Dalam sebulan ini sudah entah yang keberapa kalinya Rara mendatangi Psikolognya. Padahal harusnya Rara sudah tidak perlu datang lagi, karena melihat kondisi Rara yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, psikolognya bersikeras agar Rara melakukan konsultasi. Rara hanya bergumam dalam hati, apa yang sebenarnya ingin dikonsultasikan? Dia sudah melakukannya selama 6 tahun berturut-turut. Saat ini kondisinya jauh lebih baik, dia bisa mengendalikan diri dengan sangat baik, setiap trauma itu muncul, dia akan menarik napas dalam-dalam dan mencengkeram bajunya erat-erat.
Tak lagi habis pikir pada Psikolognya yang masih saja khawatir akan traumanya. Rara lebih memilih untuk berjalan-jalan disekitar area Rumah Sakit lebih tepatnya Rara menuju sebuah taman yang memang dibangun untuk membuang kejenuhan pasien selama di rumah sakit. Sungguh Rumah Sakit ini memiliki tanah yang begitu luas, sehingga bisa membuat taman yang begitu indah dan nyaman. Rara memilih salah satu bangku yang terletak tidak jauh dari air mancur. Rara sangat menikmati hal ini, angin yang berhembus sepoi-sepoi. Pohon yang tumbuh dengan rindangnya dan bermacam-macam bunga dirawat dengan baik.
Rara juga mengamati keadaan sekitar, terdapat 2 suster yang duduk tidak jauh darinya sedang berbicara. Satu suster memegang gelas kopi ditangannya dan satu lagi sedang memperhatikan lawan bicaranya. Seperti pembicaraan yang serius, pikir Rara. Adalagi suster yang sedang menemani Seorang anak berusia antara belasan tahun yang mengalami cacat pada kakinya sehingga mengharuskan anak tersebut memakai kursi roda. Melihat anak itu membuat Rara teringat masa kecil, Rara sungguh beruntung memiliki kehidupan yang sangat baik bahkan sempurna. Untuk itu Rara sangat mensyukuri apa pun yang terjadi dalam hidupnya.
Namun, hal yang paling menarik perhatiannya adalah pembicaraan 2 suster tadi.
"Apa kau tahu, bahwa ada seorang kakek yang di rawat di kamar VIP sedang menunggu donor ginjal? Aku baru saja tadi memeriksa keadaannya. Saat aku sedang memeriksanya kakek itu terus menyunggingkan senyum nya kepadaku. Namun aku bisa melihat senyuman kakek itu. Senyuman yang mengandung kepedihan di hatinya. Aku berusaha mencoba untuk memberikan kekuatan. Namun tak ada satupun hal yang bisa kuucapkan. Aku pun hanya berjalan pergi begitu saja setelah memeriksa keadaannya." cerita panjang lebar salah satu suster yang sedang memegang gelas kopi ditangannya.
"Ah iya, kakek itu kan yang cucunya sangat tampan rupawan itu. Kasihan sekali kakek itu. Aku juga mendengar dari beberapa suster tentang betapa ramahnya kakek itu. Namun sayangnya Sampai saat ini belum ada donor yang cocok. Padahal kondisinya sudah sangat membutuhkan donor itu" Suster yang satunya menjawab.
"Iya, padahal bagi siapa saja yang mau mendonorkan ginjalnya pasti akan mendapatkan bayaran yang sangat besar. Bahkan bisa jadi 3x lipat dari gaji kita. Andai aku memiliki keberanian aku ingin sekali melakukannya. Setidaknya aku bisa menggunakan uang itu untuk menghidupi keluarga ku." Kata suster yang baru saja menenggak habis kopinya dan gelas kopinya di lemparkan ke tong sampah di dekatnya.
Rara tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Mendonorkan ginjal untuk seorang kakek dan akan mendapatkan bayaran yang sangat besar. Tentu ini adalah suatu peluang yang sangat tidak boleh dilewatkan. Namun, apakah Rara yakin ingin mendonorkan ginjalnya. Jika Rara menerima tawaran ini, tentu dia bisa meringankan beban Lola dan tidak perlu memikirkan tentang uang untuk beberapa saat kedepan. Apalagi saat ini dirinya tengah menjadi pengangguran. Mungkin ini adalah suatu petunjuk? Pikir Rara dengan perasaan bertanya-tanya.
****
Rey sedang duduk termenung menatap layar laptopnya, menghela napas. Banyak hal yang mengganggu pikirannya. Satu hal yang pasti itu adalah donor untuk kakek.
"Aku tak tau, sudah yang keberapa kalinya kau menghela napas" Kata Beno yang telah berada disampingnya. "Sejak kapan kau disitu?" tanya Rey kaget bercampur bingung kenapa Beno bisa ada di kantornya. Bukankah seharusnya dia berada di Cafe karena ini masih jam kerja.
"Aku sudah dari tadi disini Rey. Kau bahkan tak mendengar aku mengetuk pintu" Tandas Beno.
"Maaf, aku sedang banyak pikiran" raut wajah Rey langsung menunjukkan kemuraman.
"Tanpa kau bilang, aku sudah tau dari raut wajahmu itu. Apa itu tentang donor untuk kakek?" tanya Beno seraya menyuguhkan secangkir kopi.
Sejelas itukah perasaan putus asa yang dirasakan Rey hingga Beno pun langsung bisa menebaknya. Namun tidak heran itu terjadi, mengingat Rey, Beno dan Kei sudah berteman sejak lama. Lama sekali sampai Rey tak ingat kapan kali pertama mereka bertemu.
"Apa aku sangat jelas menunjukkan keputusasaanku? karena aku tak tau lagi apa yang harus aku lakukan" jawab Rei sambil menatap kosong pada cangkir kopi itu.
"Kau tau, bahkan saat orang merasa sangat putus asa, Tuhan datang untuk menolongnya. Kau harus percaya itu Rey. Tuhan pasti sedang menuju jalan untuk datang menolongmu. Kau tunggu dan lihat saja. Kau harus lebih melapangkan lagi dada mu. Kehilangan orang yang kita sayangi memang berat Rey, namun kau sudah membuktikan kau bisa melewatinya dari peristiwa kematian orang tua dan adikmu. Percayalah Rey semua ini akan menuju titik terang." kata Beno memberi segenggam harapan pada Rey.
"Ya, kau benar. Semoga Tuhan segera membantu ku. Tapi darimana kau belajar kalimat bijak itu?" tanya Rey geli melihat Beno berkata bijak. Karena jarang-jarang dia memperlihatkan sisi yang seperti ini.
"Kau tidak perlu tau" ketus Beno sambil tertawa.
"Lalu ada apa sebenarnya kau datang kesini. Ini masih jam kerja bukan. Kau harusnya berada di Cafe saat ini." kata Rey serius.
"Ada yang ingin aku bicarakan" Beno menarik kursi yang ada didepannya, ketika hendak mulai bercerita Rey datang menyela.
"Kuharap ini bukan tentang wanita yang sering kau ceritakan itu." Sambil terkekeh-kekeh Rey mengucapkannya.
"Sialan kau. Tutup mulut mu dan dengarkan aku bicara" Beno mulai bercerita dan Rey mendengarkan dengan seksama. Ternyata Beno datang untuk meminta bantuan Rey tentang Cafe yang Beno jalankan.
Memang Cafe itu belum terlalu lama didirikan, baru sekitar 2 tahunan. setiap harinya selalu ramai didatangi pelanggan. Cafe ini dibangun karena kerja keras Beno sendiri, bahkan dia juga lah yang selalu memberikan inovasi pada setiap menu cafe nya. Kali ini ternyata Beno ingin membuat minuman yang lain dari yang lain. Untuk itu Beno meminta Rey yang membuatnya. Karena Beno tau Rey punya kemampuan untuk membuat minuman yang enak. Seperti contoh saat Rey membuat minuman es pelangi lapis. Minuman itu langsung menjadi menu favorit di Cafe itu.
"Sudah kuduga. Apa kau akan terus memanfaatkan teman mu seperti ini." Rey mengambil map yang berisi dokumen di atas mejanya hendak memukul kepala Beno tapi langsung ditepis Beno.
"Kau punya bakat yang aku tak punya Rey. Jadi kau harus memanfaatkan bakat itu dengan cara membantu ku. Bagaimana? Aku akan memberikan mu makan gratis selama sebulan penuh jika kau mau melakukannya."
Rey hanya mendelik mendengar penawaran Beno yang sudah sangat biasa itu.
"Aku tak membutuhkan itu tau. Baiklah aku akan coba membuatnya. Tapi jangan terus mendesak ku atau aku tidak akan melakukannya."
"Baiklah jika itu yang kau inginkan" Beno tersenyum lebar seraya menatap Rey dengan mata yang berbinar-binar karena senang.