Rey tersentak bangun. Dirinya tertidur di kursi di samping ranjang Rara dengan kepalanya yang menindih tangan kirinya. Tangan kirinya sampai mati rasa. Namun satu hal yang membuat Rey terkejut adalah, tangan kanannya menggenggam tangan Rara.
Rey segera melihat jam di pergelangan tangannya. Menunjukkan pukul 5 pagi. Entah sudah berapa lama dirinya tertidur di kursi ini. Rey yang tak bisa lagi mengerjakan pekerjaannya, hanya mondar-mandir di kamar Rara. Ingin tidur tapi tidak bisa. Rasanya apa yang Rara katakan terus berputar-putar dipikirannya.
Setelah Rey lelah bermondar-mandir. Rey duduk di kursi samping ranjang Rara. Lalu dengan pelan Rey menggenggam dan mengelus tangan Rara. Rey sungguh memiliki keberanian yang luar biasa. Bagaimana mungkin dirinya berani menggenggam tangan Rara, padahal mereka tidak ada hubungan apapun. Padahal Rey sudah memutuskan untuk menahan perasaannya.
Rey menimbang-nimbang apa Ia harus melakukan apa yang kakek minta. Tidak. Rey harus bicara terlebih dahulu pada kakek. Bagaimana mungkin meminta Rara melakukan hal "itu" tanpa sepengetahuan dirinya. Rey menghela napas panjang, namun genggamannya tak dilepaskan. Lalu Rey merebahkan kepalanya di atas ranjang itu dan begitulah Rey tertidur.
Setelah benar-benar sadar, Rey bangkit dari duduknya dan menuju sofa panjang yang ada di kamar itu. Merapikan barang-barangnya, dan pergi meninggalkan Rara yang masih tertidur. Rey segera menuju kamar rawat kakeknya. Dirinya yakin saat ini, kakeknya itu sudah bangun.
Tak membuang waktu lagi, Rey langsung masuk begitu saja. Membuat kakek terkejut seraya memarahi Rey yang suka datang tiba-tiba seperti ini.
"Astaga! Rey, tak bisa kah kau memberikan petunjuk atau aba-aba jika kau datang. Aku bisa saja terkena serangan jantung tadi." Kata kakek sambil mengelus dadanya.
"Aku tak ingin berbasa-basi. Rara sudah memberitahu ku bahwa kakek memintanya untuk menikah dengan ku. Apa itu benar?" Rey berjalan menuju jendela besar dan bersandar disana.
"Ya itu benar. Kakek memang belum menceritakannya pada mu." Kakek langsung mengakui bahwa yang dikatakan Rey adalah benar.
"Apa kakek sampai harus seperti itu? Apa kakek benar-benar sangat ingin melihat ku menikah? Mengapa harus Rara? Aku benar-benar tidak membutuhkan pernikahan. Kalaupun aku menikah itu demi kepentingan bisnis." Rey berbicara sambil terengah-engah. Ia mengeluarkan semua yang sudah dipendamnya.
"Aku ingin kau menikah dengan orang yang kau sukai Rey. Aku tidak ingin kau menikah demi kepentingan bisnis. Aku ingin kau bebas memilih menikah dengan siapa. Dan aku tidak ingin mendengar lagi kau tidak membutuhkan pernikahan. Saat ini, aku yakin Rara adalah orang yang tepat untukmu. Maafkan aku karena keegoisan ku. Tapi setidaknya inilah yang ku inginkan dan berharap kau bisa melakukannya untukku." Kakek memberi penjelasan akan tindakannya.
"Tapi mengapa harus Rara. Dia tak ada hubungannya dengan semua ini." Rey berbicara frustasi, tangannya mengusap kasar wajahnya, lalu mengacak-ngacak rambutnya.
"Dengar kakek. Sebentar lagi berita tentang perbuatan Satria pasti akan terbongkar. Dan itu bisa mempengaruhi perusahaan. Saham perusahaan tentu akan merosot tajam dan aku yakin, beberapa investor pasti akan menarik investasinya, dan itu bisa berakibat fatal pada produksi kita. Bahkan perusahaan distributor pun tidak akan lagi memesan barang dari kita. Saat ini kepalaku rasanya ingin pecah. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tentang pernikahan."
Suara Rey menjadi serak.
Namun kakek hanya diam saja tak merespon. Memang benar, berita tentang kejahatan Satria pasti akan dikuak oleh media dan itu akan sangat berpengaruh pada perusahaan. Baik perusahaan induk maupun perusahaan cabang. Kakek mengerti bagaimana perasaan Rey saat ini. Namun kakek juga ingin Rey lebih memperhatikan dirinya sendiri.
"Sudahlah. Aku akan mencoba memikirkannya." Rey akhirnya menyerah dan berpikir untuk mengikuti keinginan kakek. Setidaknya untuk yang terakhir kalinya.
"Baiklah" Kakek menahan senyumannya. Pada akhirnya Rey akan menyerah dan mengikuti keinginan kakek.
"Aku akan pergi sekarang." Rey berjalan menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali.
****
Raditya sudah berada di ruangan Rey. Namun Rey belum juga sampai. Rey juga tidak meninggalkan pesan apapun pada Raditya. Padahal Raditya ingin melaporkan terkait peluncuran produk baru mereka.
ceklek. Suara pintu terbuka, terlihat lah Rey yang datang dengan wajahnya yang lesu dan penuh dengan beban pikiran.
"Selamat pagi pak. Apa bapak ingin saya buatkan secangkir kopi?"
Rey hanya menanggapi pertanyaan Raditya dengan anggukan singkat. Segera Rey duduk di kursi kerjanya dan menghembuskan napas panjang dan berat. Namun matanya tiba-tiba menatap amplop berwarna coklat di atas mejanya. Tangannya langsung meraih amplop coklat itu.
Dokumen tentang produk baru mereka. Sepertinya Raditya tadi datang untuk bertemu dengannya dan memberikan laporan ini. Rey membolak-balik kan dokumen itu. Memaksakan dirinya untuk fokus pada pekerjaannya saat ini.
Tak lama kemudian. Raditya sudah membawa secangkir kopi untuk Rey dan meletakkannya di atas meja. Raditya yang melihat Rey memegang dokumen itu pun segera menjelaskan secara singkat.
"Berdasarkan laporan yang ada ditangan bapak. Produk baru kita diterima sangat baik di masyarakat. Apa kita akan meluncurkan produk baru ini sesuai dengan yang sudah direncanakan?" Raditya sangat memahami perasaan Rey. Saat ini Rey pasti tengah frustasi memikirkan dampak dari perbuatan Satria. Jika media sudah menguak bukti-bukti kejahatan Satria, maka peluncuran produk ini bisa menjadi kegagalan.
"Kapan persidangan pertama Satria akan dilaksanakan?"
"Sesuai dengan arahan Ajun Inspektur Mondy. Pak Satria akan menjalani sidang pertama setelah Pak Satria sembuh. Saat ini, Pak Satria masih belum bisa menggerakkan lehernya dengan sempurna. Namun kondisi tubuhnya dalam keadaan sehat." Raditya sudah bertanya hal ini pada Alex.
"Minta Ajun Inspektur untuk membawa Satria ke penjara, dan aturkan sidang pertamanya sebelum hari peluncuran produk baru. Kita akan mengadakan konferensi pers pada hari peluncuran itu. Jadi kita akan melaksanakan peluncuran produk baru itu sesuai dengan rencana. Tanggal 5 Mei 2018."
Ternyata apa yang Rey pikirkan sama dengan Raditya. Tadinya Raditya berpikir untuk menjadikan peluncuran produk baru sebagai bahan untuk menutupi berita tentang kejahatan Satria.
"Baik, saya mengerti pak." Raditya segera beranjak pergi dan melaksanakan perintah Rey. Namun Rey masih menahan langkahnya.
"Raditya. Pergilah ke gerai ponsel untuk diberikan kepada Rara. Dan kau langsung saja berikan ponsel itu padanya di rumah sakit. Katakan padanya, bahwa saya akan menghubunginya."
"Baik pak." Raditya membungkukkan badannya memberi hormat, lalu berjalan keluar dari ruangan Rey.
Rey segera mengambil ponsel dari dalam saku jas single breasted nya itu dan mencari nama Beno di kontak ponselnya.
"Ada apa Rey?" tanya Beno di seberang sana.
"Kosongkan jadwal mu akhir pekan ini. Aku butuh bantuan mu" Pinta Rey dan langsung mematikan sambungan telepon.
Untuk mengatasi jikalau ada kehilangan investor dan jikalau produk baru ini gagal akibat dari dampak perbuatan Satria. Rey sudah mensiasatinya dengan membuat produk lain. Itulah mengapa Rey harus melakukan uji coba terlebih dahulu. Dan Beno adalah orang yang tepat untuk dimintai bantuan.
****
"Sialan kau, Rey. Apa ada orang yang begini ketika meminta bantuan pada orang lain." Beno menggerutu kesal melihat Rey yang begitu saja mematikan sambungan telepon, padahal dirinya yang meminta bantuan Beno.
Beno menghela napas dengan keras seraya berteriak frustasi. Rasanya dadanya sangat sesak sekali. Mungkin dirinya butuh refreshing, karena akhir-akhir ini Beno selalu saja tidur larut malam demi menyelesaikan pekerjaannya.
Beno memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya dan ingin pergi melepas kepenatan. Namun saat ingin keluar dari pintu belakang, Beno justru mendengar keributan. Beno segera menuju ke arah dimana keributan itu berlangsung. Terlihat lah seorang wanita berusia sekitar akhir tiga puluhan sedang memarahi seorang karyawannya.
Beno mendekati meja kasir, dan bertanya apa yang sedang terjadi.
"Apa yang terjadi?" Beno bertanya pada Nina, yang menjaga meja kasir itu.
"Dari tadi mbak itu, terus meminta untuk bertemu dengan manajer pak."
"Lalu apa masalahnya?" Beno masih mendengar wanita itu menjerit-jerit seraya memaki karyawannya.
"Jadi tadi, Sivia sudah mencatat pesanan si mbak yang sedang marah itu. Lalu yang mengantarkan pesanannya adalah Lola. Saat mbak itu meminta tagihannya, yang memberikannya adalah Lola. Namun setelah itu mbak itu malah marah-marah terhadap Lola mengatakan, dia tak ingin membayarnya karena pesanan yang datang tidak sesuai dengan apa yang di pesan. Mengatakan bahwa pelayanan disini sangat buruk. Itulah mengapa wanita itu memicu keributan ini."
Beno hanya diam saja mendengar penjelasan Nina. Matanya sedang tertuju lurus menatap karyawannya yang sedang dimaki itu, Lola. Beno sengaja belum bertindak apapun, Ia yakin Lola bisa mengatasi masalah ini. Lola tidak takut pada apapun dan siapapun.
"Bagaimana ini pak, apa bapak tidak akan melakukan sesuatu?" Nina yang melihat Beno tersenyum-senyum itu merasa heran mengapa belum juga mengambil tindakan.
"Kita lihat saja dulu. Ini sangat menarik." Beno tersenyum lebar seraya memantau keributan itu.
"Maaf mbak, di buku ini, tertulis dengan jelas bahwa mbak memesan minuman The Happiest One. Dan yang saya bawakan itu adalah The Happiest One. Tapi sekarang mbak malah mempertanyakan bagaimana kinerja karyawan disini. Dan memaksa ingin bertemu manajer. Saya tidak bermaksud menyinggung, tapi jika mbak tidak bisa membayar minuman ini, mbak katakan saja." Lola sudah menahan amarahnya. Namun Ia tak sanggup lagi menahan lebih lama, mbak yang berada di depannya ini sudah keterlaluan sekali.
"Apa maksudmu saya tidak sanggup membayar? Saya sanggup kok membayarnya, hanya saja saya tidak menyangka bahwa kinerja karyawan disini sangat buruk sekali."
"Sudahlah mbak jangan berdalih, cafe kami memiliki rating yang sangat bagus di platform delivery online. Saya yakin mbak baru pertama kali ini datang kesini kan. Jika mbak bisa membuktikan bahwa pelayanan cafe ini buruk, maka saya akan bertanggung jawab atas keributan ini." entah mengapa Lola berani mengambil pertaruhan ini. Ia yakin bahwa dirinya akan menang. Lola tidak akan semudah itu untuk dijatuhkan.
"Mengapa diam saja, mbak tidak bisa membuktikannya kan. Jika mbak menyebarkan hal tidak benar seperti ini lagi, saya akan membawa rekaman ini ke kantor polisi." Lola sudah mendapatkan kartunya. Sejak mbak itu memicu keributan, Lola segera mengaktifkan rekaman di ponselnya. Beruntung si mbak, mengatakan hal yang tidak benar terkait kinerja mereka di cafe itu. Sehingga itu bisa menjadi bukti untuk menyelesaikan masalah ini ke kantor polisi.
"Sialan." wanita itu ingin menampar Lola. Namun Lola yang telah menyadari hal itu segera menahan tangan wanita itu. Ia ingin memelintir tangan wanita itu, tapi akan jadi masalah jika wanita itu membuat pengaduan ke kantor polisi. Jadi Lola hanya menahannya saja.
"Lepaskan Lola." Beno yang tiba-tiba saja sudah berada di depan Lola membuat Lola terkejut, bahkan Beno berdiri tepat didepannya untuk melindungi dirinya jika wanita itu melakukan perlawanan.
"Sebaiknya anda keluar. Sebelum saya meminta satpam mengeluarkan anda dari sini. Dan sebaiknya anda tidak perlu datang lagi. Saya menyadari bahwa anda adalah suruhan seseorang, untuk membuat kekacauan disini. Tenang saja, saya tidak akan melaporkan hal ini pada polisi. Tapi bisakah tolong sampaikan pesan saya pada orang yang menyuruh anda itu." Beno seketika mendekatkan bibirnya pada telinga wanita itu. Seketika wanita itu terlihat sangat marah dan dengan gerakan kasar dirinya keluar dari cafe.
Lola yang mendengar itu menjadi penasaran. Siapa yang menyuruh wanita tersebut.
"Ikuti saya." Beno berbicara pada Lola dan Lola dengan gelagapan mengikuti Beno di belakangnya.
"Kita mau kemana pak?" Lola menyadari bahwa Beno tidak membawanya bicara ke ruang kerja, namun malah menuju ke mobilnya. Beno ingin membawanya kemana.
"Temani saya mencari udara segar."
****
Tak terasa malam sudah tiba lagi. Rara hanya termenung sendiri di kamarnya. Apakah Rey akan datang bermalam lagi disini. Tadi Sekretarisnya, Raditya. Sudah memberikan sebuah ponsel pada Rara dan mengatakan bahwa Rey akan menghubunginya. Namun tidak ada tanda-tanda Rey akan melakukan hal itu. Beruntung Lola memberikan sim card yang tertinggal di ponsel lama Rara.
Tadi pagi, saat Rara terbangun, Rey sudah tidak ada di sofa panjang itu. Sepertinya Ia pergi pagi-pagi sekali. Namun Rey juga tidak ada meninggalkan pesan apapun.
Rara masih belum mendengar jawaban Rey atas apa yang Rara katakan tadi malam. Sepertinya Rey sama sekali belum mengetahui tentang kakeknya yang meminta Rara untuk menikah dengannya.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Rara, buru-buru dirinya mengangkat panggilan itu.
"Halo" Rey memulai obrolan di seberang sana.
"Ya, Rey. Ada apa?" jantungnya serasa berhenti berdetak mendengar suara Rey yang berat itu.
"Aku akan lembur malam ini. Namun aku tetap akan datang dan menginap disana lagi."
"Kau tidak perlu melakukannya Rey. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."
"Tidak, aku akan tetap kesana. Walaupun kau katakan tak perlu khawatir, namun aku tetap akan khawatir. Aku tidak ingin sesuatu terjadi lagi pada mu." Rey menekankan setiap kata-katanya.
"Esok hari Sabtu, aku tidak akan pergi bekerja. Seharian aku akan berada disana." Rey kemudian melanjutkan
"Aku tidak menerima penolakan." Begitulah panggilan telepon itu terputus.
Mengapa Rey sangat protektif. Jika Rey tak ingin pernikahan itu terjadi, setidaknya Rey tak perlu bertindak seperti ini. Karena hal ini membuat Rara jadi semakin berharap padanya. Kalau seperti ini terus, Rara benar-benar akan jatuh cinta padanya.
Astaga, mengapa semua ini menjadi rumit. Pekik Rara dalam hati.