Aku sudah mempercayai mu padanya. Aku juga tadi menceritakan tentang trauma mu. Namun ada hal-hal yang hanya bisa kau sampaikan sendiri padanya." Lola kesal mengapa Rara menjadi lambat berpikir seperti ini.
Rara mendengar Lola menggerutu kesal hanya bisa menahan tawanya.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan mengatakan padanya nanti, suatu saat." Rara menghela napas berat.
"Bagaimana dengan ponsel ku?" Rara baru teringat akan ponselnya yang sudah retak itu.
"Sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Aku hanya mengambil sim card nya saja." Lola mengambil sebuah sim card yang diselipkan pada casing ponsel milik Lola, lalu memberikannya pada Rara.
"Nanti aku akan pergi ke gerai ponsel. Kau mau ponsel dengan model seperti apa?" tanya Lola sambil memasukkan kembali ponselnya ke tas tangan yang dibawanya.
"Sudahlah nanti saja itu. Tak perlu kau pikirkan." Ujar Rara sambil mengibaskan-ngibaskan tangannya agar Lola tak perlu mengkhawatirkan hal itu.
"Baiklah kalau begitu. Oh iya, ibu ku lusa akan datang kemari, Bu Mirna juga ingin mengunjungi mu. Aku menceritakan pada Bu Mirna kalau kau masuk rumah sakit setelah selamat dari penculikan itu. Begitupun pada ibu ku."
Rara mengangguk tanda mengerti. Dirinya bersyukur masih dikelilingi orang-orang yang menyayanginya.
"Lola, apa kau sudah mendaftarkan diri mu untuk kompetisi itu?"
Rara teringat seminggu yang lalu, dirinya melihat ada kompetisi membuat dessert di platform media sosial. Dan Sejujurnya Lola pandai membuat olahan dessert. Untuk itulah, Rara meminta Lola agar mendaftarkan dirinya.
"Apa aku memang harus ikut itu?" Lola masih menimbang-nimbang penawaran itu, memang dirinya pandai membuat dessert, namun entah mengapa dirinya tak percaya bisa membuat olahan dessert yang disukai banyak orang. Karena selama ini yang memakan dessert buatan Lola hanyalah Rara, Lola belum pernah memberikannya pada teman kerja atau bahkan pada Beno.
"Kau harus percaya, Lola. Dessert mu itu enak sekali loh. Walaupun baru aku saja yang memakannya tapi aku yakin kau pasti bisa membuat mereka semua menikmati dessert mu. Lagipula tempat kompetisi itu tidak jauh, hanya di Purwokerto." Rara meyakinkan Lola agar pergi mengikuti kompetisi itu.
"Ini untuk membuktikan dirimu bahwa kau bisa selangkah lebih maju dari kehidupan mu saat ini." Rara masih mencoba memberikan pemanis agar Lola bersedia.
"Tapi Purwokerto itu, aku membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam untuk pulang pergi, Rara. Bagaimana mungkin aku meninggalkan pekerjaan ku." Lola bimbang.
"Aku akan bicara pada Beno. Aku ingin kau ikut kompetisi itu. Kau harus bebaskan dirimu, Lola. Lakukanlah apa yang kau sukai. Jangan memendam mimpi mu. Tidak ada yang namanya terlambat dalam memulai sesuatu. Jadi sebelum kau menyesal di akhir nanti, lakukan lah sekarang." Rara memberi petuah bijaknya, setidaknya itulah yang Ia pikirkan, mempunyai mimpi saja itu sudah luar biasa sekali.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan ikut kompetisi membuat olahan dessert itu." Lola mengangguk mengiyakan permintaan Rara.
"Bagus. Aku lupa kapan itu akan diselenggarakan, aku sudah memberikan selebarannya pada mu kan."
Lola mengangguk lagi mengiyakan Rara.
****
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Lola sudah pulang sekitar 2 jam yang lalu, dan setengah jam setelah Lola pergi, kakek datang lagi menemui Rara. Kakek meminta jawaban atas penawaran kakek hari itu, namun Rara belum bisa memberi jawaban apapun. Lalu bagaimana dengan Rey, apa Ia mengetahui hal ini. Rara tak bisa menebak isi pikiran Rey. Bagaimana ekspresi Rey mengetahui bahwa kakeknya meminta Rara untuk menikah dengannya.
Ingin rasanya Ia bertanya pada Rey. Namun, Rara takut itu akan membuat jarak diantara mereka berdua.
tok..tok.tok.. suara pintu diketuk. Rara mempersilahkan masuk kepada si pengetuk pintu.
Rara terkejut karena yang datang adalah Rey sendiri. Padahal dirinya baru saja memikirkan Rey.
"Ada apa kau datang?" Rara spontan bertanya pada Rey. Tak menyangka Rey akan datang lagi menemuinya.
"Aku akan bermalam disini." jawab Rey dengan tenang seraya meletakkan sebuah tas ransel di atas sofa.
Rara membelalakkan matanya, sangat terkejut mendengar jawaban Rey. Untuk apa Rey bermalam disini. Apa Rey ingin menjaganya.
"Apa kau yakin? seingat ku dirumah sakit, tidak ada pengunjung yang boleh menginap untuk menemani pasien." Rara bertanya, alisnya bertaut begitu dalam saking bingungnya dengan pemikiran Rey.
"Aku yakin. Khusus aku saja, yang boleh menginap." lagi-lagi Rey menjawabnya dengan tenang.
Mendengar itu, Rara tertawa tak percaya.
"Aku baik-baik saja, Rey. Kau bisa tinggalkan aku sendiri disini. Jika kau ingin menginap, lebih baik kau temani kakek saja, daripada menemani ku."
"Aku tidak mau. Kakek tidak suka ada orang lain yang menginap di kamarnya." Rey berdalih
"Kalau begitu, apa menurut mu aku suka?" Rara bertanya balik.
"Kazura, aku tidak akan menerima penolakan. Aku akan tetap disini, baik kau suka atau tidak." Rey berkata tegas sekali.
Rara sampai menciut mendengarnya. Namun satu hal yang Rara sadari, bahwa Rey tidak suka ditolak.
"Baiklah, terserah kau saja kalau begitu." Rara akhirnya menyerah dan membiarkan Rey bermalam menemaninya.
"Bagus." Rey berkata singkat lalu mengeluarkan laptop dari dalam tas ranselnya.
"Kau akan bekerja?" Rara bertanya, dan hanya dibalas anggukan oleh Rey.
"Tapi ini sudah malam. Sebaiknya kau istirahat Rey, kan bisa dikerjakan besok." Rara seperti memerintahkan Rey untuk berhenti bekerja.
"Tidak ada yang bisa menghentikan aku." Rey berbicara dingin dan itu membuat Rara seketika terdiam.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan tidur sekarang. Selamat malam." Rara berkata ketus, dirinya kesal karena Rey yang berkata dingin seperti tadi. Padahal Rara hanya khawatir akan kesehatannya saja.
Rey yang menyadari nada ketus dari bibir Rara itu tak bisa menahan senyumannya. Dirinya sadar bahwa tak seharusnya berkata dingin, namun memang benar jika tak ada yang bisa menghentikan Rey dalam melakukan sesuatu. Mungkin Rara hanya khawatir akan kesehatannya saja.
"Rey, aku akan tidur setelah aku mengatakan ini." Rey yang mendengar itupun segera menghentikan aktivitasnya.
"Tentang apa?" Rey bertanya pada Rara.
"Kakek meminta ku untuk menikah dengan mu. Hanya itu saja yang ingin aku katakan. Selamat malam."
Bak disambar petir, Rey kaget setengah mati dan diam tak bergerak mendengar apa yang baru saja dikatakan Rara. Kakeknya meminta Rara untuk menikah dengannya. Bagaimana mungkin, bahkan Rey saja tidak diberitahu tentang hal ini. Apa yang sebenarnya kakeknya pikirkan. Rey benar-benar tak habis pikir lagi. Lalu apa jawaban Rara.
Astaga, mengapa semua ini menjadi rumit. pekik Rey dalam hati.
Rey mencoba untuk mengalihkan apa yang baru saja didengarnya ke layar laptopnya, namun pikirannya seketika kosong dan dirinya sudah tak ada keinginan untuk melanjutkan aktivitasnya kembali. Benar-benar tak bisa dipercaya, kakeknya sanggup meminta hal seperti itu pada Rara.