Sejak pembicaraan 2 suster di taman rumah sakit tempo hari, Rara terus-menerus memikirkannya. Rara merasa ini adalah kesempatan bagus, namun Ia juga khawatir jika hanya hidup dengan satu ginjal yang artinya segala aktivitasnya akan terbatas karena tidak boleh kelelahan atau akan berakibat fatal pada ginjalnya.
"Lola, bagaimana menurutmu. Aku ingin sekali mencoba tawaran ini" tanya Rara pada Lola yang sedang bersiap untuk pergi bekerja.
"Jika kau mengambil keputusan ini hanya karena kau tidak ingin membebaniku. Aku rasa itu bukan suatu hal yang bagus. Aku sama sekali tak masalah untuk menanggung hidup 2 orang" jawab Lola seraya tersenyum pada Rara dan memutar kenop pintu kamar. Terdengar langkah kaki Lola menuju pintu rumah, dia memutar kenopnya dan menutupnya kembali. Rara menghela napas mendengar jawaban Lola. Rasa frustasi terus menggerayangi pikirannya.
"Ah, sudahlah lebih baik aku memasukkan lamaran kerja lagi" dengus Rara seraya meraih laptopnya.
****
Rey sedang mengunjungi kakeknya di rumah sakit. Walaupun raut wajah yang ditunjukkan kakek terlihat bahagia, namun Rey bisa melihat jelas ketakukan dan kesedihannya.
"Rey, bagaimana jika aku nanti mati?" tanya kakek seraya menatap kearah Rey. "Sebaiknya anda tidak berbicara seperti itu lagi. Kita semua tau bahwa ucapan adalah doa" kata Rey kesal. Rey kesal mengapa kakeknya bertanya seperti itu. Apa mungkin itulah bentuk dari keputusasaan yang kakek tutup-tutupi.
"Aku sudah hidup sangat lama. Berbagai hal sudah kulewati, dan berbagai kematian pun sudah aku hadiri pemakamannya. Baik itu, kematian orang tua mu, kematian nenek mu bahkan kematian teman-teman ku. Namun setelah semua itu terjadi mengapa aku masih hidup sampai saat ini? sungguh tak ada lagi yang kuinginkan di dunia ini. Aku sudah mendapatkan semuanya. Ah tidak satu hal lagi yang belum kudapatkan. Yaitu melihat mu menikah." katanya sambil tertawa. Rey bingung harus menjawab apa. Dia bahkan tak memiliki kekasih.
"Saat ini aku belum berencana untuk menikah. Aku sangat fokus mendapatkan donor untuk kakek. Bahkan kurasa aku tak membutuhkan pernikahan. Aku sangat menghargai kesendirianku." Itulah jawaban yang Rey bisa katakan. Karena memang dia sangat menghargai kesendiriannya.
"Baiklah, aku juga tidak akan memaksa. Namun itu adalah keinginan terakhir ku sebelum aku benar-benar pergi." kata kakek muram. Oh Tuhan. Sungguh terlihat jelas kekecewaan kakek karena Rey yang tidak ingin menikah. Semakin dalam rasa kalut yang dirasakan Rey, dan Rey pun hanya bisa mengangguk lesu. Sekejap keheningan terjadi diantara mereka. Namun Rey segera memecahkan kebisuan dan mengatakan bahwa dirinya akan pergi ke kantor.
"Kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting. Bagaimana pun caranya. Aku akan mendapatkan donor itu." Rey mengatakannya dalam hati dan berjalan meninggalkan rumah sakit.
****
"Kalau kau tidak sibuk, datanglah ke Cafe. Aku takut kau menjadi frustasi karena memikirkan tawaran itu" teriak Lola dari seberang telepon.
"Aku mengerti. Aku akan siap-siap" balas Rara lemas. Karena dirinya baru saja bangun tidur. Niat awal ingin melamar kerja namun berakhir tragis karena Rara yang masih saja memikirkan tawaran donor itu dan akhirnya lebih memilih untuk tidur dengan harapan bisa melupakannya.
"Oh Tuhan mengapa pilihan ini begitu sulit. Namun sebenarnya aku ingin melakukannya. Tak peduli berapapun yang aku dapat, entah mengapa aku tak memperdulikan hal itu. Seperti aku hanya ingin menolong kakek tua itu." gumam Rara merasa dadanya sangat sesak karena terus memikirkan ini.
Beberapa saat kemudian Rara sudah sampai di depan Cafe My Taste. Sungguh Cafe ini begitu estetik. Menyuguhkan kesan kelam namun masih terdapat harapan. Setidaknya itulah yang Rara pikirkan tentang Cafe ini. Lola bekerja sebagai Waitress cafe ini, tentu gajinya yang tak banyak itu harus menanggung kehidupan untuk 2 orang. Kehidupan ternyata benar-benar sesulit ini.
"Kau sudah datang. pesan seperti biasa bukan?" tanyanya seraya mengambil buku kecil dari kantong bajunya. "Ya seperti biasa. Ah iya benar. Apa orang yang sering kau ceritakan itu ada disini? kau bilang dia adalah bos disini" tanya Rara dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.
"Hahaha. Kau ini benar-benar ya. Kau sangat beruntung hari ini. Dia ada disini. Kau lihat lah ke arah jam 2. Pria yang sedang menelpon itu. Aku tinggal dulu" Katanya lalu pergi.
Rara melihat pria itu, memang seperti bos. pikir Rara. Pria itu termasuk tampan untuk standar penilaian Rara namun tampan saja tak cukup untuk membangun sebuah hubungan. Pria itu berdiri bersandar pada dinding. Tangannya memegang gagang telepon dan dia terlihat sedang berbicara. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang dalam keadaan bahagia. Bibir yang tak berhenti tersenyum. Sesekali bahkan dia tertawa, seperti menertawakan candaan dari telepon di sebrangnya. Tidak salah jika Lola menyukainya, cara dia tertawa dan tersenyum seperti memikat dan itu memiliki cirinya sendiri. Tapi dia bukanlah tipe pria idaman Rara.
"Menurut mu bagaimana? Dia terlihat sangat tampan bukan" kata Lola mengagetkan Rara yang sedang melihat Pria di sebrangnya dengan tatapan meneliti. "Ya, memang seperti tipe mu. Jadi apa kau sudah ada progres dengannya?" ucap Rara santai sambil menyeduh kopi yang dibawakan Lola. "Kurasa tidak akan semudah itu, kau tau dia sangat galak, dia akan memarahi karyawannya jika kedapatan mengobrol selama bekerja." Lola tertawa miris.
"Oh Tuhan. kau pasti sedang bercanda, dia sedang menuju kemari. Kurasa dia akan datang untuk memarahimu" kata Rara meledek. Memang benar Pria itu sedang berjalan kearahnya dan Lola, namun karena posisi Lola yang membelakangi pria itu, dia tidak tau bahwa bosnya sedang jalan kearahnya. 1 2 3. Dia sampai di meja kami.
"Lola, kenapa kau malah mengobrol disaat jam kerja seperti ini. Apa kau sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Walaupun kau berbicara dengan temanmu. Sebaiknya kau tau tentang profesionalitas." kata pria itu sambil menaikkan sebelah alisnya seraya mengeraskan rahang sebagai tanda dia marah namun menahannya.
Lalu pria itu pergi begitu saja, meninggalkan Lola yang kebingungan akibat kemarahan bos nya yang sangat mendadak itu. Tentu saja, itu membuat jantung Lola berdebar begitu hebatnya, antara senang dan kesal karena selesai dimarahi oleh bosnya.
"Sebaiknya kau mulai bekerja lagi. Kita akan lanjutkan pembicaraan saat sudah di rumah" Rara menyadarkan kebingungan Lola.
"Ya, aku akan bekerja lagi. kau jangan memasukkan kedalam hati perkataan dia tadi. Karena begitulah sifat Beno Handoyo" ucap Lola seraya menyadarkan diri dari kebingungan.
"Ya, aku mengerti" jawab Rara.
****
Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Lola, Rara bergegas pergi meninggalkan Cafe. Karena ingin menyegarkan pikirannya Rara pun memutuskan untuk pergi ke Banjir Kanal Barat. Udara malam pasti bisa mengembalikan pikirannya yang kusut.
Rara berencana untuk duduk dipinggiran sungai, dan memikirkan kembali tentang donor itu dengan matang. Sampai saat ini Rara masih ingin melakukannya. Kembali Rara termenung. Jika dia mendonorkan ginjalnya maka dia harus siap dengan segala resiko yang akan diterima namun itu sebanding dengan apa yang akan dia dapatkan walaupun dia tak memperdulikan hal itu.
"Kau bisa saja jatuh ke sungai, jika kau terus-menerus melamun" kata seorang Pria yang tiba-tiba berdiri disamping Rara dan membuat Rara sangat kaget seraya menoleh dengan cepat. Namun karena gerakan yang terlalu cepat dan diwarnai kekagetan membuat badannya tidak seimbang. Sebuah tangan terjulur menangkap tangan Rara agar tidak jatuh ke sungai. Setelah menyeimbangkan kembali tubuhnya Rara pun ingin langsung memaki pria itu, namun ditahannya.
"Terima kasih. Tapi kau lah yang hampir membuat ku terjungkal ke sungai. Apa kau terbiasa tiba-tiba muncul dan mengagetkan orang disekitar mu" pekik Rara melampiaskan kemarahan.
"Sayang sekali aku tak punya kebiasaan itu. Aku melihat mu sedang termenung di pinggir sungai. Aku hanya memberi peringatan kepadamu, kalau-kalau kau tidak awas bisa saja ada yang tidak sengaja mendorong mu jatuh. Naluri ku berkata demikian, aku hanya mengikutinya. Namun kenyataan justru aku lah yang hampir menyebabkan mu terjungkal ke sungai. Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kuharap kau bisa meredakan amarah mu padaku." jawab pria itu dengan santainya.
Bahkan Ia tak segan untuk duduk disampingnya, tanpa meminta persetujuan dari Rara. Bisa saja itu justru mengganggu Rara karena Rara ingin meyakinkan dirinya tentang donor itu. Tapi Rara tidak mengusir pria itu. Entah mengapa Rara merasa sangat nyaman berada disampingnya. Rara mencoba melihat ke arah dirinya, dan dengan terkejut Rara melihat senyum pada wajahnya yang sendu. Sungguh senyum yang pahit. Batin Rara.